PELAKITA.ID – Kota Makassar menyimpan catatan sejarah panjang dan istimewa tentang pengaruh, kekuatan dan relasi kerajaan kembar Gowa-Tallo dengan pihak luar. Peninggalan bersejarah seperti Fort Rotterdam, Museum Kota, Benteng Somba Opu, Pantai Losari, pula—pulau indah di beranda Makassar jalinan Spermonde.
Realitas tersebut menjadi perhatian anggota grup WA Kolaborasi Alumni Unhas. Salah satunya, oleh alumni FH Unhas yang saat ini menjadi pengacara, Acram Mappaona Azis.
Meski Makassar punya banyak destinasi wisata, anggota sepakat menyebut untuk berwisata di Makassar, maka unsur nyaman dan aman adalah syarat utama.
Mereka menyebut sungguhlah pentingnya bagi wisatawan atau pengunjung itu untuk berada di lingkungan aman dan nyaman.
“Kalau tiba di Makassar Kota Dunia namun disuguhkan dengan macet dan tidak menyediakan trasportasi massal yang murah. Ya, jangan harap banyak orang datang. Hanya kelas tertentu saja yang berkunjung,” kata mereka.
Nurdin Amir, anggota grup membandingkan saat berkunjung ke Jogja dengan sarana transportasi yang terjangkau.
“Bayangkan pas tiba di Bandara, transportasi massal tidak terjangkau dan murah. Ada sih, tapi harus menunggu jauh keluar dulu kalau mau naik Bus Mamminasata. Keluhan lain pengunjung, bus trasportasi massal ikut terjebak macet. Gak kayak Jogja dan Jakarta,” ucapnya.
“Ayooo. Koneksitas perlu dipikirkan,” sebutnya.
Sementara, Acram berharap kekayaan potensi wisata Kota Makassar bisa menjadi peluang usaha wisata. “Toh sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan mancanegara ini bisa menjadi devisa, peluang membelanjakan devisanya masih bisa dimanfaatkan oleh Pemkot,” ucapnya.
Perbincangan tentang Makassar sebagai destinasi wsiata ini menjadi relevan saat ada media yang menuliskan headline, bahwa Makassar bukan pilihan untuk dikunjungi.
Sebuah berita online menyebut Kota Makassar Tak Masuk Pilihan Masyarakat untuk Keperluan Apapun di Indonesia dengan mengutip provider survey. Padahal di link sumber disebutkan Makassar bahkan di atas Surabaya di sini https://data.goodstats.id/statistic/iipaditiya/daftar-kota-pilihan-masyarakat-untuk-berwisata-2022-VdjTF
Postingan itu juga yang memancing Acram untuk menilai bahwa Sulsel memang minim tourism facility. “Gambaran Kota Wisata itu tergambar dari gerbang masuknya, mungkin salah satunya bandara,” sebut Acram.
Dia menyebut mindset tourism juga luntur dengan informasi tawuran antar kelompok yang marak beberapa waktu lalu.
Hal lain yang juga ditumpahkan Acram adalah status benteng bersejarah seperti Fort Rotterdam itu.
“Fort rotterdam keunikannya terkubur sama rumah-rumah toko, dan Popsa Sepanjang Losari juga kalau ada event baru cantik, setelah event kotor lagi. Lego-lego, viewnya justeru ke Losari lama,” tulisnya.
Dia juga memgungkap fakta lebih banyak geng motor nongkrong dibandingkan pejalan kaki. “Mungkin karena masih pekerjaan drainase,” tambahnya.
Cara pandang yang dimaksud Acram adalah budaya, fasilitas dan hiburan. Dia pun mencontohkan bagaimana Lorong yang disulap jadi Lorong Wisata sebagai perlu dimaksmimalkan.
“Misalnya, hanya untuk kepuasan warga lorong, belum mendatangkan orang ke lorong. Kayak kampung warna warni di Malang itu bisa unik dan mendatangkan orang,” jelasnya.
Fungsi Lorong wisata
Terkait Lorong wisata ini, Anwar Ilyah ikut bertanya. “Apa yang mau dilihat di lorong wisata?”
Acram menjawab. “Estetika, instagrammable, culture, dimana orang ke situ bisa mengenal kearifan lokal
Yang susah memang membentuk masyarakat wisata, kayak Jogja, Bali. Malino lumayan, Toraja juga,” lanjut Acram.
