PELAKITA.ID – Berita insiden demo di Kabupaten Pati Jawa Tengah dan Bone Sulawesi Selatan berkaitan penolakan atas rencana kenaikan nilai Pajak Bumi dan Bangunan PBB-P2 membuat publik bertanya-tanya: Apa sesungguhnya dasar penentuan PBB itu sesuai UU?
Mari simak penjelasan khusus PBB-P2 di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjadi landasan utama bagi pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Melalui undang-undang ini, pemerintah mengatur secara jelas apa saja yang menjadi objek pajak, siapa yang wajib membayar, berapa besar tarifnya, serta bagaimana mekanisme penetapan dan pemungutannya.
Objek Pajak
Pasal 77 ayat (1) menyebutkan bahwa objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi maupun badan.
Namun, ada pengecualian: lahan atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan tidak dikenakan PBB-P2, karena diatur dengan skema pajak tersendiri.
Yang dimaksud “bangunan” di sini tidak terbatas pada rumah tinggal atau gedung perkantoran. Undang-undang juga memasukkan berbagai fasilitas lain, seperti:
-
Jalan lingkungan dalam satu kompleks bangunan (misalnya di hotel atau pabrik)
-
Jalan tol
-
Kolam renang
-
Pagar mewah
-
Tempat olahraga
-
Galangan kapal dan dermaga
-
Taman mewah
-
Tempat penampungan atau kilang minyak, air, dan gas
-
Menara telekomunikasi
Objek yang Tidak Dikenakan PBB-P2
Tidak semua bumi dan bangunan dikenakan PBB-P2. Beberapa dikecualikan karena sifat atau penggunaannya, antara lain:
-
Digunakan oleh pemerintah pusat atau daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan.
-
Dimanfaatkan untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, selama tidak bertujuan mencari keuntungan.
-
Digunakan sebagai kuburan atau situs peninggalan purbakala.
-
Berstatus hutan lindung, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan milik desa, atau tanah negara yang belum dibebani hak.
-
Dimanfaatkan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat, berdasarkan asas timbal balik.
-
Dipakai oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang diakui dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selain itu, setiap wajib pajak mendapat pengurangan berupa Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), yang nilainya minimal Rp10.000.000 per wajib pajak. Besaran pastinya diatur lebih lanjut oleh peraturan daerah.
Subjek dan Wajib Pajak
Pasal 78 menjelaskan bahwa subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan.
Pihak yang menguasai atau memanfaatkan bangunan juga masuk kategori wajib pajak, meskipun bukan pemilik sah.
Dasar Pengenaan Pajak
PBB-P2 dikenakan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Penetapan NJOP dilakukan setiap tiga tahun sekali, atau setiap tahun untuk daerah yang mengalami perkembangan pesat.
Kewenangan menetapkan NJOP berada di tangan kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 79.
Tarif Pajak
Tarif PBB-P2 ditetapkan maksimal 0,3% dari NJOP.
Angka pastinya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah melalui peraturan daerah (Pasal 80).
Cara Menghitung Pajak Terutang
Berdasarkan Pasal 81, besarnya PBB-P2 yang harus dibayar dihitung dengan rumus:
PBB-P2 Terutang = Tarif Pajak × (NJOP – NJOPTKP)
Dengan kata lain, pajak hanya dikenakan atas nilai jual objek pajak setelah dikurangi batas NJOP yang tidak kena pajak.
Pembaca sekalian, melalui UU No. 28 Tahun 2009, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pemungutan PBB-P2, mulai dari penentuan tarif, penetapan NJOP, hingga mekanisme pembayaran.
Ketentuan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan pendapatan asli daerah, tetapi juga memastikan adanya keadilan dalam pembebanan pajak, sehingga masyarakat membayar sesuai kemampuan dan manfaat yang diterimanya.
Redaksi