PELAKITA.ID – We’re back! OBS is back! Obrolan Bilik Sebelah pada WAG Kolaborasi Alumni Unhas terus berlanjut. Pada pekan ini, ada dua obrolan mengemuka.
Pertama berkaitan dengan isu kemiskinan di Sulawesi Selatan terutama kaitannya dengan parameter indeks pembangunan manusia.
Parameter dimaksud adalah adalah daya beli atau purchasing power, derajat pendidikan dan derajat kesehatan.
Obrolan kedua adalah potret dan kapasitas ekonomi Indonesia yang sejatinya kaya potensi sumber daya kelautan dan perikanan namun selalu ‘kalah’ dalam percaturan usaha dan pemanfaatan sumber daya atau komoditi perikanan.
Salah satunya berkaitan dengan komoditi ikan tuna yang tak kunjung membaik lalu direspon oleh alumni Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas M Zulficar Mochtar.
Zulficar adalah juga Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan pada kurun waktu 2019 hingga 2020.
Pada OBS ini admin membagikan perspektif Sang Dirjen yang saat ini aktif mendorong organisasi konsultansi bernama Ocean Solutions di Jakarta. Berikutnya tentang aspek kesehatan masyarakat kaitannya kebijakan pemerintah daerah pada OBS #21.
Dimensi Perang Tuna
Tidak bisa disangkali, ikan tuna merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia. Selama lebih dari satu dekade terakhir, Indonesia adalah negara produsen terbesar tuna dunia.
Kondisi stok yang terbatas dan permintaan pasar yang sangat tinggi, menyebabkan regulasi dan persyaratan perdagangan Internasional semakin ketat sekaligus mempertajam persaingan antar negara. Era perebutan dan ‘perang tuna’ tidak terhindarkan.
Dia menjelarkan, tuntutan meningkatkan kualitas, daya saing dan transparansi produk harus dibarengi dengan optimasi strategi dan kapasitas negosiasi diberbagai forum RFMOs dan internasional. Pemerintah, pelaku usaha, nelayan, kampus dituntut untuk dituntut bahu-membahu menghadapi PR yang ada.
Menurut Zulficar, saat ini sesungguhnya para pihak yang berkecimpung pada isu-isu kelautan dan perikanan harus mampu membaca realitas ikan tuna Indonesia, berkaitan potensi, isu dan solusnya.
“Kita perlu memahami status usaha tuna Indoneisa, seperti apa perubahan konstalasi kaitannya dengan pertunaan ini, lalu apa tantangan dan seberapa urgent kondilidasi nasional serta menyusun skenario apa penunjang staregis negsoiasi Indonesia,” jelasnya.
Status tuna Indonesia menurutnya masih sangat kuat sebagai unggulan seperti disampaikan oleh laman Trademap.org.
“Indonesia adalah produsen tuna terbesar di dunia, sayangnya, di sisi lain, kontribusi ke nelayan nelayan kecil tidak maksimal,” ujarnya.
Hal terjadi karena menurut Zulficar tata kelola tuna kita yang belum efektif.
Dia menyebut bahwa ada perubahan konstalasi saat dimana stok tuna semakin terbatas sementara permintaan dunia makin tinggi.
“Pada saat yang sama sudah semakin ketat pula regulasi perikanan internasional seperti adanya ketentuan kuota, pengaturan kapal, pengaturan alat tangkap, perlunya data, upaya sertifikasi, ketertelusuran, perlindungan spesies, rencana pengelolaan, pekerja perikanan, pengelolaan ikan, hingga tarif perdagangan,” paparnya.
Relevan dengan poin-poin di atas dia juga menyebut perubahan konstalasi kedua adalah semakin bertambahnya syarat yang diajukan pembeli.
“Ada kompetisi yang sengit,” sebutnya.
Dia menilai Perang Tuna sudah mulai, apalagi ada konflik Rusia-Ukraina yang belum selesai serta adanya kenaikan BBM, demikian pula ancaman perubahan iklim yang juga tak kalah mengkhawatirkan,” jelasnya.