Apa yang disampaikan Acram itu ditanggai Ostaf Al Mustafa. “Memang masyarakat harus terkondisikan untuk menyambut wisatawan, tetapi bagaimana itu bisa terjadi bila warga kota sendiri tidak aman dari gangguan fisik dan kehilangan nyawa,” sebut Ostaf.
Untuk menghindari itu, Acram beharap ada penerangan maksimlal di malam hari, terutama kawasan Losari. “Kalau mau lebih ramai dan menyenangkan, buatkan Car Free Night di Losari. Parkirannya area Kantor Pos situ,” idenya.
Dia juga menyampaikan agar otoritas terkait mendayagunakan mitra wisata seperti mahasiswa dan dosen Akademi Pariwisata Makassar untuk ikut bareng-bareng. “Cipatakan kondisi, anak-anak Akpar misalnya jualan pisang epe di sana,” sebutnya.
“Mestinya ada pisang epe pakai ice cream coklat leleh, ini justeru sosis bakar. Pisang Epe’ mulai tersisihkan,” curhatnya.
Ide yang juga disampaikan Acram adalah perlunya buat panggung depan Rotterdam. “Tiap malam minggu ada Pensi atau Pentas Seni. Daripada anak-anak motor baku peluk tidak bisa masuk Zona,” katanya.
Tantangan Makassar di masa depan tak semata internal seperti respon dan partisipasi warga tetapi juga setting moda transportasi. Menurutnya, wisatawan bisa saja tak lagi transit di Makassar sebab pesawat sudah bisa langsung Papua atau Malulu.
“Flight Papua, Palu, Manado langsung saja. Di sisi lain, lokasi seperti Pulau Kayangan juga mati suri,” tambahnya.
Kapasitas para pihak juga menjadi perhatian Acram. “Masyarakatnya harus siap menerima kunjungan. Dari lahir dididik jadi pemandu wisata,” tambahnya.
Perubahan mindset yang dimaksudkan Acram adalah cara pandang yang sama antara warga, Pemerintah dan penyedia jasa layanan wisata.
Menanggapi Acram, Muhammad Burhanuddin, pengacara asal Makassar yang kini bermukim di Jakarta menyebut sebenarnya kota Makassar sudah mulai bagus. “Sudah hijau dan teduh, taman-taman tematik perlu diperbanyak kayak di Bandung,” tambah Bur..
“Yang kurang hanya tidak konsisten alias tidak Istiqomah dengan ide besar awalnya Karebosi bisa digarap jadi icon. Benteng Fort Rotterdam, Paotere,” tambahnya.
“Kanal-kanalnya bisa dibuat kayak di Surabaya bersih. Malah ada yang dijadikan kanal jadi kolam ikan,” lanjutnya.
Menghidupkan ajang seni hiburan
Sebelum menutup curhatnya, Acram Mappaona Azis menyampaikan ide. “Sesekali festival budaya sekelas I Lagaligo itu, undang PM Belanda,” ujarnya.
“Di Jogja orang kesana hanya untuk liat Nabila Maharani, sama pergi foro di bawah plank jalan Malioboro. Jl. Pasar Ikan. Coba ditulis Rotterdaam Street. Mahasiswa bangga kumpul di Rotterdam, ada pertunjukan seni teater. Mungkin kayak Kota Tua Jakarta saja lumayan mi,” cetusnya.
“Ndak apa-apa sedikit-sedikit ikuti Jakarta. Sediakan sepeda ujung-ujung Losari, ada space ngamen, jejeran kulinernta dibenahi lagi. Karena ini Makassar bisa dibilang Kota 24 jam, tidak pernah mati,” ujar Acram.
“Kasih licin aspalnya Somba Opu – Penghibur (tanpa hiburan) – Pasar Ikan,” pungkasnya.
Ilham Hanafie menutup obrolan dengan kisahnya. “Pernah saya antar tamu dari Balikpapan malam-malam, sekadar untuk berfoto dengan latar tulisan Makassar. Tamu saya tersebut hanya berkomentar, agak banyak sampah berserakan dan lantainya banyak yg pecah dan terlepas,” ungkapnya.
“Tong sampah juga sangat minim. 𝙇𝙚𝙨𝙨 𝙢𝙖𝙞𝙣𝙩𝙚𝙣𝙖𝙣𝙘𝙚. Saya coba bandingkan destinasi-destinasi di Kota Batu, Malang, hampir di tiap sudut ada tempat sampah. Bahkan, di pohon-pohon pun diikatkan tempat sampah, dan tenaga cleaning service di mana-mana,” terangnya. (KAS)