Kisah Anak Tukang Jahit Jadi Guru Besar (1): Menghapus Jejak Trauma, Melukis Takdirnya

  • Whatsapp
Prof.Fatimawali (tengah) didampingi suami dan ketiga anaknya saat pengukuhan guru besar FK Unsrat Manado April 2015.Foto: dok.pribadi

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – IA seorang dosen. Dan juga apoteker. Perempuan. Meniti karir dari bawah. Di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Sulawesi Utara.

Puncaknya, ia berhak menyandang gelar Guru Besar atau Profesor di kampus yang mengambil nama pahlawan nasional tersebut.

Namanya Fatimawali. Lengkapnya Prof. Dr. Apt. Fatimawali, M.Si. Tidak pake Kandou, Rompas, Inkiriwang, atau marga lain seperti lazimnya orang Kawanua?

Read More

“Saya orang 3 M,” ujarnya singkat. Maksudnya orang Makassar Merantau ke Manado.

Beberapa waktu lalu, ia bersama sang suami, Sahabuddin Umar (adik legenda hidup sepakbola Makassar Syamsuddin Umar) pulang kampung ke Makassar. Anak-anaknya dan keluarga dekat kumpul. Semacam acara syukuran atas nikmat raihan dan pencapaian yang sudah direngkuhnya.

“Syukuran kenaikan pangkatnya IV E. Sudah paling tinggi, tidak ada lagi diatasnya,” timpal Syamsuddin Umar, kakak iparnya.

Dalam soal karir, Fatimawali – begitu ia akrab disapa – bisa dibilang komplit. Jika tidak mau dikatakan dirinya paripurna. Dalam statusnya PNS misalnya, ia sudah mencapai tingkatan atau level kepangkatan tertinggi sebagai abdi negara yang dilakoninya sejak 1986.

Lalu sebagai insan akademis, ia juga telah menapaki jenjang tertinggi sebagai maha guru amat terpelajar yang kadar intelektualnya tak diragukan lagi. Pengukuhan gelar guru besar-nya dari Fakultas Kedokteran Unsrat tahun 2015.

“Ah, bukan acara syukuran. Hanya kumpul biasa sekalian silaturahmi keluarga saja,” katanya merendah saat dihubungi melalui telepon whatsapp, belum lama ini.

Beruntung dengan bantuan fasilitas teknologi yang kian canggih, memungkinkan saya terkoneksi dan berkomunikasi layaknya pertemuan tatap muka dengan Fatimawali. Jarak bukan lagi kendala. Dan tentunya atas inisiasi kakak iparnya yang baik hati.

****

JANGANLAH melihat orang hanya saat suksesnya. Tapi lihat juga perjuangannya ketika menapaki anak tangga menuju sukses itu. Jatuh bangun. Kelok jalan terjal. Pahit getir kehidupan yang mewarnai langkahnya.

Begitu kalimat yang bisa saya katakan. Saat menulis kisah sosok perempuan tangguh dari kampung yang genap berusia 61 tahun pada 17 November 2023 nanti.

Fatimawali terlahir dari keluarga sederhana di pelosok kampung. Di perbatasan antara kabupaten Gowa dan Takalar, Sulawesi Selatan.

Namanya: kampung Pattarungang. Sektar 3 kilometer dari desa Limbung, kecamatan Bajeng, Gowa. Kalau naik kendaran dari kota Makassar, melalui jalur trans Sulawesi arah Selatan dengan jarak kurang lebih 25 km.

Tima, begitu nama kecil Fatimawali. Ia anak kedua dari tujuh bersaudara. Orang tuanya bersuku Makassar. Ayahnya H. Faharuddin Daeng Mone, seorang tukang jahit dan menjual kain. Ibunya Masurung Daeng Badji (alm) seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari membantu suaminya.

Momen kebersamaan Prof.Fatimawali saat kumpul dan silaturahmi dengan teman-teman angkatan 80 mahasiswa Farmasi Unhas.Foto: dok pribadi.

