KOLOM Adi Suyadi Culla: POLITIK Kebohongan dan Kebenaran

  • Whatsapp

DPRD Makassar

PELAKITA.ID –  Akademisi Fisip Unhas, Dr Adi Suryadi Culla membagikan pandangannya pada praktik di dunia politik kaitannya pada motivasi dan standar nilai yang boyongnya. Mari simak.

***

Beberapa hari lalu (27/7/2023), saya menghadiri undangan peluncuran buku Biografi Prof Husain Syam dalam rangkaian acara Dies Natalis UNM (Universitas Negeri Makassar).

Read More

Ada pernyataan menarik yang dibuat oleh Rektor UNM dua periode tersebut, yang membuat saya menulis artikel ini.

Ketika memberi sambutan, beliau mengemukakan: Ada perbedaan yang sulit untuk dihadapi antara dunia akademik dan dunia politik.

Dalam dunia akademis: “Ilmuwan atau dosen boleh salah, tapi tidak boleh bohong”

Lalu, proposisi itu beliau lanjutkan dengan pertanyaan: bagaimana dengan dunia politik atau politisi?

“Jika ilmuwan boleh salah namun tidak boleh bohong, apakah berarti bahwa dalam ranah politik: para politisi boleh salah tapi boleh juga bohong?”

Ini pertanyaan yang langsung menyentuh persepsi miring tentang hubungan antara dunia akademik dengan dunia politik.

Perihal berbohong dalam politik atau soal perhadapan antara kebenaran dan kebohongan.

Menjadi suatu catatan serius, jika dipandang dari adanya anggapan masyarakat yang negatif tentang politik.  Politisi sering dituding, bahkan dituduh, sebagai kaum pembohong.

Jika berkata sulit dipercaya! Contohnya, jika berkampanye, banyak mengumbar janji; dan ketika dia terpilih, janji itu ternyata hanya harapan palsu. Para politisi diletakkan di suatu pojok bahwa dia tidak hanya sering berjanji, tapi juga banyak berbohong.

Terhadap janji yang diumbar, jangankan masyarakat merasa tertipu; bahkan merunut suatu joke : justeru para politisi itu sendiri juga sebenarnya heran jika masyarakat mempercayai janji yang mereka buncahkan.

Sketsa dunia politik yang buruk dalam anggapan masyarakat, tentu sudah bukan cerita asing. Ini bukan masalah baru.

Kendati begitu selama ini menjadi soal yang meresahkan; mengingat dunia politik merupakan ranah yang menentukan kehidupan warga negara.

Sepanjang kita hidup dalam sebuah negara, selama itu pula kita diatur oleh para politisi atau pejabat pembuat reguliasi di Lembaga eksektif ataupun legislatif.

Sementara para politisi atau domain politik itu sendiri minus atau defisit moralitas.

Keresahan yang muncul adalah kita berhadapan dengan suatu kondisi dimana antara ranah politik atau kekuasaan dan negara dengan ranah kebenaran dan moralitas memiliki hubungan yang buruk. Pasal utamanya, dunia politik tidak bisa dipercaya.

Hannah Arendt dalam tulisannya Truth and Politics memberikan pembahasan menarik soal ini.

Menurutnya, politik dan kebenaran merupakan dua hal yang sebenarnya terpisah, jika tidak saling bertentangan. Bahkan, kata Arendt, tidak ada tempat untuk kebenaran dalam politik (Arendt, 1993).

Kebenaran dan politik adalah dua hal yang tak hanya berbeda, bahkan terpisah.

Dari segi konteks kebenaran, Arendt membuat dua kategoris: kebenaran rasional (filosofis) dan kebenaran faktual. Namun masalahnya, baik kategori kebenaran rasional maupun kebenaran faktual, oleh Arendt ditegaskan keduanya tidak memiliki hubungan baik dengan ranah politik.

Perselisihan atau benturan antara politik dan kebenaran rupanya sulit dihindari.

Pertama, dalam hal kebenaran rasional yang dimaksudkan adalah kebenaran ilmiah, sebagaimana kebenaran matematika.

