In Memoriam – Dr Aswar Hasan, Narator dari ‘Biara Romoromo’ | Prof Amran Razak

  • Whatsapp
Dr Azwar Hasan, kedua dari kiri bersama penulis (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Salah seorang narator media dari “Biara Romoromo” — markas para aktivis urakan Unhas yang bercokol di sebuah lorong kambing pada era 1980–1990-an — telah berpulang. Berita wafatnya sahabat kami, Aswar Hasan, pada Rabu, 13 Agustus 2025, datang mengejutkan.

Ia hanya sempat dirawat sehari di rumah sakit sebelum menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 20.21 WITA di RS Primaya Makassar.

Bagi kami, sahabat sejak masa kuliah, Aswar meninggalkan kesan mendalam: deretan cerita, gagasan, dan perlawanan terhadap zaman yang tertanam kuat dalam ingatan.

Biara Romoromo dikenal sebagai “sekolah aktivis” kampus dan seniman muda — sekolah yang buka 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Semakin larut malam, semakin sengitlah pembahasan kurikulum perlawanan.

Aswar baru saja pindah rumah dari kawasan Jalan Kubis, tak jauh dari Masjid Raya Makassar. Kini keluarganya tinggal berdekatan dengan “Biara Romoromo” di Lorong 108.

Dr Azwar Hasan (dok: KPI)

Di sinilah, pada masa mudanya, Aswar mengasah pikiran-pikiran perlawanan terhadap kepongahan zaman. Rumah itu milik pamannya, Wagon Daeng Lau (tokoh yang juga tercatat dalam buku Demonstran dari Lorong Kambing).

Pamannya yang lain adalah seorang pengrajin perak, sedangkan “Jenggo” — paman yang kerap berkunjung — dikenal sebagai penjaga sekolah yang akrab dengan siswa SMAN 1 Makassar di Jalan Bawakaraeng.

Saat gelombang perlawanan Guru Besar di Indonesia memuncak menentang upaya Baleg DPR RI mengutak-atik Undang-Undang Pilkada, kami menerbitkan buku Demokrasi untuk Anak Bangsa: Kritik Tajam Guru Besar dan Dosen Unhas Peringatkan Jokowi dan Elit Politik Nasional.

Aswar kemudian mengulasnya dalam kolom mingguan “Secangkir Kopi” di Harian Fajar. Dalam kolom itu, ia sesekali mengulas potret diri dan sikap saya sejak mahasiswa hingga guru besar — menegaskan bahwa “tiada kata jera dalam perjuangan.”

Aswar adalah penjaga ruas demokrasi dan ruang komunikasi akademik-politik yang substansial. Ia tak pernah jauh dari peradaban kami; selalu setia mendampingi sahabatnya, Hamid Awaluddin, saat bertandang dan mengajar di Unhas. Bersamaan atau bergantian, sahabat kami Zaenal pun telah mendahului.

Sekitar sejam setelah kabar duka itu, saya menerima pesan WhatsApp dari karibnya, Andi Wanua Tangke — pemilik Rumah Peradaban, novelis, jurnalis, dan penerbit:

“Assalamualaikum Prof. Amran Razak, saudara kita Dr. Aswar Hasan meninggal di rumah sakit, baru saja. Saya tiba-tiba teringat ajakan Prof. Amran kepada saya untuk ngopi bersama Aswar Hasan. Sekali rencana itu tertunda, Prof. Amran… Aswar telah pergi, dan tak akan kembali lagi. Tulisan-tulisannya, baik di media lokal maupun nasional seperti Harian Kompas, menjadi warisan berharga tentang integritas yang kokoh dari seorang penulis ulung. Insya Allah almarhum husnul khatimah. Aamiin Ya Allah.”

Selamat jalan, sahabatku. Tulisan dan pendirianmu akan menjadi pengingat bagi kami yang masih bertahan menyaksikan peradaban baru.

Satu hal yang akan selalu kuingat dari almarhum: kami sama-sama tak berbakat menjadi “orang kaya.”