“Kembalikan pantai kami yang dulu”
— repertoire KALA Teater, script Shinta Febriany.
PELAKITA.ID – “Saya kadang terenyuh dengan kehidupan masyarakat laut yang dikendalikan peradabannya oleh masyarakat daratan,” tulis Andi Wahyuddin Jalil yang saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Malaysia.
Aktivis pergerakan mahasiswa Unhas tahun 90-an itu menyebut ada beberapa contoh bagaimana kota-kota pesisir di Malaysia telah berkembang dari masa ke masa dan tetap nampak sebagai kota maritim.
“Melaka di Malaysia adalah contoh Bandar Maritim yang kini menjadi Heritage Unesco,” ujarnya.
Dia menyebut Melaka adalah bagian dari Nusantara yang juga sarat dengan sejarah maritim.
Sejarah maritim yang dimaksud Wahyuddin meliputi perkembangan pengetahuan kelautan seperti bagaimana teknik pembacaan cuaca, musim, suhu, kondisi air laut, dan beberapa pengetahuan yang berhubungan, berfungsi sebagai penentu kegiatan pelayaran.
Perkembangan maritim yang dimaksud Wahyuddin adalah berbagai pengetahuan tentang lingkungan sosial kelautan, yang terkait dengan transaksi, hubungan kerjasama, perlindungan keamanan, dan aspek lainnya.
Maqbul Halim anggota grup lainnya, kepada penulis menyampaikan bahwa kebudayaan maritim Singapura itu bisa dilihat pada dua kisah dan bisa menjadi pembanding bagaimana kota-kota pesisir di Sulsel tumbuh di antara dinamikanya, pada ruang dan waktu.
“Pertama bagaimana mereka mempertahankan Malay Heritage’ dan penataan Geylang Singapura,” ucapnya.
Yang pertama, lanjut Maqbul, bagaimana otorotas mempertahankan kampung tua Melayu, atau kampung yang merupakan hunian orang Melayu sejak lama, lalu mempertahankan artfek budaya Melayu yang bisa disebut sebangun dengan budaya Bugis-Makassar.
“Ada kebijakan dan perlindungan kawasan seperti Kampung Melayu itu. Ada Masjid Sultan, warung makan khas Melayu seperti Warung Padang atau Minang,”sebut sosok yang mengaku pernah masuk museum Malay Heritage itu.
“Lalu yang kedua ada Geylang,” lanjutnya.
Geylang yang kita kenal hari ini di Singapura adalah ‘kawasan red-light’. Terutama di daerah sepanjang kawasan Geylang Road.
“Geylang ini adalah satu kawasan yang merupakan permukiman Melayu sejak dulu. Di sana ada nama kawasan Geylang Serai, kawasan yang dulunya sulit ditaklukkan oleh Pemerintah Singapure untuk ditata atau dibangun,” ujar Maqbul.
Yang unik, di Geylang Serai ini masi bertahan tradisi Melayu, tradisi maritim seperti pasar murah, dan tradisi-tradisi kegotongroyongan khas Melayu.
Penelusuran penulis, Kata Geylang ditemukan pada awal sejarah Singapura dan juga pada peta topografi awal yang menunjukkan rawa dan perkebunan kelapa di samping dan berdekatan dengan muara Sungai Kallang,
Sungai Kallang adalah tempat tinggal Orang Laut, Banyak bijak menyebut mereka sebagai Bajo atau orang Biduanda Kallang yang mendiami daerah tersebut pada saat kedatangan Raffles pada tahun 1819. Penamaan Geylang merupakan varian dari Kata Kallang.
“Geylang Serai itu merupakan contoh bagaimana kawasan pesisir yang biasanya dianggap kumuh, susah dibangun, penuh konflik, bisa ditangani dengan baik oleh Pemerintah Singapura. Itu sejak ada anggota parlemen mereka yang berada di garis depan mempersuasi warga, mengajak warga untuk direlokasi dan diterima,” jelas Maqbul.
