PELAKITA.ID – DPRD Sulawesi Selatan memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) Lintas Komisi demi menindaklanjuti pengaduan dari Aliansi Pemuda dan Nelayan Sangkarang terkait aktivitas penambangan pasir laut.
Pertemuan ini diharapkan menjadi upaya untuk mencari titik temu atau solusi atas penambangan pasir yang dilakukan oleh Boskalis. Pada pertemuan tersebut disorot kegiatan usaha penambangan oleh PT Benteng dan Pelindo, (15 Juli 2020).
Pertemuan ini sebagai respon DPRD Sulsel atas protes nelayan dari sejumlah pulau di Makassar yang menolak penambangan pasir laut di perairan mereka atau di sekitar Kepulauan Sangkarrang. Pada saat aksi protes itu mereka mencegat kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis.
Menurut Ketua Komisi D DPRD Sulsel, John Rende, rapat ini sangat penting karena mendengarkan langsung aspirasi masyarat pesisir. “Apalagi di pulau, mata pencaharian mereka di laut,” kata John Rende.
Aliansi Pemuda dan Nelayan Sangkarrang diperkuat pula oleh HMI MPO Cabang Makassar, IMM Makassar Timur, Sapma PP Kota Makassar dan perwakilan nelayan kepulauan Sangkarang.
Menurut John Rende, dengan adanya penambangan maka mengganggu aktivitas masyarakat karenanya perlu solusi dan pencegahan. “Aktivitas pertambangan pasir juga bisa menyebabkan turunnya penghasilan nelayan karena dilakukan di wilayah tangkap. Ini perlu diwaspadai,” kata Rende kepada awak media.
Situasi saat ini
Pelakita.ID menelusuri situasi pertambangan pasir ini dengan mengontak beberapa pihak, dari Unhas, Pemprov dan aktivis LSM di Makassar dan Galesong Takalar, berkaitan situasi penambangan pasir ini.
Ada pun beberapa fakta yang perlu didapatkan adalah sejauh ini di Sulawesi Selatan ada tiga daerah atau zona yang dibolehkan untuk menambang. Salah satunya di zona perairan Takalar. Galesong dan Tanakeke ke barat.
Pada RDP tadi nelayan atau warga Sangkarang sangat terdampak oleh hadirnya kapal Boskalis yang akan masuk atau keluar dari NPM atau New Port Makassar.
Sejauh ini beredar informasi bahwa penambangan sebelumnya belum mengacu ke UU baru, jadi masih berkaitan dengan Pemda Takalar. Setelah berlaku UU 23/2014 melalui RZWP3K, maka dibuatlah zonasi. Ini sudah memperkecil zona tambang dan semua di atas 8 mil.
Pada pertemuan yang disebutkan sebelumnya, terungkap bahwa selama penetapan RZWP3K, pihak yang banyak terlibat adalah warga 7 desa di Takalar. Warga di Spermonde atau Sangkarang tak ikut dalam proses penyusunan RZWP3K.
Diperoleh juga informasi bahwa bisnis tambang pasir sangat menggiurkan, terbetik kabar kalau ada 20 perusahaan sudah mengusulkan izin ke Kantor DPMPTSP Sulsel.
“Ini tidak mudah sebab harus ada izin lokasi, IUP, Amdal, dan izin dari perhubungan. Saat ini ada dua perusahaan yang sudah beroperasi dari empat yang sudah dapat izin, keduanya adalah PT Benteng dan Alefu,” kata sumber Pelakita.ID.