Nostalgia Ni’Matullah RB tentang SMUH dan Cermin untuk BEM Unhas

  • Whatsapp
Ni'matullah RB (kedua dari kanan, Pelakita.ID)

Logikanya sederhana: SMUH bukan fakultas ke-13. Ia tidak mengambil alih kewenangan senat fakultas, tetapi berdiri sebagai representasi mahasiswa secara kolektif. Bidang-bidang kerja SMUH lahir dari kebutuhan mahasiswa: kaderisasi, advokasi, aspirasi, termasuk koordinasi aksi.

Ni’matullah Rahim Bone, Wakil Ketua Senat Mahasiswa Unhas

PELAKITA.ID – “Sudah tujuh tahun lebih kita membicarakan soal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hasanuddin, namun hingga kini belum juga benar-benar terbentuk secara utuh,” ucap Ni’matullah Rahim Bone saat didapuk sebagai salah satu pembicara pada Diskusi Quo Vadis BEM Unhas, di Warkop Aspirasi Makassar, Sabtu, 23 Agustus 2025.

“Saya ingin mengingatkan bahwa pada masa lalu, Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH) baru lahir setelah 13 tahun kekosongan pasca pembubaran Dewan Mahasiswa (DEMA). Artinya, masa tanpa lembaga tingkat universitas bukan hal baru bagi Unhas,” kata pria yang akrab disapa Ulla atau Ketua Besar tersebut. B

Bagi Ulla, keresahan justru melahirkan energi.

“Sebagai aktivis kala itu, kami—para ketua senat dan ketua DPM fakultas—mencari cara untuk menghadirkan kembali wadah mahasiswa di tingkat universitas. Dari situlah lahir Kesatuan Lembaga Kemahasiswaan (KLK), forum yang sangat elit karena hanya beranggotakan ketua senat dan ketua DPM fakultas. Hampir setiap minggu, kami bertemu, berdebat keras, bahkan bertengkar, tapi tetap rutin membicarakan format lembaga universitas yang ideal,” ungkapnya.

Dikatakan Ulla, tidak semua fakultas mendukung. Beberapa menolak, bahkan cukup keras. Namun, konsistensi pertemuan, komunikasi dengan senior, dan konsultasi dengan guru besar, membuat proses ini terus berjalan.

“Kami bahkan mendatangi rumah-rumah senior, mencari arsip lama AD/ART Dewan Mahasiswa, hingga berkonsultasi dengan profesor-profesor terkemuka seperti Prof. Mattulada, Prof. Burhamsah, Prof Syukur di Sospol dan Prof. Laica di Hukum,” ucapnya.

Pada 1990, terbit keputusan Menteri Pendidikan tentang pembentukan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tetapi di Unhas, hasil diskusi panjang KLK melahirkan format berbeda: Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin (SMUH).

SMUH: Perwakilan, Bukan Eksekutif

Menurut Ulla, sejak awal, dia menolak mengikuti arus “BEM” sebagaimana banyak kampus di Jawa.

“SMUH bukanlah badan eksekutif mahasiswa. Ia adalah lembaga perwakilan mahasiswa di tingkat universitas, sejajar dengan Senat Guru Besar. Rektor membawahi dua lembaga: senat dosen dan senat mahasiswa,” sebutnya.

Logikanya sederhana: SMUH bukan fakultas ke-13. Ia tidak mengambil alih kewenangan senat fakultas, tetapi berdiri sebagai representasi mahasiswa secara kolektif. Bidang-bidang kerja SMUH lahir dari kebutuhan mahasiswa: kaderisasi, advokasi, aspirasi, termasuk koordinasi aksi.

“Semua demonstrasi mahasiswa Unhas kala itu harus “diakuisisi” oleh SMUH agar memiliki legitimasi resmi. Dengan begitu, meski hidup dalam situasi represif, gerakan mahasiswa tetap aman karena diakui secara kelembagaan oleh negara,” kenangnya.

“Kami juga menata ulang tradisi. Ospek pusat dihapuskan, diganti dengan inaugurasi universitas. Semua mahasiswa baru dikumpulkan di lapangan PKM, dipimpin oleh SMUH, dan sejak itu lahirlah tradisi Jas Merah—jaket merah yang menjadi identitas mahasiswa Unhas,” ujarnya.

Elit Mahasiswa

Satu hal yang sering dilupakan kata Ulla adalah SMUH adalah lembaga elit.

“Keanggotaan tidak terbuka untuk semua. Hanya mereka yang pernah menjadi ketua senat atau pengurus inti DPM fakultas yang bisa masuk. Filosofinya jelas: kekuatan senat universitas hanya sah jika senat fakultas kuat. Maka, SMUH bukan ruang populis, melainkan wadah representasi elit mahasiswa Unhas,” kata dia.

Sayangnya, kata Ketua DPD Demokrat Sulsel ini, di kemudian hari muncul perubahan-perubahan.

“Ada badan perwakilan baru, ada pemilu langsung, hingga struktur yang menurut saya “kebablasan.” Universitas bukanlah negara, dan lembaga mahasiswa tingkat universitas tidak bisa diperlakukan seperti lembaga legislatif dengan sistem pemilu massal. Prinsip elit itulah yang semestinya dipertahankan,” sebutnya.

Cermin untuk BEM Unhas Hari Ini

Nostalgia ini bukan sekadar romantisme sejarah. Ia adalah cermin untuk melihat kondisi hari ini.

“Jika sekarang BEM Unhas masih tertatih untuk kembali berdiri, mari kita belajar dari perjalanan panjang SMUH. Bahwa membangun lembaga mahasiswa tingkat universitas memang butuh kesabaran, konsistensi, dan kesadaran kolektif,” imbuh Ulla.

“SMUH dulu lahir bukan dari paksaan rektorat atau intervensi luar, tetapi dari tekad bersama mahasiswa, khususnya para pemimpin di fakultas. Itulah yang membuatnya kuat, disegani, dan sah sebagai representasi mahasiswa Unhas,” kata dia.

Kini, ketika regenerasi BEM Unhas masih mencari bentuk, penting untuk kembali memahami filosofi dasar ini: lembaga universitas harus lahir dari kekuatan fakultas, bukan berdiri di atasnya. Ia harus mewakili, bukan mendominasi.

“Mungkin, jika semangat ini dirawat, kejayaan organisasi mahasiswa di tingkat universitas di Unhas akan kembali hadir—bukan sekadar simbol, tetapi sebagai wadah yang benar-benar punya wibawa,” pungkasnya.

Redaksi