Peradaban maritim, sejarah dan denyut pesisir
Menurut Ilham, salah seorang anggota grup, orang-orang dari pesisir selatan Sulawesi sudah melakukan migrasi usaha maritim sejak ratusan tahun silam, bahkan lebih.
“Orang Makassar dari wilayah Sulawesi mulai mengunjungi pantai utara Australia sekitar pertengahan tahun 1700-an, pertama di wilayah Kimberley, dan beberapa dekade kemudian di Arnhem Land,” tulisnya dengan merujuk buku Voyage to Marege.
“Mereka adalah orang-orang yang mengumpulkan dan mengolah teripang (disebut juga ketimun laut), invertebrata laut yang dihargai karena nilai kulinernya secara umum dan khasiat obatnya di pasar Cina,” tambahnya.
Kisah pelayanan heorik warga Sulawesi ke Tanah Suci Mekkah bertahun silam, migrasi Daeng Manambung hingga ke pesisir Sumatera hingga pelayaran bersejarah pinisi ke Australia Vancouver Canada adalah titian penggambaran sejarah berarima laut itu.
Apa yang dibagiakn Ilham itu dibenarkan oleh Ilham Hanafie. “Betul. Sejarah Indonesia dengan laut memang sangatlah banyak. Alasan itulah mungkin sehingga Indonesia diperjuangkan sebagai Poros Maritim Dunia,” tanggapnya.
Hanya saja, menurut Ostaf Al Mustafa, sudah banyak bukti bahwa lokasi-lokasi bersejarah seperti Gowa dan Makassar pun mengalami degradasi nilai dan praktiknya.
“Sejarah Makassar terkait dengan laut, spot-nya tersisa sedikit. Tallo dan Gowa hilang total. Tallo hanya tersisa kuburan-kuburan. Walaupn masih ada pelabuhan lama, Paotere,” imbuhnya.
Nun lampau, suasana pesisir kerajaan Gowa Tallo dimana di dalamnya tumbuh usaha dan jasa kepelabuhanan kelas dunia tahun 1600-an adalah fakta sejarah yang sejatinya bisa menuntun kita pada nilai-nilai, visi dan agenda pemimpin di daerah ini untuk memanfaatkan keuntungan strategis dan kompetitif Sulawesi bagian selatan itu.
Ada kisah tentang sosok seperti Karaeng Pattinggalloang yang disebut sangat visioner membangun masyarakat, memperkuat ‘negara’ dengan meningkatkan kapasitas pendidikan anak negeri menjadi cerita inspiratif.Inisiatifnya memesan teropong raksasa dari Eropa adalah contoh yang menarik ditelaah.
Dapat dinyatakan, konsepsi Budaya Maritim yang dipraktikan oleh Karaeng saat itu adalah menifestasi seluruh gagasan, arah dan praktik yang dapat menghasilkan perilaku dan tindakan bersama atau secara kolektif oleh kelompok masyarakat kelautan atau yang umumnya bermukim di pesisir dan pulau-pulau.
Membincang budaya maritim seperti bagaimana kerajaan kembar Gowa-Tallo eksis dan menjadi gambaran sejarah bagaimana Budaya Maritim di pesisir selatan Pulau Celebes itu sesungguhnya merupakan landasan bagi kita semua untuk membaca denyut perkembangan kebudayaan dan tradisi dalam masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan, termasuk Makassar dari dulu, kini dan nanti.
Sejak perjanjian Bungaya diteken tahun 1696, Kamaruddin Azis menuliskan bahwa pilihah Sombayya (yang sudah ditaklukkan Belanda) di Gowa untuk membawa istana dari muara Sungai Je’neberang ke pedalaman Gowa adalah bentuk kemunduran maritim itu.
“Sahabat saya Nurhady Sirimorok pernah menuliskan bahwa pemindahan kompleks Sombaya di Gowa ke pedalaman Gowa itu tanda kemunduran maritim Gowa,” tulisnya.
