Refleksi Hari Jadi Gowa ke-705 | Menyerap Semangat Kejayaan, Menuntaskan Tantangan Kekinian

  • Whatsapp
Penulis, Mustamin Raga (ilustrasi)

Usia 705 tahun adalah usia yang matang. Dalam usia ini, Gowa mesti menegaskan jati dirinya: ia bukan hanya pewaris kejayaan masa lalu, tetapi juga penentu arah masa depan. Tugas generasi kini adalah menyambung napas sejarah itu dengan tindakan nyata: bekerja dengan integritas, memimpin dengan kejujuran, dan membangun dengan semangat kebersamaan.

Oleh : Mustamin Raga
(Sekdis Perpustakaan dan Kearsipan Kab. Gowa

PELAKITA.ID – Tanggal 17 November bukan hanya angka biasa dalam kalender, melainkan penanda perjalanan panjang sebuah tanah yang pernah menjadi pusat peradaban besar di timur Nusantara, Gowa.

Di usia ke-705 tahun, Gowa sebaiknya tidak hanya merayakan hari lahirnya, tetapi juga melakukan perenungan mendalam tentang makna warisan sejarah dan tantangan kekinian yang dihadapinya.

Gowa di masa lampau adalah kerajaan besar yang disegani. Ia menjadi simbol kekuatan, kecerdasan, dan keagungan budaya. Dalam rentang sejarahnya, Gowa melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi panutan lintas zaman.

Para kesatria yang gagah di medan juang, para intelektual yang gemilang dalam pemikiran, dan para tokoh spiritual yang menebarkan kebijaksanaan hingga jauh melampaui batas wilayah dan zaman.

Dari Ayam Jantan dari Timur hingga Somba yang Terusir

Nama I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16, tak pernah lekang dari ingatan bangsa ini. Julukan Ayam Jantan dari Timur melekat padanya bukan tanpa alasan.

Ia adalah simbol keberanian dan keteguhan dalam menegakkan kedaulatan. Ketika penjajah Belanda datang menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin berdiri tegak, menolak tunduk, menolak diperintah. Ia bukan hanya pejuang di medan perang, tetapi juga pemimpin yang memahami arti kehormatan dan harga diri bangsa.

Namun, sejarah Gowa juga menyimpan kisah lain yang tak kalah menggugah. Kisah tentang I Mappasempa Daeng Mamaro Karaengta Bontolangkasa, Raja Gowa ke-23.

Ia dikenal sebagai pemimpin gigih yang menolak menyerahkan martabat tanah air kepada kekuasaan kolonial. Dalam perjuangannya, ia harus menanggung nasib pahit, terusir dari tanah leluhurnya sendiri akibat pengkhianatan dari mereka yang haus seteguk kuasa.

Ia meninggalkan Gowa dengan kepala tegak, bukan sebagai pihak yang kalah, melainkan sebagai simbol kesetiaan dan kehormatan yang tidak bisa ditawar oleh kompromi politik.

Sejarah mencatatnya sebagai pemimpin yang memilih terusir daripada berkhianat pada kebenaran. Dari sosoknya kita belajar, bahwa perjuangan sejati tidak selalu diakhiri dengan kemenangan gemilang, tetapi dengan keteguhan untuk tetap berpihak pada nilai yang benar, sekalipun harus membayar harga yang mahal.

Kedua sosok ini Sultan Hasanuddin dan Karaengta Bontolangkasa adalah cermin dari dua bentuk keberanian. Yang satu menghunus pedang di medan laga, yang lain bertarung dengan kesetiaan di tengah pengasingan.

Keduanya sama-sama menegaskan bahwa keberanian bukan semata tentang menang, tetapi tentang menjaga kehormatan.

Warisan Kecerdasan dan Spiritualitas yang Mencerahkan

Selain melahirkan para kesatria, Gowa juga menjadi tanah subur bagi tumbuhnya kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Dari istana Gowa muncul nama besar Karaeng Pattingngalloang, seorang intelektual dan negarawan yang mewarisi kecintaan mendalam terhadap ilmu pengetahuan. Ia dikenal karena pandangan-pandangannya yang luas dan pemahamannya terhadap berbagai bahasa serta ilmu pengetahuan dunia.

Dalam masanya, Karaeng Pattingngalloang menjadi jembatan antara peradaban timur dan barat. Ia memahami bahwa kekuatan sejati sebuah kerajaan bukan hanya pada pasukan dan senjata, tetapi juga pada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dari tangannya, Gowa menjadi kerajaan yang berwawasan luas, terbuka terhadap perubahan, namun tetap berakar pada jati diri dan kebudayaan sendiri.

