“Saya mau kalian itu tidak mengekor, tetap aktif membuka peluang. Itu memang ciri-ciri kompetensi saat ini. Menciptakan, membuka atau membagikan informasi, berjejaring.” Petta Mul.
PELAKITA.ID – Berpengetahuan, terlatih, committed, adalah pilar-pilar kompetensi yang menopang eksistensi orang per orang, organisasi, alumni, juga perguruan tinggi di manapun berada, pun Unhas.
Karena itu pula, sosok seperti Mulawarman (atau Moelawarman, selanjutnya Petta), aktivis di Unhas dan mantan jurnalis media cetak Surya ini seperti tak mau diam ketika dimensi itu dikaitkan pada organisasi sebesar Unhas.
Menembus malam di antara Tamalanrea dan tepi selatan Panakukang, Petta naik ojol demi menyambut ajakan bersua Pelakita.ID di Cafe Red Corner, Makassar dalam bulan Januari yang basah.
Dia mengenakan topi dan kacamata lensa bulatnya yang khas, mengingatkan saya pada Menteri Susi yang juga suka jenis kacamata model antik itu. Meski punya Menteri Susi lebih besar.
“Saya mau kalian itu tidak mengekor, tetap aktif membuka peluang. Itu memang ciri-ciri kompetensi saat ini. Menciptakan, membuka atau membagikan informasi, berjejaring,” kata Petta memulai obrolan. Malam merambat pekat di Yusuf Daeng Managawing, sepelemparan bola dari rumah jabatan Wakil Gubernur Sulsel.
“Itu memang perlu kesadaran internal, tapi jangan lupa, itu juga dikondisikan. Dibuka aksesnya,” lanjutnya sembari menyebut beberapa nama Guru Besar, salah satunya Refly Harun yang menurutnya bisa dapat honor karena bicara di depan umum hingga berpuluh juta.
“Itu yang harus didorong, difasilitasi,” katanya (Teleponnya sejenis Iphone berdering, dia menerimanya. Suaranya nan khas jelas serak halus terdengar)
“Mereka itu harus ditarik keluar memang, dipanggil, difasilitasi, tapi tidak ada yang berani keluar,” sambungnya.
“Jakarta keras, banyak orang main kayu.”
“Saya kasih contoh,” (Teleponnnya berdering lagi, duh, sibuknya)
“Apa yang menarik dari Prof Ryaas?” lanjutnya menyebut mantan Rektor Insititut Ilmu Pemerintahan Jakarta itu yang juga mantan Menteri di Kabinet Persatuan Nasional di masa Gus Dur.
“Diundang ceramah di UI dia tidak datang, dia kasih Alfian. Diundang ceramah di Lemhanas, dia kasih Hamid. Hari Rabu, misalnya diundang ke Universitas Nasional, dia kasih Anas. Selanjutnya diundang ke Surabaya dia kasih Alfian,” katanya memberi contoh.
Obrolan dengan Petta Mul mengalir seketika serupa Sungai Jeneberang yang lagi menggeliat di puncak musim.
Dia memesan teh hangat, mengaku sudah seminggu batuk-batuk ringan (bukan karena pencalonan Rektor Unhas yang kini berbilang bulan).
“Jadi apa yang kita bisa pelajari dari Prof Ryass Rasyid?” tanya Petta lagi, sembari menepuk paha kanan saya lalu menggerakkan badannya seperti sedang berkelit dari terjangan.
“Bagaimana ia besarkan Alfian Mallarageng, Hamid Awaluddin, termasuk Anas Urbaningrum,” sebutnya.
“Selama jadi Dirjen Otoda di Kemendagri, bagaimana ketika ia ada undangan presentasi atau bawa ceramah, dia mandatkan ke orang-orang itu,” jelasnya.
“Dikondisikan?” balasku
“Tentu, Prof Ryaas membaca kompetensi mereka, dia tahu kemampuannya. Sekarang siapa yang seperti itu dari kita, alumni Unhas?” tanya sosok yang beberapa waktu gelisah ketika ada lahan Pemerintah di sekitar Bara-Baraya hendak dialihadministrasikan.
“Itu yang kita ingin lihat di Unhas toh? Sekarang apa yang kau sudah lihat?” tanyanya merangsek. Saya menarik kursi ke belakang.
Mul menegaskan. “Mana ada inisiatif, seperti bagaimana UGM, ITB atau UI yang pimpinannya lincah berjejaring, yang alumninya giat menyiapkan panggung untuk alumni di pentas nasional.”
“Kan kita punya Dirjen asal Unhas? Di KKP ada, di Kemenkomaritim? di Pupera?” kataku.
“Ah itu, karena masing-masing saja, inisiatif sendiri bos,” jawabnya.
“Petta mau bilang apa sesungguhnya?” Saya melihat jam dinding, malam semakin tua di tepi Panakukang.
“Bisakah JK, sebagai Wakil Presiden, sebagai Ketua IKA memberi ruang untuk itu? Atas nama IKA membuka peluang ke Unhas, mengajak orang-orang hebat di Unhas, Doktor dan Professor kita banyak bos,” harapnya sembari menyeruput teh, benang teh saset masih menggantung di tepi gelasnya.
“Lho kan sudah banyak yang go Nasional?”
“Iya tapi lebih banyak yang pulang,” tanggapnya (dia menyebut nama).
“Kita rindu melihat alumni Unhas maju ke pentas nasional, menjadi sosok panutan karena kompetensi dan kemampuan berjejaringnya. Yang saya lihat saat ini berjejaring tapi itu ekslusif. Kau lihat sendiri toh?” tegasnya.
“Kan tidak bawa IKA, hanya beberapa yang serupa cincin kecil, tak masalah toh?” (Di sini, dia menyebut beberapa nama juga). Saya tersenyum karena teman-teman yang menurut hemat saya sudah jadi influencer yang berhasil di kancah nasional.
“Unhas banyak yang kompeten bos, tapi kompeten saja tidak cukup toh? Perlu keluar, kepala tegak. Berani masuk ke gelanggang nasional menyelesaikan persoalan bangsa. Ini yang luput dari Unhas, termasuk IKA-nya,” tutupnya lagi.
Bak raja penganjur perubahan dan layak dijunjung tinggi, Petta sudah bertitah.
Bagi saya, bagi kita yang cinta Unhas, titah yang dikemukakan Petta tidak semuanya baru, ada yang sudah nampak di plang-plang Kampus Merah, pada anjuran petinggi Unhas, pada rencana-rencana, pada proyek-proyek perubahan Humaniversity Unhas, tetapi ada beberapa yang superpenting digaris bawahi untuk konteks Unhas kini dan pada masa datang yang tak pasti, ambivalen dan rentan.
Pembaca tahu, bukan?
Penulis: K. Azis