Menyuarakan Nelangsa Perempuan, Anak, Difabel (dalam) Perencanaan Inklusi

  • Whatsapp
Peserta pelatihan penguatan kapasitas jurnalis dan forum media di Kupang bersama Tim Yaysan BaKTI - INKLUSI (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Dibutuhkan peran media untuk mengatasi isu-isu keadilan gender, disabilitas, anak dan inklusi sosial_ di Indonesia.

PELAKITA.ID – Sejumlah jurnalis di Maros Sulawesi Selatan menguak realitas perempuan yang tersiksa, anak difabel yang nelangsa hingga berita perdagangan orang.

Mereka menyampaikan itu sebagai persoalan serius dan nyata saat sharing jurnalis dengan fasilitator pelatihan Yayasan BaKTI – INKLUSi pada awal pekan September 2023.

Read More

Realitas yang suram. Ada yang pernah mewartakan lansia difabel yang berjuang melanjjutkan hidup, atau anak terkena stunting, juga yang gamang menghadapi anjuran kawin di usia sekolah SMP bakan setamat SD.

Belum lagi pencabulan anak, hingga praktik perdagangan orang (Trafficking in Persons), dari Maros ke Malaysia, atau dari Maros ke Surabaya demi jadi penghibur dan tak sesuai janji awal.

 Itu di Maros, Sulsel. Kupang NTT. Setali tiga uang. Persoalan serupa juga marak, bahkan lebih ekstrem.

Mereka memberitakan korban HIV AIDS, pornografi, anak hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah, juga tekanan pada LGBT, human trafficking, hingga perempuan lansia yang terabaikan dalam perencanaan pembangunan desa. Juga kekerasan seksual pada anak oleh aparatur desa, bahkan pada jurnalis!

Jelas bahwa konteks Nusa Tenggara Timur terutama di Kabupaten Kupanga dan Maros sebangun. Gap persoalan atau isu perlu mendapat perhatian sebab telah terjadi dan mengancam kehidupan sekitar mereka.

Advokasi GEDSI

Pembaca sekalian, kedua kegiatan dan temuannya itu bermula dari telah adanya Panduan Jurnalis Berperspektif Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (Edisi Revisi, 2023) yang dirilis oleh Yayasan BaKTI – Mampu/INKLUSI.

Pada dokumen itu disebutkan perlunya semua pihak untuk melawan dan menghindarkan adanya stigma atau stereotype kepada sejumlah kelompok rentan dengan menawarkan kebaruan dalam pemberitaan atau jurnalisme agar ada perubahan kebijakan, ataua minimal advokasi.

Damaris Trunay, koordinator program INKLUSI di Kabupaten Kupang (dok: Istimewa)

Bahwa perlu lebih kreatif dan bertanggung jawab dalam menghasilkan produk-produk jurnalistik. Konten pemberitaan apapun sejatinya mesti bermuara pada perlindungan, serta adanya perbaikan kebijakan, regulasi berpihak dan membela dan terbitnya penghargaan pada hak-hak azasi manusia.

Kegiatan Penguatan Forum Media dan Jurnalis di Kabupaten Kupang dan Maros bertujuan untuk mengenalkan perspektif gender, isu disabilitas, dan substansi inklusi sosial kepada jurnalis.

Yang kedua, bersama-sama menganalisis pemberitaan-pemberitaan yang bias gender, disabilitas.dan Inklusi sosial.  Ketiga, melatih jurnalis membuat peliputan dan pemberitaan perspektif gender, disabilitas, dan inklusi sosial.

Untuk case Kupang, Simon Sadi, wakil direktur Ume Daya Nusantara menjelaskan UDN sebagai mitra Yayasan BaKTI dan saat ini sedang mendorong pelaksanaan program INKLUSI di 5 kecamatan di Kabupaten Kupang dan serta melingkupi 15 desa.

Mereka memfasilitasi peraturan desa yang inklusi, yang peduli pada pemberdayaan kelompok perempuan, anak, disabilitas.  Terkait penguatan jurnalis dan forum media itu, Simon menyebut bertujuan menyatukan perspektif kesetaraan sekaligus meningkatkan daya analisis pemberitaan akan  isu Perempuan, Anak, Disabilitas dan Inklusi Sosial.

Senada, Damaris Trunay sebagai Koordinator Program UDN – INKLUSI. Perempuan yang akrab disapa Madam mencontohkan bagaimana media selama ini kerap menjadikan perempuan sebagai ‘terdakwa’ dengan menyebut media menyalahkan perempuan ‘janda’ yang kerap jalan malam dan karena itu dia diperkosa atau rudapaksa.

“Kata janda itu konotasinya negatif dan disarankan untuk menulis perempuan kepala rumah tangga,” kata dia.

Demikian pula tuna netra,, tuna rungu dan lebih baik menggunakan kata ‘penyandang disabilitas’ hingga tidak dianjurkan untuk menggunakan kata ‘menggagahi’.

Itu, lanjut Madam, kerap dianggap sepele tetapi ini perlu menjadi perhatian jurnalis untuk didiskusikan dan dicarikan jalan keluar demi perlindungan GEDSI itu.  Dia senang sebab Pemerintah Kabupaten Kupang, melalui Kepala Bappeda telah proaktif untuk menunjukkan kepedulian pada GEDSI.

“Kepala Bappeda itu sudah lontarkan dan tawarkan solusi yang kita sebut solusi bidang miring. Bangunan kantor harus punya bidang miring ada kemudahan akses bagi difabel. Ini sudah ada edarannya.” Ungkapnya saat ditemui di Pantai Lasiana.

