Udang adalah organisme akuatik yang sangat sensitif. Petambak sejatinya tidak menciptakan kehidupan, melainkan menyediakan kondisi lingkungan—terutama kualitas air dan daya dukung tambak—agar siklus hidup udang berlangsung secara alami dan sehat.
Guru Besar FIKP Universitas Hasanuddin, Prof Iqbal Djawad
PELAKITA.ID – Indonesia saat ini menempati posisi sebagai eksportir udang terbesar keempat di dunia. Posisi ini bukan sekadar capaian statistik, tetapi juga tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa pertumbuhan industri udang berjalan seiring dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan pembudidaya.
Demikian kesan umum setelah penulis menjadi moderator pada Lokakarya Nasional dan Peluncuran Tim Pelaksana Budidaya Udang Berkelanjutan di Banyuwangi pada 10 Desember 2025. Bersama Kemenko Pangan, dalam hal ini Asdep Pengembangan Perikanan Budidaya Cahyadi Rasyid, Wahyu Putranto dan Andi Nurjaya menjadi editor untuk buku yang berjudul Tata Kelola Udang Nasional, Strategi Indonesia menjadi Nomor 1.
Buku itu bersisi pengalaman Pemerintah dalam memfasilitasi perbaikan tata kelola budidaya udang nasional, yang mencakup sejumlah isu seperti perizinan, tata ruang hingga inspirasi dari praktik baik bersama Konservasi Indonesia, Pemda Sulawesi Tengah dan organisasi Jala di Desa Lalombi Donggala dalam mendorong praktik budidaya terpadu berbasis energi terbarukan dan IPAL terbaik.
Pembaca sekalian, di tengah tuntutan pasar global yang semakin ketat terhadap kualitas, ketelusuran, dan keberlanjutan, isu ketersediaan induk unggul dan sistem budidaya yang sehat menjadi semakin krusial.
Kesadaran inilah yang mendorong lahirnya berbagai inisiatif penguatan hulu budidaya udang.
Inovasi Pemerintah
Pemerintah Indonesia sesungguhnya melalui Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPI U2K) Karangasem mengambil peran strategis dalam memproduksi induk udang dan benur berkualitas tinggi.
Sejak 2018, lembaga ini mengembangkan program seleksi keluarga, yang kemudian diperkuat pada 2022 melalui seleksi berbasis penanda molekuler SNP untuk menghasilkan udang vaname yang lebih tahan terhadap penyakit mematikan seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Hasil dari proses panjang tersebut adalah lahirnya udang unggul nasional dengan merek Nusa Dewa, yang secara resmi diluncurkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 181 Tahun 2023.
Tidak hanya udang, BPI U2K Karangasem juga mengembangkan komoditas unggulan lain seperti abalon dan tiram mutiara, yang dikelola di tiga lokasi strategis di Bali.

Produk-produk ini telah terdistribusi ke berbagai wilayah Indonesia, memperkuat fondasi sektor akuakultur nasional.
Namun, penguatan induk dan benur unggul hanyalah satu sisi dari cerita. Di lapangan, tantangan utama budidaya udang justru sering muncul dari kegagalan menjaga keseimbangan sistem.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Guru Besar Akuakultur Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Prof. Iqbal Djawad, yang menekankan bahwa filosofi dasar budidaya udang bukanlah soal “membesarkan” udang, melainkan mendukung udang agar dapat hidup secara optimal.
Menurut Prof. Iqbal, udang adalah organisme akuatik yang sangat sensitif. Petambak sejatinya tidak menciptakan kehidupan, melainkan menyediakan kondisi lingkungan—terutama kualitas air dan daya dukung tambak—agar siklus hidup udang berlangsung secara alami dan sehat.
Karena itu,kata Iqbal, budidaya udang sangat berbeda dengan budidaya tanaman atau ternak. Dalam konteks ini, pendekatan keseimbangan jauh lebih penting dibandingkan ambisi maksimalisasi produksi.
Ia mengingatkan bahwa mengejar kepadatan tinggi dan pertumbuhan cepat sering kali menjadi jalan pintas menuju kegagalan.
Filosofi budidaya udang yang benar, menurutnya, adalah stabil, konsisten, dan seimbang—bukan ekstrem.
Dalam setiap kelas fisiologi organisme akuatik yang ia ampu, Prof. Iqbal selalu menekankan satu pesan yang sama: kenyamanan hewan budidaya adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar, bahkan untuk satu menit sekalipun.
Prinsip lain yang ditekankan adalah pencegahan. Dalam budidaya udang, penyakit jarang benar-benar “disembuhkan”. Yang dapat dilakukan adalah mencegah munculnya stres dan ketidakseimbangan sejak awal.

Udang yang sakit atau mati, tegas Prof. Iqbal, bukanlah penyebab masalah, melainkan indikator adanya gangguan dalam sistem.
Filosofi ini menuntut pembudidaya untuk selalu bercermin pada manajemen lingkungan dan sistem produksi, bukan menyalahkan organisme.
Pandangan ini menemukan relevansinya dalam berbagai inisiatif budidaya udang berkelanjutan yang kini mulai digalakkan, termasuk pendekatan integrated shrimp farming yang menggabungkan pengelolaan limbah (IPAL), energi terbarukan, pengorganisasian sosial pembudidaya, hingga keterhubungan dengan ekosistem mangrove.
Model seperti ini menempatkan tambak sebagai bagian dari lanskap ekologis yang lebih luas, bukan entitas terpisah yang berdiri sendiri.
Pada akhirnya, masa depan budidaya udang Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi genetika atau kapasitas produksi pakan, tetapi oleh keberanian untuk kembali pada prinsip paling dasar: mengikuti ritme biologis, bukan melawannya.

Sebuah prinsip yang, seperti diakui Prof. Iqbal dengan jujur, sering kali “bertabrakan” dengan logika industri pakan dan produksi massal.
Meski demikian, justru di sanalah letak pertaruhan: apakah budidaya udang akan terus menjadi siklus krisis berulang, atau bertransformasi menjadi sistem pangan yang sehat, adil, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
___
Editor Denun
