Haruskah Kita Menunggu Korban Jiwa? | Menyikapi Kasus Keracunan MBG

  • Whatsapp
Korban Keracunan MBG di Cipongkor Tembus 500 Siswa (CNN)

Oleh: Muliadi Saleh – Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

PELAKITA.ID – Pagi itu, wajah-wajah mungil berangkat sekolah dengan semangat baru. Di balik seragam sederhana, tersimpan keyakinan bahwa hari-hari mereka tak lagi sama: mereka tidak harus menahan lapar hingga jam pulang.

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai anugerah—bukti nyata kehadiran negara dalam piring anak-anak bangsa. Betapa bangganya para orang tua, betapa hangat rasa syukur yang mengiringinya.

Namun, di balik kegembiraan, kabar pilu terus datang. Kasus keracunan makanan bermunculan di berbagai daerah.

Hingga pertengahan September 2025, tercatat 5.360 siswa menjadi korban.

Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah jeritan anak-anak yang muntah dan pusing di ruang kelas, tubuh-tubuh kecil yang terbujur di ranjang puskesmas, tangisan para ibu di lorong rumah sakit.

Haruskah kita menunggu korban jiwa untuk menyadari betapa serius persoalan ini?

MBG lahir dari niat suci: memastikan setiap anak sekolah memperoleh gizi cukup. Ia adalah wujud keberpihakan negara kepada generasi muda, sekaligus langkah menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.

Tetapi di banyak tempat, niat itu retak oleh pelaksanaan yang ceroboh.

Ada makanan yang diolah terburu-buru tanpa standar kebersihan. Ada penyedia jasa yang sekadar menyiapkan menu tanpa peduli mutu.

Ada pengawasan longgar yang membuat makanan basi pun bisa sampai ke piring anak-anak. Apa yang semestinya menjadi nutrisi, berubah menjadi racun. Apa yang seharusnya menghadirkan tawa, justru berganti tangis.

Di sebuah sekolah dasar, seorang ibu bercerita tentang anaknya yang pulang dengan wajah pucat, perut melilit, dan bibir gemetar.

Padahal pagi itu ia melepas sang anak dengan hati lega, percaya bahwa negara telah menyiapkan santapan sehat. Siang menjelang, keyakinan itu runtuh. Yang tersisa hanyalah rasa bersalah dan pertanyaan getir: mengapa niat baik berubah menjadi malapetaka?

Generasi Emas yang Dibayangi Cemas

Indonesia bermimpi besar: pada 2045, seratus tahun kemerdekaan, kita menyongsong generasi emas—cerdas, sehat, berkarakter, dan berdaya saing global. Namun bagaimana mungkin generasi emas lahir bila anak-anak hari ini tumbuh dalam kecemasan?

Kecemasan orang tua yang melepas anaknya setiap pagi sambil bertanya: apakah makanan di sekolah aman? Kecemasan guru yang harus mendampingi murid muntah di kelas. Kecemasan tenaga medis yang kewalahan menampung korban.

Generasi emas tidak akan lahir dari perut yang diracuni. Ia tidak tumbuh dari tubuh yang melemah karena makanan salah urus. Ia hanya bisa lahir dari gizi yang benar-benar sehat, dari lingkungan yang aman, dari kebijakan yang tulus dan diawasi dengan saksama.

Menyembuhkan Luka, Memperbaiki Amanah

Kita tidak boleh berhenti pada angka keracunan. Angka itu harus menjadi alarm keras, bukan sekadar berita sesaat yang hilang ditelan isu baru.

Pemerintah, penyedia jasa, sekolah, hingga masyarakat harus menjadikan ini momentum perbaikan. Standar keamanan pangan wajib ditegakkan tanpa kompromi. Distribusi harus transparan.

Pengawasan harus melibatkan semua pihak, termasuk orang tua. Tidak ada ruang untuk abai, karena yang dipertaruhkan adalah nyawa generasi.

Makanan bukan sekadar isi perut. Ia adalah pondasi masa depan. Bila pondasi itu keropos, bagaimana rumah besar bernama Indonesia Emas bisa berdiri kokoh?

Doa Seorang Ibu

Di lorong puskesmas, seorang ibu menggenggam tangan anaknya yang terbaring lemah. Matanya basah, suaranya lirih, tapi penuh kekuatan doa:

“Ya Allah, lindungilah anak-anak kami. Jangan biarkan mereka tumbuh dengan rasa takut setiap kali menyuap makanan. Jadikan duka ini pelajaran besar, agar bangsa ini lebih berhati-hati menjaga amanah. Biarkan mereka bangkit lagi, sehat, dan kuat—sebagai generasi yang benar-benar emas, bukan generasi yang tumbuh dalam cemas.”

Kita boleh berbeda pendapat tentang kebijakan, bahkan arah bangsa. Namun soal anak-anak, tidak ada ruang tawar. Mereka adalah masa depan kita semua. Maka pertanyaan itu terus menggema:

Haruskah kita menunggu korban jiwa, baru kita sungguh-sungguh peduli?