Kebenaran ini terletak di ranah ilmiah (science), di luar arena kepentingan yang meruyak di masyarakat.

Kebenaran berdasarkan temuan penelitian empiris termasuk produk kebenaran rasional. Statement berkebalikan atas kebenaran yang diperoleh secara rasional, kata Arendt, pasti suatu kesalahan.

Ketidakpastian dalam pendapat serta opini yang berkembang di ranah politik, jelas berkebalikan dari karakter kebenaran rasional yang membutuhkan standar atau kepastian.

Kebenaran rasional bersifat kaku dan karena itu pula sifatnya tidak akan sesuai sifat politik. Jenis kebenaran kedua adalah kebenaran faktual.

Dalam hal ini, kata Arendt, kebenaran faktual merupakan kebenaran yang selalu terkait dengan orang lain atau orang banyak: menyangkut peristiwa dan keadaan yang melibatkan orang banyak; ditetapkan oleh para saksi dan bergantung pada kesaksian; hanya ada sejauh yang dibicarakan, bahkan jika pun itu terjadi di domain privasi, kebenaran faktual itu juga bersifat politis ”(Arendt, 1993, p. 234).

Tidak seperti kebenaran rasional yang lebih pasti dan dalam kesendirian, kebenaran faktual terdapat pada domain sosial atau hubungan manusia.

Alih-alih terkait dengan sains atau filsafat, kebenaran faktual lebih berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan orang lain.

Karena itu, kebenaran faktual lebih terbuka dari pengaruh politik daripada kebenaran rasional.

Meskipun begitu, hubungan antara domain politik dengan kebenaran faktual pun tidak selalu selaras.

Kebenaran faktual dapat bernasib sama dengan kebenaran rasional jika dihadapkan pada politik, karena karakteristiknya yang lemah berhadapan interaksi antarmanusia.

Bahkan, kebenaran faktual sangat rapuh setelah terpapar ke ranah publik, karena dapat dipengaruhi oleh, atau bahkan diubah menjadi opini atau diubah para pemegang opini (Arendt, 1993).

Kendati demikian, ada logika berkebalikan dalam hubungan antara politik dan kebenaran.

Arendt justeru juga menjungkirbalikan pemahaman bahwa politik melulu negatif. Karena secara dialektis, bukan hanya kebenaran rasional (akademik – ilmiah) yang terancam oleh domain politik, pun sebaliknya domain politik terancam oleh kebenaran rasional.

Arendt menjelaskan tentang sifat kebenaran yang dapat berubah menjadi dan bahkan menandingi pemerintahan tirani.

Kebenaran rasional maun faktual, menurut Arendt, menyimpan sifat tirani dan unsur paksaan, terutama jika pernyataan kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan, dan tidak dapat diperdebatkan.

Ini berarti dari perspektif politik, kebenaran juga memiliki karakter despotik atau dapat menjadi kutub yang saling berhadapan dengan tiran yang memerintah.

Hal itu menunjukan bahwa kebenaran sebagai suatu domain sendiri dapat menjadi lawan bagi penerapan politik secara umum (sistem negara, pemerintahan hierarkis).

Namun terlepas potensi tirani kebenaran, terhadap domain politik merupakan sesuatu yang berbeda dan terpisah.

Sebab apa yang dimaksudkan sebagai kebenaran rasional itu merupakan kebenaran kesendirian seorang ilmuwan (akademisi) atau filsuf. Bersifat independen, tanpa kepentingan, tanpa pengaruh, paksaan atau intervensi dari eksternal.

Kecuali jika metode dan prosedur dalam pencarian dan penemuan kebenaran itu melibatkan domain politik khususnya secara kelembagaan melibatkan peran kekuasaan, maka kemungkinan potensialnya kebenaran sudah tunduk atau ditundukkan oleh kepentingan politik.

Jika kondisinya demikian, maka bukan hanya politisi yang bisa berbohong, jika bertaut dengan politik maka ilmuwan pun potensial bisa berbohong atau menjadi pembohong. Ini problem etis serius yang perlu dikaji lanjut!

Penulis: Adi Suryadi Culla, dosen Fisip Unhas

 

 

Related posts