Sementara di ranah spiritual, Gowa melahirkan sosok agung yang namanya harum di berbagai penjuru dunia. Syekh Yusuf Al-Makassari Tuanta Salamaka.

Ia bukan hanya seorang ulama besar dan sufi, tetapi juga pejuang kemanusiaan yang menebarkan ajaran cinta, kebenaran, dan keadilan. Dibuang ke tanah-tanah jauh oleh penjajah, Syekh Yusuf justru menjadikan pengasingan itu sebagai ladang dakwah dan perjuangan.

Dari Syekh Yusuf kita belajar bahwa kekuatan tidak selalu tampak dalam kemenangan lahiriah, melainkan dalam keteguhan batin untuk tetap berbuat baik di mana pun takdir menempatkan kita. Ia mengajarkan bahwa spiritualitas sejati bukan pelarian dari kenyataan, melainkan daya dorong untuk memperbaiki kehidupan.

Gowa di Era Kini

Memperingati Hari Jadi Gowa ke-705 mestinya menjadi momen refleksi kolektif, sebuah jeda untuk menengok ke belakang dan menata langkah ke depan. Generasi hari ini mewarisi tanah yang sama, langit yang sama, dan semangat yang sama seperti para leluhur, meski tantangannya telah berganti rupa.

Musuh Gowa hari ini bukan lagi penjajah bersenjata, tetapi kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan krisis jati diri khususnya di kalangan anak muda. Namun, cara melawannya tetap membutuhkan semangat yang sama : keberanian seperti Sultan Hasanuddin, keteguhan seperti I Mappasempa Daeng Mamaro, kecerdasan seperti Karaeng Pattingngalloang, dan kebijaksanaan dan kelembutan hati seperti Syekh Yusuf Al-Makassari.

Semangat masa lalu bukan untuk disimpan di museum sejarah, melainkan diekstraksi menjadi energi moral dan sosial bagi pembangunan hari ini. Jika dahulu Gowa menjadi pusat peradaban karena keberanian dan ilmu, maka kini Gowa harus bangkit sebagai pusat kemajuan melalui inovasi, integritas, dan gotong royong.

Pendidikan harus menjadi senjata utama, kejujuran menjadi tameng, dan solidaritas sosial menjadi perisai menghadapi ketimpangan zaman. Di tengah arus globalisasi yang cepat dan deras,

Gowa harus tetap menjadi tanah yang kokoh berpijak pada nilai-nilai budaya, namun berani menatap masa depan dengan pandangan terbuka.

Menyalakan Kembali Api Semangat Leluhur

Usia 705 tahun adalah usia yang matang. Dalam usia ini, Gowa mesti menegaskan jati dirinya: ia bukan hanya pewaris kejayaan masa lalu, tetapi juga penentu arah masa depan. Tugas generasi kini adalah menyambung napas sejarah itu dengan tindakan nyata: bekerja dengan integritas, memimpin dengan kejujuran, dan membangun dengan semangat kebersamaan.

Keberanian hari ini bukan lagi berperang di medan tempur, tetapi berani melawan korupsi, berani berkata jujur, berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat tanpa pamrih. Kecerdasan hari ini bukan semata dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam kepekaan sosial, kemampuan memahami perubahan, dan kecakapan menjaga harmoni.

Dan spiritualitas hari ini tidak berhenti pada simbol-simbol dan ritual semata, tetapi mewujud dalam etos kerja, kepedulian sosial, dan cinta pada keadilan.

Dari Gowa untuk Indonesia dan Dunia

Dalam sejarah panjang Nusantara, Gowa pernah berdiri gagah sebagai kerajaan besar yang disegani. Namun kejayaan sejati Gowa tidak terletak pada luasnya wilayah atau kekuatan militernya, melainkan pada karakter dan nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi berikutnya.

Peringatan Hari Jadi Gowa ke-705 adalah ajakan untuk melanjutkan estafet kebesaran itu.
Dari keberanian Sultan Hasanuddin, keteguhan I Mappasempa Daeng Mamaro, kecerdasan Karaeng Pattingngalloang, dan kebijaksanaan Syekh Yusuf Al-Makassari, kita memetik satu pesan besar. Kejayaan sejati sebuah daerah lahir dari kekuatan moral dan kemuliaan jiwa masyarakatnya.

Selamat Hari Jadi Gowa ke-705. Semoga semangat para leluhur terus menyala menjadi api yang menerangi langkah, menguatkan tekad, dan menuntun Gowa menuju masa depan yang lebih maju, lebih sejahtera, berdaulat, dan bermartabat.

REWAKO GOWA
GOWA MAJU