Dia akui bahwa perencanaan inklusi tidak mudah di tengah riuhnya agenda pembangunan desa yang cenderung kompetitif, banyak donor, banyak LSM dan banyak pendekatan. Tapi bagi dia, pengambil kebijakan yang peduli adalah harapan besar.

“Sudah ada bibit kolaborasi di Kabupaten Kupang ini, kita mau sampai di desa, di kampung-kampung,” kata dia.

Proses yang menarik, peserta berbagi pengalaman, mengakui bahwa mereka perlu berbenah.

Yang bisa dilakukan

Maria Rita Hasugian, jurnalis senior berpengalaman di Majalah Tempo dan saat ini menjadi pilar KatongNTT.Com berbagi pandangan.

Sebagai jurnalis dia mengingatkan peserta tentang pentingnya menjaga integritas, leadership dan kerjasama antarmedia atau antarjurnalis dalam mengangkat isu-isu penting di NTT.

Pengalamannya di Jakarta bagi dia setidaknya menunjukkan bahwa upaya advokasi tidak mudah karena akan berhadapan dengan sejumlah kekuatan atau alat penekan, di dalamnya ada aparatur negara, penegak hukum dan pemilik modal.

Kedua, kapasitas jurnalis harus terus ditingkatkan dan tidak semata sebagai pekerja media yang mesti menulis 7 sampai 8 berita per hari tetapi mengambil angle yang lain, menarik dan meningkatkan kesadaran publik.

Dia juga meminta peserta untuk tidak semata fokus pada 5 W + 1 H  tetapi ‘How and Why’.  “Mengapa banyak peristiwa yang cenderung menempatkan perempuan, anak, penyandang disabilitas sebagai korban ya?” tanya dia.

Menurutnya, jurnalis harus masuk lebih dalam ketimbang menulis 7 sampai 8 berita per hari sebagai target produksi semata namun kehilangan substansi dan daya ubah.

Daya ubah itu atau mendorong perubahan itu dia kaitkan dengan elemen Jurnalistik, baik yang ditulis Bill Kovach dan Rosenstiel serta Andreas Hersono (Pantau) yang menekankan pada pemihakan.

Untuk memastikan pemihakan itu, Maria menyebut setidaknya 4 lapis yang bisa dijadikan dimensi atau cakupan pemberitaan terkait GEDSI.

Jurnalis bisa memastikan adanya kedekatan dengan subyek atau isu yang ditulis, akurat dan punya kualitas dan legitimasi.

Peserta pelatihan jurnalis dan forum media di Maaros Sulsel (dok: Istimewa)

Subyek sebagai core atau lapis pertama, lalu orang-orang di sekitar seperti keluarga, masyarakat hingga negara atau aparat seperti kepolisian.  Di antara lapis-lapis itu ada tantangan pada adopsi prinsip advokasi dan netralitas sebab bisa melibatkan emosi atau faktor non teknis.

“Guru yang paling baik bagi jurnalis adalah di lapangan. Itu elemen paling dasar,” katanya. Bagaimana misalnya jurnalis melihat seberapa sensitif penyelenggara pemilu KPU dalam merespon kebutuhan disabilitas. Bagaimana dengan akses untuk usia lanjut, dan lain sebagainya. “Subyek yang mesti jadi pembicara, sumber utama terkait isu,” tambahnya.

Lalu terkait lapsi-lapis itu dia menyebut keluarga, sahabat, dokter, pencara, atau orang-orang dekat yang tahu.

***

Akhirnya, penulis menyampaikan jurnalis harus punya perkakas metode observasi, wawancara dan analisi yang kuat yang bisa menjadi konten tulisan yang mendalam dan menjadi inspirasi untuk perbaikan kebijakan, penganggaran dan pemberdayaan bagi mereka yang rentan GEDSI.

Ke depan, media tidak boleh terjebak pada sekadar mewartakan peristiwa tetapi masuk lebih mendalam pada faktor pengungkit peristiwa, dan kaitannya dengan, misalnya kebijakan, penganggaran dan perlunya mengajak sejumlah pihak seperti DPRD atau legislator.

Pendek kata, akan sangat bagus ke depan, jika kekuatan jurnalis melembaga demi GEDSI.

Untuk apa? Agar peduli pada alokasi suimberdaya, pada anggaran yang responsif program perlindungan berbasis gender, disabilitas dan inklusi.

Peran legislator daerah, eksekutif, sangat penting untuk mendukung berjalannya kebijakan peduli isu komunitas rentan seperti menghasilkan Perda, Edaran atau Panduan pengentasan isu GEDSI. Demikian pula organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi bahkan organisasi keagamaan.

Respon peserta di Kupang dan Maros luar biasa. Mereka akan menggiatkan kegiatan-kegiatan koordinatif, konsultatif dan terlibat dalam peningkatan kapasitas bagi dari dalam organisasi jurnalis maupun melalui skema kerjasama dua arah.

Bagi mereka, GEDSI adalah persoalan ekstrem, darurat dan ada di sekitar mereka. Mereka berharap ada ikatan kuat untuk bersama memukul genderang advokasi GEDSI, menggiatkan sharing of knowledge hingga joint mission investigasi isu-isu GEDSI.

“Katong harus serentak ini, kalau perlu aksi damai membunyikan isu GEDSI di jalanan, di gedung-gedung pemerintah,” kunci Laurensius Leba Tukan, salah seorang peserta di Kupang.

Sosodara, jika tertarik download, silakan klik link panduan penulisan GEDSI di sini.  https://www.batukarinfo.com/referensi/panduan-jurnalis-berperspektif-gender-disabilitas-inklusi-sosial

 

_____
Penulis: Kamaruddin Azis
COMMIT Foundation, Founder Pelakita.ID

 

 

 

 

Related posts