Terkait obrolan budaya mariitm itu, melalui obrolan langsung, Danny Pomanto yang juga anggota grup menyatakan pernah ada kawasan di utara Makassar dimana warga terkenal sebagai pembuat perahu pinisi.
“Makanya ada kampung Bira, dulu itu kawasan para pembuat perahu pinisi sebelum dipindahkan olehotoritas saat itu,” kata Danny. Disebutkan, sejak kejatuhan Gowa-Tallo terjadi diaspora penduduk. “Banyak yang pindah atau meninggalkan Gowa-Tallo saat itu, kan?” kata DP.
Kecenderungan perubahan
Sosodara, potret kawasan pembuat perahu adalah contoh bagaimana pengetahuan maritim tumbuh, dimana di dalamnya adalah gambaran perangkat kelautan seperti perahu yang bisa disebut sebagai karya pemikiran, dari budaya kelautan atau maritim.
Pinisi, adalah hasil dari budaya tersebut, yang beberapa di antaranya seperti baggo’, pinisi, lepa-lepa, jolloro’, balolang, dan lain sebagainya. Perahu bisa menjadi awal penjelajahan kita bagiamana pengetahuan, keterampilan, dan komitmen berusaha di lautan yang digambarkan oleh komunitas pesisir.
Berbagai macam produk dari kapal itu penanda bahwa masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan punya kapasitas maritim yang lebih dari memadai. Merekai keterampilan menciptakan suatu karya maritim.
Untuk membaca seperti apa potret budaya maritim Sulawesi Selatan dan kecenderungan perubahannya itu dapat dilihat sebagai berikut.
Pertama, perubahan dilihat dari cara penangkapan ikan, dari bentuk tradisional menjadi modern. Hal tersebut dapat terjadi, karena semakin berkembangnya, konsep dan kemampuan, dari para pelaku dan masyarakatnya.
Kedua, memahami budaya maritim tak bisa dipelaskan dari pranata atau organisasi sosial . Dari pranata inilah denyut pesisir dan pulau-pulau berdenyut. Sistem punggawa-sawi (patron-client) adalah salah satu ciri organisasi sosial maritim. Sistem ini disebut berperan dalam meringankan beban pekerjaan yang terbilang cukup berat dan sulit.
Patron client adalah mekanisme dalam memperoleh modal dan pemasaran. Sebagai wadah dan media pembelajaran, pengetahuan, keterampilan kerja, dan kebaharian.
Meski demikian, sistem ini disebut kadang tidak fair dalam pendistribusian hasil usaha. Punggawa membiayai sawi atau pekerja perikanan namun kerap dianggap tidak proporsional dalam perhitungan dan pembagian hasil usaha yang oleh Guru Besar Sosiologi Pertanian Unhas. Prof Darmawan Salman sebagai ‘diterima secara sosial meski secara ekonomi kadang tidak adil’.
Ketiga, adoapsi Teknologi Kemaritiman.
Perkembangan ukuran dan kekuatan perahu adalah contoh yang paling sering diajukan untuk memahami bagaimana teknologi di tangab nelayan atau punggawa-sawi.
Sebut saja bagaimana transrformasi Perahu Patorani dari Makassar , Lambo dari Mandar . Pinisi dan Bagang dari tanah Bugis. Kalau di daerah lain dikenal nama Janggolan dan Perahu Jaring dari Madura. Mayang dan Jukung dari Jawa. Nade dari Sumatra.
Keempat, memahami budaya maririm dapat pula dilihat dari transformasi bentuk dan usaha kelautan dan perikanan.
Laut adalah wahana sistem ekonomi maritim. Ada usaha perikanan tangkap dan budidaya. Lalu ada jasa pengangkutan atau kargo, pengamanan wilayah laut, pengerukan dasar laut, dan perdagangan, industri hasil laut, pertambangan, pembuatan garam, pembuatan kapal dan alat tangkap, jasa pariwisata serta barang kerajinan hasil laut.
