PELAKITA.ID – Presiden Joko Widodo berhasrat melesatkan produksi udang dalam negeri. Dua tahun terakhir, KKP merespon dengan menerapkan percontohan metode budidaya yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan koodinatif di beberapa titik.
Pembaca sekalian, udang memang primadona ekspor perikanan nasional. Dia penyumbang terbesar devisa ekspor perikanan setelah tuna. Tahun 2019, ekspor udang naik 39 persen terhadap total ekspor produk perikanan nasional. Sehingga, target produksi meningkat 250 persen pada 2024 dianggap realistis.
KKP menjalankan pilot project seperti di Sukabumi Jawa Barat termasuk pada kawasan perhutanan sosial yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Model percontohan itu diharapkan bisa mendukung program perhutanan sosial yang sudah dijalankan Pemerintah di seluruh Indonesia.
Lalu seperti apa percontohan kawasan budidaya udang itu?
Rillis KKP menjelaskan bahwa percontohan itu tidak lain praktik pengelolaan budidaya udang semi atau dan intensif secara berkelanjutan dimana manajemen produksi terintegrasi, ada penerapan biosekuriti, pengelolaan limbah yang efektif, dan manajemen usaha kolektif.
Dengan pendekatan itu, empat isu yang menjadi permasalahan budi daya udang di Indonesia seperti lemahnya penguasaan teknologi dan sumber daya manusia (SDM), produksi dan operasional yang tak standar, rumitnya regulasi dan perizinan, investasi, dan pemasaran diharapkan bisa ditekuk.
Bukan hanya upaya KKP itu, untuk mengawal tujuan itu semua, Kementerian Koordinasi yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan Kemenkomarves ikut mengeluarkan surat keputusan kelompok kerja (Pokja) peningkatan produksi industri udang nasional tahun 2020-2024 untuk menyiapkan, mendedah dan menawarkan ‘jalan lempang’ perencanaan pembangunan, monitoring evaluasi, pemasaran, dan pelatihan riset dan penyuluh jadi ruang lingkup fasilitasinya.
Pokja ini manifestasi pengawalan pelaksanaan Peraturan Presiden (PP) Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Amanat RPJMN untuk revitalisasi tambak di kawasan sentra produksi udang dan bandeng.
Pemerintah ingin Pokja ini bisa melancarkan proses administrasi usaha menjadi lebih simpel dan cepat. Bayangkan, ada 21 dokumen regulasi yang mesti dipenuhi sebelum memulai usaha budidaya udang ini. Untuk efisiensi tentu ini perlu penyederhanaan.
Pendek kata, idealnya, Pokja mutlak mendorong realisasi kebijakan yang sudah dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus yang juga arahan Presiden Joko Widodo untuk menaikkan produksi menjadi 16 juta ton sampai nanti tahun 2024.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pernah merilis kebutuhan penambahan lahan tambak untuk tujuan tersebut, yaitu sedikitnya 86 ribu hektar. Angka yang luar bisa di tengah problematika daya dukung pesisir dan kian tergerusnya luasan greenbelt kita dalam satu dekade terakhir.
Jadi, jika membaca prinsip berkelanjutan sebagaimana yang sering pula disinggung oleh Pemerintah maka tentu kita pantas bertanya seperti komunikasi dan sosialisasi itu.
Bagaimana mengajak para pihak terutama petambak yang sudah bertahun-tahun benam dalam usaha ini untuk kontributif dan reflektif pada isu budidaya udang?
Seperti apa transfer kapasitas dijalankan, bagaimana kepentingan lingkungan atau daya dukung lahan, apakah tidak merusak atau bermasalah hukum, demikian pula praktik berbudidayanya, apakah bijak atau asal bajak lahan. Di mana sesungguhnya posisi para pemangkukepentingan (terutama petambak) itu eksis atau kontributif dan tak overlap, atau tak hanya sekadar pelengkap penderita?
Apakah ada pelajaran dari pengalaman usaha perikanan budidaya ini dari laci-laci pengetahuan LSM? Pengusaha, atau praktisi budidaya udang dalam negeri kita? Seperti apa nilai plus budidaya udang sejauh ini? Apakah nilai minus destruktif yang dikhawatirkan sejauh ini memang sulit dihilangkan?
Yuk simak pandangan Direktur Kelautan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Muhammad Ilman sebagaimana disampaikan pada obrolan yang digelar Pelakita.ID bekerjasama Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada hari Sabtu, 22 Mei 2021.
Penulis/Host: K. Azis