Mereka menempati rumah panggung “mewah” (mepet sawah,red). Cukup besar dan halamannya luas. Di lantai atas, ada ruang tempat menyimpan beras hasil panen.

Di kolong, ada tempat duduk dari bambu berukuran segi empat. Warga setempat menyebutnya bale-bale. Biasa dipakai warga atau menerima tamu dengan duduk bersila. Sambil menyeruput kopi, teh dan menikmati pisang atau ubi goreng.

Berawal kisah pada masa itu, tahun 1968. Tima masih kelas 1 SD. Umurnya baru 6 tahun. Masih jelas teringat dalam memorinya, peristiwa perampokan yang menimpa keluarganya. Kejadiannya malam hari. Persisnya lewat tengah malam.

Dor….dor…! suara tembakan misterius memecah keheningan kampung. Suara kokang senjata terdengar nyaring. Mengejutkan warga yang terlelap.

Beberapa orang paronda’ (warga yang ronda malam,red) yang kebetulan berada di kolong rumah kaget dan spontan lari berhamburan tak karuan.

Di malam naas itu, Fatimawali menceritakan, perampok yang diperkirakan tujuh orang menutupi wajah dengan sarung berhasil menggasak hampir seluruh barang berharga milik orang tuanya.

Ludes. Termasuk mesin jahit dan sejumlah kain yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi keluarganya. Syukurnya, tak ada korban jiwa.

Fatimawali tidak tahu apakah usai kejadian, ayahnya melaporkan aksi perampokan itu ke aparat keamanan atau tidak. Pengungkapan kasusnya menyimpan misteri. Pelakunya hilang bak lenyap ditelan bumi.

Seiring putaran waktu, orang tuanya pun ikhlas menerima musibah itu. Dan perlahan mulai melupakannya. Tapi tidak bagi Fatimawali. Peristiwanya sangat membekas dan berdampak trauma bagi dirinya.

Hati kecilnya menduga dan mencim kejanggalan dibalik aksi kejahatan itu. Sepertinya sudah direncanakan, melibatkan orang dalam dan oknum tentara.

Ia tak habis pikir, kok di kampung sepi? Biasanya kita dengar kejadiannya di kota-kota yang banyak sasaran empuk. Lalu, darimana mereka mendapatkan senjata?

Dan terakhir, ia curiga kejadiannya hanya berselang beberapa hari setelah kakeknya pulang menunaikan ibadah haji dari tanah suci Mekkah. Tentu ada yang membocorkan informasi tersebut.

Pasca kejadian itu, kondisi ekonomi keluarganya terpuruk. Tak ada penghasilan.

Ayahnya memutuskan menjual rumahnya. Laku. Hasilnya dibelikan rumah di Limbung, tak jauh dari Sungguminasa, ibukota kabupaten Gowa. Atmosfir usaha, kota dan pendidikan lebih terasa di tempat baru itu.

Fatimawali dan kakaknya ikut pindah. Dan selebihnya dibelikan mesin jahit dan bahan kain supaya ayahnya bisa kembali memutar roda ekonomi keluarga. Mulai dari nol lagi.

Pada sisi lain, setelah sekian lama berlalu, Fatimawali kadang merenung. Hatinya bergejolak. Membayangkan dan mencoba mengikuti jalan pikiran ayahnya yang sering diajarkan kepada anak-anaknya. Terutama soal keikhlasan. Disaat kita kena musibah.

Tuhan sudah mengatur. Itu sudah jalanNya. Semacam blessing in disguise.

“Kalau tidak ada musibah perampokan itu mungkin kami masih tetap di kampung dan bisa jadi sekolah saya hanya sampai tamat SD saja,” bisiknya dalam hati. Dan akhirnya ia bisa berdamai dengan masa lalu. * (Rusman Madjulekka).

Related posts