Pada tahun 2013, tutupan lamun masih sekitar 240 hektare. Namun, di tahun 2018, luasnya tinggal sekitar 15 hektare saja. Ini artinya lebih dari 90 persen padang lamun telah hilang hanya dalam waktu lima tahun.
___
Artikel ini ditulis oleh Lizha Dwi Mulya Putri, dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Ilmu Kelautan, Universitas Bangka Belitung.
PELAKITA.ID – Pulau Pannikiang adalah pulau kecil yang terletak di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pulau ini memiliki kekayaan laut yang luar biasa, salah satunya adalah padang lamun.
Lamun adalah tumbuhan laut yang tumbuh di dasar perairan dangkal. Banyak orang belum tahu bahwa lamun sangat penting bagi kehidupan laut dan juga manusia.
Lamun berfungsi sebagai tempat hidup, tempat berlindung, dan tempat berkembang biak bagi ikan, udang, dan hewan laut lainnya seperti penyu, dugong hingga kuda laut.
Lamun juga membantu menjaga kebersihan air laut, melindungi pantai dari abrasi, serta menyerap karbon dari udara. Dengan kata lain, lamun punya peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, padang lamun di Pulau Pannikiang mengalami kerusakan yang sangat parah. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, luas padang lamun di pulau ini menyusut drastis.
Pada tahun 2013, tutupan lamun masih sekitar 240 hektare. Namun, di tahun 2018, luasnya tinggal sekitar 15 hektare saja. Ini artinya lebih dari 90 persen padang lamun telah hilang hanya dalam waktu lima tahun.
Apa penyebabnya?
Banyak faktor yang memengaruhi. Salah satunya adalah aktivitas manusia seperti penggunaan perahu bermotor yang melewati area lamun, pembuangan jangkar kapal secara sembarangan, dan penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu, sampah dan limbah dari permukiman warga juga mencemari laut dan membuat air menjadi keruh. Jika air terlalu keruh, sinar matahari tidak bisa menembus ke dasar laut, sehingga lamun sulit tumbuh karena tidak bisa berfotosintesis.
Bagaimana kondisi sekarang?
Penelitian lanjutan yang dilakukan kini menunjukkan bahwa kondisi lamun di Pulau Pannikiang masih belum membaik.
Di beberapa tempat, tutupan lamun memang sedikit meningkat, tetapi di tempat lain kondisinya masih sangat buruk. Namun, secara umum, jumlah lamun yang tumbuh masih tergolong rendah.
Jenis lamun yang masih ditemukan adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Dari keempat jenis ini, Enhalus acoroides adalah yang paling banyak ditemukan karena lebih kuat dan tahan terhadap gangguan.
Namun, dominasi satu jenis ini menunjukkan bahwa keberagaman lamun mulai menurun. Ini bisa menjadi pertanda bahwa kondisi lingkungan sudah tidak seimbang.
Penelitian juga menunjukkan bahwa tingginya kekeruhan air dan kandungan nitrat (zat dari limbah) ikut memperparah kerusakan lamun. Air yang terlalu keruh dan tercemar membuat lamun sulit tumbuh, sehingga ekosistem laut pun terganggu.
Apa yang bisa kita lakukan?
Ada beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk menyelamatkan padang lamun.
Pertama, perlu adanya aturan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas di laut, terutama di wilayah yang terdapat padang lamun.
Kedua, nelayan dan masyarakat perlu diedukasi agar menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Ketiga, perlu dilakukan upaya penanaman kembali lamun (transplantasi) di area yang rusak. Keempat, penting untuk melibatkan masyarakat dalam menjaga lingkungan pesisir, misalnya melalui pelatihan atau kegiatan ekowisata berbasis lamun.
Lamun memang tidak sepopuler terumbu karang atau mangrove, tapi peranannya tidak kalah penting.
Jika padang lamun rusak, maka ikan-ikan akan kehilangan tempat hidup, hasil tangkapan nelayan menurun, dan keseimbangan ekosistem laut bisa terganggu.
Oleh karena itu, menjaga lamun berarti menjaga sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir.
Pulau Pannikiang bisa menjadi contoh: apakah kita memilih untuk membiarkan lamun hilang, atau justru menjadi tempat suksesnya upaya penyelamatan ekosistem laut?
Yang jelas, semua pihak harus bekerja sama: pemerintah, masyarakat, akademisi, dan wisatawan. Karena laut yang sehat dimulai dari perhatian kita terhadap yang sering kali tak terlihat—seperti lamun.
Editor Denun