PELAKITA.ID – Setelah nyaris setahun tak ke pulau – maksudnya pulau kecil – karena pandemi, hari ini saya mulai merenung cantik.
Pulau mana yang sangat ingin dikunjungi dalam waktu dekat jika kesempatan itu datang?
Ada tiga yang utama.
Pertama, Pulau Rajuni Taka Bonerate, Selayar. Jangan ditanya lagi apa yang berkesan di sini. Terlalu banyak.
Menghabiskan waktu antara tahun 1995 hingga 2003 di pulau ini, dia seperti kampung halaman layaknya Galesong.
Saya membayangkan rupa-rupa wajah yang seusia saya sejak 1995.
Seperti apa mereka saat ini? Lalu anak-anak balita yang sudah dewasa dan mungkin sudah momong bayi dan lain sebagainya.
Jika ada kesempatan naik perahu kayu pengangkut beras atau semen ke pulau ini dari Makassar – seperti dulu sering saya lakukan – rasanya saya masih kuat.
Terkenang Haji Darwis yang rumahnya saya jadikan tempat tinggal, Rumah Ibu Zaenab yang jadi basecamp sejak 1995, di samping masjid.
Tentang Kampung Bugis nan rapi, serta perahu barang antar Makassar dan pulau-pulau di NTT. Atau sore meriah bersama ibu-ibu Kampung Bajo yang membelah ikan sementara bapak-bapak bersiap ke masjid dengan tasbih di tangan.
Pulau kedua ada Tanakeke. Entah mengapa selalu ada semacam ‘panggilan dari laut’ untuk menyesap makna sepi di sini.
Tanakeke, pulau yang oleh teman saya disebut sebagai pulai dengan sunrise terbaik di selatan Makassar.
Selain itu, di sini saya masih bisa merasakan suasana seperti kampung halaman saya Galesong seperti tahun-tahun 80-an. Rumah-rumah panggung dan kedekatan sosial yang masih hangat. Itu sudah.
Katanya tiga? Oh iya.
Yang ketiga adalah Kaledupa, Wakatobi.
Pulau ini seperti kenangan yang selalu memanggil pada ruang dan waktu. Pengalaman menyusuri ‘ring road’ pulau ini lalu menepi di Kampung Bajo Mantigola menurutku sangat epik dan elok.
Seharusnya ada banyak paragraf kisah yang bunting di sini saat itu.
Terkenang suasana saat menyusuri jalan ke arah pelabuhan. Juga menyaksikan rumah-rumah yang asri di sepanjang Tampara hingga ke utara pulau. Juga ‘puncak’ Kaledupa yang elok.
Untuk saya yang senang melihat komunitas Bajo, saya melihat komunitas yang origin di sini. Komunitas yang pantas dijajal untuk studi etnografi atau semacamnya.
Di Mantigola, kita masih bisa menyaksikan mangrove yang menenteng kepiting bakau di akarnya, juga rumah di atas air, sunset yang aduhai.
Saya membayangkan suasana Mantigola saat ini. Berikut generasinya yang terus bertahan di tengah deru modernitas meski tentakel pembangunan juga sudah mulai bekerja di sini.
Semoga Coronces segera berlalu dan katong bisa ke sana lagi.
Penulis: K. Azis