Ada kecenderungan menggunakan alat atau praktik merusak dan tidak berkelanjutan dalam praktik pemanfaatran sumberdaya perikanan, ada bom ikna, bius dan lain sebagainya.
Kelima, membaca budaya maitim dapat pula dilihat dengan mengamati seni kebaharian.
Kebudayaan maritim juga memiliki unsur kesenian, terutama dalam seni arsitektur, atau konstruksi kapal. Berkaitan dengan penentuan dalam segi estetikanya, seperti ukiran, motif, warna bahkan bunyi-bunyian yang menyertainya.
Demikian pula sistem religi dan kepercayaan. Nelayan Bugis, Bajo, Makassar, dan Madura yang dsebut beragam Islam, juga punya tradisi maritim yang kuat. Di Bugis ada istilah maccera’ tasi’, di Makassar ada praktik appadongko leko’ dan lain sebagainya.
Konklusi
Pertama, Sulawesi Selayan dan kemaritiman, dua hal yang tidak terpisahkan. Secara geografis, Makassar adalah hub barat-timur. menjadi penghubung antara Benua Asia dan Australia.
Kedua, seiring jatuhnya kerajaan-pesisir pesisir Indonesia, kejayaan tradisi maritim pun ikut memudar secara perlahan termasuk di Kerajaan Kembar Gowa-Tallo. Aktivitas perekonomian yang mulai berpindah tempat ke daratan, industrialisasi berkembang. Pengelollaan pesisir dan pulau-pulau tidak menjadi arus utama.
Ketiga, perlu memberi masukan ke Pemerintah Daerah bahwa spirit maritim Sulawesi Selatan sedari dulu harusnya bisa dihidupkan kembali dengan memanfaatkan potensi yang ada seperti sumberdaya hayati laut, energi, bioteknologi, wisata bahari, pelayaran, serta industri maritim.
Keempat, agar kisah sukses kejayaan maritim Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit,Gow -Tallo tak hanya sebatas dongeng belaka maka perlu keputusan kuat ‘extra ordinary decision making’ untuk menjadikan kota-kota utama seperti Makassar, Parepare atau Watampone sebagai titik-titik industri maritim yang lebih kuat dengan tumpuan pada pertukaran barang dan jara.
Kelima, tata kelola ‘city heritage’ harus diperbaiki dan dipraktikan dengan benar. Untuk konteks Makassar, atau kota-kota pesisir seperti Parepare serta Watampone maupun seperti Malili di Luwu Tumur, perlu didorong zonasi peruntukan yang konsisten dan diproteksi.
Hal itu sangat penting supaya artefak keseejarahan bisa menjadi panduan untuk generasi yang akan datang.
Keenam, membangun kota maritim membutuhkan paradigma yang tepat. Membangun maritim, membutuhkan konsep. Ini bisa ditindaklanjuti oleh sesiapun untuk memastikan mereka peduli dan opitmis bidang kelautan bisa menjadi sandaran masa depan daerah, atau negeri.
Ketujuh, kampus-kampus dan pemikir masih berkiblat ke Jawa, padahal sumberdaya, spirit dan budaya maritim sangat kuat di Timur. Kampus-kampus maritim harus turun tangan agar anggaran, proporsi, dan program usaha kelautan dan perikanan yang selama ini tidak menyentuh substansi kebudayaan maritim untuk bisa dibenahi.
Sosodara, harapan Andi Wahyuddin Jalil agar kota-kota dengan boyongan sejarah agung maritim disambut oleh Aslan Abidin.
Aslan menilai perencanaan pembangunan kota seperti Makassar yang menyediakan bangunan mulai dari fasiilitas umum dan ibadah harus dilihat relevansinya dengan kebutuhan warga kota.
“(Kita) belum bicara pantai tempat air ketika pasang yang terus-menerus ditimbun dan disebut reklamasi. Menggadaikan nasib tidak kebanjiran dan merusak laut dengan kamuflase masjid puluhan kubah mini,” tullisnya.
Penulis: K. Azis