Tantangan dan solusi
Zulficar menyebut tantangan perubahan lain yang juga perlu direspon adalah bagaimana proses adaptasi dan compliance pelaku usaha perikanan tuna yang di dalamnya ada kompliansi nasilnal seperti SNI, sertitikasi.
Dia menyebut sudah ada beberapa ketentuan atau protokol yang didorong seperti adanya sistem Fishery Improvement Project Progress Tracking Database and Tools, sementara di dalam negeri ada beberapa organisasi yang peduli dalam transformasi kapasitas yang relevan dengan tantangan itu.
“Sudah ada asosiasi dan non-government organization yang fokus pada transformasi kapasitas ini seperti AP2HI, ATLI, MDPI dan IPNL,” ungkap salah satu pendiri LSM Kelautan di tanah air bernama Destructive Fishing Watch ini.
Hal tersebut dibutuhkan sebab produk yang kompettiti membutuhkan proses, ketertelusuran, jaminan keberlangsungan usaha, setifkasi stok, standarisasi harga yang efisien serta perlunya kompetensi.
Perlu konsolidasi nasional
Dia merekomendasikan adanya apa yang disebut konsolidasi nasional terkait pertunaan ini.
“Mau tidak mau harus ada standarisasi harga yang efisien dan kompetitif, kita perlu merapikan tata kelola tuna kita pada hulu hilirnya,” ucapnya.
“Lalu perlu pula mengkonsolidasi strategi dan memperkuat bargaining position kita,” ujarnya.
Kita yang dimaksud Zulficar adalah para pemangku kepentingan seperti Pemerintah meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga Kementerian Perdagangan, NGO, pengusaha, organisasi profesi perikanan, dan lain sebagainya.
“Kita perlu penunjang strategi negosiasi, kita perlu transformasi digital dan adopsi teknolgi baik dalam usaha perikanan maupun dalam praktik marketing dan pengendalian mutu,” ujarnya.
Konsolidasi nasional yang dimaksudkan adalah bagaimana pihak pemeirntah mempekuat kapasutas dan mampu membangun koalisasi dengan negara lain lengkap dengan kebijakan dan orientasi jangka panjang.
Dia menyebut saat ini terkait organsiasi tuna ada RFMOS yang di dalamnya melingkupi organisasi IOTC atau Indian Ocean Tuna Commission. WCPFC atau Western & Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), hingga International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas atau ICCAT.
“Bagaimana pun kita perlu diversifikasi produk, perlu target pasar dan mendesain model nasional pada ranah tuna ini,” tambahnya. “Berikutnya adalah perlunya kolaborasi dan pemasaran.”
“Lalu berkaitan dengan penanganan complainces dan segera mengadopsi prakik perikanan berkelanjutan atau non-IUU Fishing,” ucapnya.
Berikutnya terus menerus memperkuat data saing bsinis tuna kita. “Tetap perlu memperbaiki kualitas dan menerapkan standar penanganan yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional tuna kita,” pungkasnya.
Catatan tambahan
Dalam siaran pers Plt. Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Ishartini, di akhir Desember lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor perikanan periode Januari–November 2022 mencapai USD5,71 miliar.
Sementara itu, nilai impor di periode yang sama hanya USD0,64 miliar. Artinya, masih surplus neraca perdagangan hasil perikanan sebesar USD5,07 miliar.
Adapun komoditas utama ekspor Indonesia meliputi udang dengan nilai USD1.997,49 juta, tuna-cakalang-tongkol senilai USD865,73 juta, cumi-sotong-gurita sebesar USD657,71 juta, rumput laut sebesar USD554,96 juta, dan rajungan-kepiting sebesar USD450,55 juta.
Komoditas-komoditas itu dikirim ke negara tujuan ekspor utama seperti Amerika Serikat senilai USD2,15 miliar (37,63 persen), Tiongkok USD1,02 miliar (17,90 persen), Jepang USD678,13 juta (11,89 persen), Asean USD651,66 juta (11,42 persen), serta 27 negara Uni Eropa senilai USD357,12 juta (6,26 persen).
Editor: K. Azis