Rumi mengingatkan, “Mengapa engkau mencari Tuhan di luar, padahal Dia lebih dekat dari urat lehermu?” Masjid, zawiyah, atau ruang ritual hanyalah pintu. Yang menentukan adalah ruang di dalam diri: apakah ia lapang atau sempit, jernih atau berdebu. Seseorang bisa berada di rumah ibadah, namun hatinya jauh; sebaliknya, bisa berada di jalanan, tetapi justru dekat.
Muliadi Saleh – Esais Reflektif
PELAKITA.ID – Sebuah rentang waktu yang mencapai ujung bukanlah penanda akhir. Ia justru menghadirkan kesempatan untuk kembali ke “kini”. Bukan menutup waktu, melainkan menata kesadaran.
Dunia modern gemar mempercepat segalanya; sementara kesadaran diri mengajarkan kita untuk memperdalam. Dunia menghitung hari, hakikat mengajak menghayati saat. Di sanalah spiritualitas menemukan napasnya: hadir sepenuh hati, di ruang mana pun, pada waktu apa pun.
Waktu dan ruang bukan sekadar bingkai peristiwa. Keduanya adalah tanda-tanda kehadiran Ilahi. Bukan penjara, melainkan jalan. Bukan tujuan, melainkan sarana agar manusia belajar untuk sungguh-sungguh hadir.
Bagi para sufi, waktu yang sejati adalah saat ini. Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari menegaskan, “Waktu adalah apa yang engkau isi.” Artinya, waktu tidak pernah netral; ia bernilai sejauh kesadaran menghuninya.
Masa lalu adalah pelajaran, masa depan hanyalah harapan. Yang menentukan kualitas hidup—dan ibadah—adalah kehadiran hati pada saat ini, al-waqt. Ketika hati tercerai oleh penyesalan atau kecemasan, manusia sejatinya telah keluar dari waktu hakiki.
Di titik inilah ibadah tidak lagi diukur dari panjangnya durasi, melainkan dari kedalaman hadir. Satu detik yang penuh kesadaran bisa lebih bernilai daripada berjam-jam yang hampa.
Maka, biarkan diri tidak tergesa dan tidak terdesak oleh kalender. Kita hidup di dalam waqt, bukan dikejar oleh jarum jam. Dunia boleh berlari, tetapi batin memilih untuk menetap.
Ruang pun bukan semata tempat fisik. Ia adalah keadaan batin—maqām.
Rumi mengingatkan, “Mengapa engkau mencari Tuhan di luar, padahal Dia lebih dekat dari urat lehermu?” Masjid, zawiyah, atau ruang ritual hanyalah pintu. Yang menentukan adalah ruang di dalam diri: apakah ia lapang atau sempit, jernih atau berdebu. Seseorang bisa berada di rumah ibadah, namun hatinya jauh; sebaliknya, bisa berada di jalanan, tetapi justru dekat.
Ibadah sejati lahir ketika waktu bertemu kesadaran dan ruang bertemu kehadiran. Di sanalah simbol menemukan makna. Gerak berubah menjadi doa, diam menjelma zikir, dan kehidupan sehari-hari menjelma perjalanan spiritual.
Tanpa kesadaran ini, ritual mudah terperangkap dalam pengulangan mekanis—indah bentuknya, hampa isinya.
Jika makna waktu adalah kehadiran dan hakikat ruang adalah kedekatan, maka pertanyaan akhirnya menjadi sederhana namun mendasar:
Apakah kita sungguh hadir, atau sekadar lewat?
