Masa Depan Ekonomi Biru: Mengulas Laporan Statistik Perikanan dan Akuakultur Global FAO 2023

  • Whatsapp
Ilusutrasi Laporan FAO 2023
  • Laporan ini mempertegas dominasi kawasan Asia dalam peta kekuatan pangan biru. Asia menyumbang sekitar 71,7% dari total produksi hewan air global, atau setara dengan 135,5 juta ton. Jauh melampaui Amerika (11,2%) dan Eropa (9,3%).
  • FAO Fishery and Aquaculture Statistics Yearbook 2023 mengonfirmasi bahwa kita telah memasuki “Abad Akuakultur”. Masa depan pangan dunia akan sangat bergantung pada seberapa cerdas kita mengelola tambak dan keramba, tanpa merusak ekosistem laut yang tersisa.

PELAKITA.ID – Di tengah tantangan krisis pangan global, sektor perairan muncul sebagai tumpuan harapan. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) baru saja merilis Fishery and Aquaculture Statistics Yearbook 2023.

Laporan tahunan edisi 2025 ini bukan sekadar kumpulan angka, melainkan potret kritis mengenai bagaimana manusia mengelola sumber daya air untuk keberlangsungan hidup.

1. Era Baru: Dominasi Budidaya (Akuakultur)

Satu poin paling revolusioner dalam laporan ini adalah pergeseran struktur produksi global. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, hasil dari sektor akuakultur (budidaya) secara konsisten melampaui hasil perikanan tangkap.

Total produksi biota perairan  dunia mencapai rekor 188,9 juta ton. Dari angka tersebut, akuakultur menyumbang 98,5 juta ton (52%), sementara perikanan tangkap berada di angka 90,4 juta ton.

Hal ini menandakan bahwa kita tidak lagi bisa hanya bergantung pada apa yang disediakan alam secara liar; intervensi manusia melalui budidaya yang berkelanjutan menjadi kunci masa depan.

2. Asia sebagai Poros Utama Perikanan Dunia

Laporan ini mempertegas dominasi kawasan Asia dalam peta kekuatan pangan biru. Asia menyumbang sekitar 71,7% dari total produksi hewan air global, atau setara dengan 135,5 juta ton. Jauh melampaui Amerika (11,2%) dan Eropa (9,3%).

Tiongkok, Indonesia, dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya tetap menjadi motor penggerak utama.

Fokus besar di kawasan ini adalah pada budidaya ikan air tawar dan rumput laut, yang mana produksi alga global sendiri kini telah mencapai angka fantastis sebesar 38 juta ton.

3. Konsumsi dan Ketimpangan Pangan

Meskipun produksi meningkat, laporan FAO menyoroti isu pemerataan. Rata-rata konsumsi ikan global adalah 20,5 kg per orang per tahun. Namun, terdapat jurang yang lebar antara negara maju dan berkembang.

  • Di negara berpenghasilan tinggi, konsumsi mencapai 26 kg per kapita.

  • Di negara berpenghasilan rendah (LDCs), angka ini anjlok hingga hanya 5 kg per kapita.

Ikan adalah sumber protein hewani yang sangat penting bagi negara berkembang karena harganya yang relatif lebih terjangkau dibandingkan daging sapi.

Ketimpangan ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kebijakan pangan internasional.

4. Ekonomi dan Perdagangan Global

Sektor perikanan adalah mesin ekonomi yang masif. Pada tahun 2023, nilai ekspor produk perikanan menembus angka USD 182 miliar.

Laporan ini mencatat bahwa negara-negara berkembang kini berperan penting sebagai eksportir utama (penghasil devisa), sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang menjadi importir terbesar.

Selain itu, sektor ini menghidupi jutaan orang. Armada penangkap ikan global diperkirakan mencapai 5 juta unit kapal, di mana sebagian besar merupakan armada skala kecil yang beroperasi di wilayah pesisir negara-negara berkembang.

Tinjauan Kritis: Antara Pertumbuhan dan Keberlanjutan

Kekuatan Laporan: Laporan FAO 2023 ini patut diapresiasi karena ketelitian datanya.

Penggunaan klasifikasi ISSCAAP yang mendetail memungkinkan kita melihat pertumbuhan per spesies.

Selain itu, integrasi data mengenai rumput laut (alga) menunjukkan pandangan futuristik FAO terhadap ekonomi biru yang tidak hanya terbatas pada ikan dan udang.

Tantangan yang Tersisa: Namun, ada catatan kritis yang perlu diperhatikan. Masih terdapat “celah data” pada aspek sosio-ekonomi seperti ketenagakerjaan dan jumlah armada di beberapa negara anggota.

Hal ini sering kali disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur pendataan di negara-negara berkembang. Akibatnya, kebijakan global terkadang diambil berdasarkan estimasi, bukan angka riil yang presisi dari lapangan.

Selain itu, ada jeda waktu (time lag) dalam data konsumsi yang baru mencapai tahun 2021, sementara data produksi sudah mencapai 2023. Jeda ini bisa menjadi tantangan dalam memitigasi krisis pangan yang terjadi secara mendadak.

Kesimpulan

FAO Fishery and Aquaculture Statistics Yearbook 2023 mengonfirmasi bahwa kita telah memasuki “Abad Akuakultur”. Masa depan pangan dunia akan sangat bergantung pada seberapa cerdas kita mengelola tambak dan keramba, tanpa merusak ekosistem laut yang tersisa.

Bagi Indonesia, sebagai salah satu pemain kunci, data ini adalah alarm sekaligus peluang besar untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok pangan global.