PELAKITA.ID – Pengelolaan Akuakultur dengan Pendekatan Ekosistem (ADPE) atau Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA), merupakan salah satu opsi pengelolaan perikanan yang mendukung pembangunan perikanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial.
“ADPE didasarkan pada tiga prinsip dasar yaitu keberlanjutan ekosistem, kesejahteraan berkeadilan dan tata kelola atau sinergitas. Pendekatan ini merupakan fase penting untuk menjaga kelestarian sumber daya alam, habitat, dan ekosistemnya, sehingga tercipta pembangunan subsektor perikanan budidaya yang berkelanjutan serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tegas Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja.
“Pengelolaan perikanan budidaya yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan akan berakibat pada penurunan daya dukung lingkungan tersebut yang pada akhirnya akan mengancam eksistensi sumber daya alam,” tambahnya.
Hal tersebut disampaikan Sjarief pada WEBINAR SERIES #7 bertema ‘Optimalisasi Perikanan Budidaya Melalui Pendekatan Ekosistem’, yang diselenggarakan oleh Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP), pada Rabu, 28 Juli 2021.
Kegiatan ini terlaksana dalam rangka mengembangkan inovasi kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
“Intervensi manusia di alam harus dapat memberi nilai tambah dengan menghasilkan produk perikanan yang berkualitas dan ramah lingkungan. Integrasi yang selaras dan harmonis antara sumber daya alam, habitat, dan ekosistem, dapat berikan kemanfaatan tanpa harus korbankan kelestariannya,” tutur Sjarief.
Pihaknya pun berharap, webinar ini dapat menghasilkan suatu rumusan dalam mendukung program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dalam hal revitalisasi tambak idle, pengembangan tambak baru dengan kualitas prima serta pembangunan kampung budidaya yang memberikan banyak manfaat bagi masyarakat lokal dan mampu meningkatkan perekonomian nasional.
Dalam pelaksanaannya, KKP telah bekerjasama dengan WWF (World Wild Fund for Nature) Indonesia, dalam merancang pedoman tentang pengelolaan perikanan budidaya berbasis ekosistem.
Pedoman ini menjadi acuan bagi pelaku usaha bagaimana melakukan pengelolaan usaha budidaya perikanan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.
Cut Desyana, Program Manager for Sustainable Fisheries WWF, sebagai salah satu pembicara dalam webinar ini, menuturkan bahwa penerapan ADPE memiliki beragam manfaat, di antaranya yakni peningkatan program ketahanan pangan, memperkuat eksistensi kawasan akuakultur dan jaminan kesempatan kerja/usaha; peningkatkan daya saing produk akuakultur, dan merangsang investasi; menggerakkan perekonomian lokal/nasional berbasis akuakultur; menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan dalam rangka mengintegrasikan program program pembangunan yang berkelanjutan di suatu wilayah; dan berpotensi menurunkan biaya sertifikasi produk akuakultur.
“ADPE juga dapat dijadikan sebagai alat penilaian dalam perencanaan dan pengelolaan perikanan di pemerintahan pusat dan daerah, pemantauan performa pengelolaan perikanan, dan sinergi dengan inisiatif global,” katanya.
“Di samping itu, penerapan ADPE bisa dilakukan pada semua sistem budidaya dan dapat mensinergikan berbagai program lainnya, seperti sistem Intensif, Semi-intensif, Tradisional, Supra-intensif, budidaya ikan sistem minapadi, budidaya ikan teknologi bioflok, alat berat eskavator, pembangunan irigasi tambak partisipatif (PITAP), kebun bibit rumput laut, kampung ikan, bantuan KJA budidaya laut dan model budidaya pakan alami maggot,” terangnya.
BRSDM melalui BBRSEKP juga telah melakukan kajian tentang pelaksanaan program pengembangan budidaya perikanan berbasis ekosistem. Kajian ini diperlukan untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip ADPE.
Pinrang jadi contoh
Rizki Aprilian Wijaya, Peneliti BBRSEKP, yang turut menjadi pembicara, memaparkan bahwa implementasi ADPE di Indonesia, dimulai dengan Pilot Project Implementasi pada beberapa daerah yang dinilai potensial, di antaranya Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, pada 2018.
Pemilihan Pinrang sebagai pilot project tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain Pinrang memiliki potensi pengembangan budidaya perikanan yang cukup besar (air payau, laut dan air tawar), di samping itu di Kabupaten Pinrang terdapat berbagai ragam jenis kegiatan budidaya perikanan yang sudah dikembangkan dan secara nyata telah memberikan nilai tambah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta tingkat kepedulian pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelola lingkungan yang dinilai cukup tinggi.
Saat ini paradigma pembudidaya udang masih menitikberatkan pada faktor ekonomi dibandingkan lingkungan. Implementasi pendekatan EAA dapat dilakukan sepanjang manfaat ekonomi yang diterima lebih besar dibandingkan dengan kondisi usaha eksisting.
Sementara itu, Denny D. Indradjaja, Sekretaris Jenderal Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), berfokus pada penerapan sistem Indonesia Good Aquaculture Practices (Indo GAP).
Indo GAP merupakan sistem yang dikembangkan KKP sejak 2018, untuk menjamin produk perikanan budidaya memenuhi aspek keamanan pangan, kesehatan dan kesejahteraan ikan, sosial ekonomi serta tanggung jawab lingkungan.
Pasalnya, saat ini baru terdapat sekitar 5 persen pembudidaya yang mengantongi sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) atau Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB).
Di samping itu, penggunaan KJA ramah lingkungan juga harus segera digunakan untuk para pembudidaya ikan di danau/waduk dengan skema bantuan untuk para pembudidaya skala UKM, serta perlu adanya peningkatan pengembangan pengolahan limbah berbasis komunal untuk para petambak UKM tradisional dan semi intensif, serta penyetaraan dan pengakuan Sertifikasi IndoGap oleh ‘buyers’.