Lolos dari PENCULIKAN: Catatan menolak lupa “Pak Dewan” Supriansa (bagian 2):

  • Whatsapp
Supriansa (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – INI kisah nyata. Dialami oleh Supriansa, aktivis pergerakan mahasiswa asal Makassar era 98. Ia lolos dari upaya penculikan. Bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali.

Kenapa bisa? Begini ceritanya.

Ketika itu Supriansa aktivis kampus era Reformasi yang waktu itu sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, yang ikut menggerakkan mahasiswa untuk turunkan Soeharto.

Selain itu Supriansa juga tercatat sebagai Presidium Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) yang terpilih di Padang (Sumbar) periode 1996-1998.

Pada masa itu, sejak era tahun 80 hingga 90-an, situasi dunia kampus dan kemahasiswaan di Makassar banyak diwarnai oleh dinamika dan gejolak yang hebat.

Selain demonstrasi, sering kali juga terselip keributan yang berujung perkelahian antar sesama mahasiswa dalam kampus. Biasanya dipicu soal sepele. Atau kesalahpahaman berlatar faktor kuatnya solidaritas dan fanatisme etnis, kedaerahan dan organisasi ekstra-kampus.

Selama kurun waktu dua dekade tersebut, lembaga-lembaga mahasiswa intra-kampus tampaknya masih lebih disibukkan oleh persoalan-persoalan internal kampus.

Seperti merebut dan mendominasi jabatan-jabatan struktural di lembaga kemahasiswaan intra-kampus dan sebagainya.

Pernah suatu hari, buntut dari keributan mahasiswa yang berlatar perbedaan asal daerah tertentu, sejumlah mahasiswa fungsionaris organisasi kedaerahan menggelar pertemuan mendadak di kampus UMI Jalan Urip Sumohardjo Makassar. Hasil keputusan rapat: Supriansa harus diculik karena dianggap dalang dari persitiwa itu!

Selanjutnya, maka diutuslah beberapa diantara mereka untuk mencari keberadaan Supriansa. Ketemu. Mereka saling berhadapan dan bertatapan serius.

Supriansa (fok: istimewa)

Supriansa mencium gelagat yang tidak beres. Perasaannya tidak enak malam itu. Tapi ditepisnya. “Ah, mungkin hanya perasaan saya saja….”

“Ayo, kita pergi makan dulu…,” ajak Supriansa mencoba mencairkan suasana.

Mereka bersama. Satu meja. Ngobrol santai, sesekali terdengar canda dan tawa. Supriansa sendiri saat itu tidak tahu samasekali kalau mereka yang duduk dihadapannya berniat untuk menculik dirinya.

“Inikah orangnya? Waduh…kita salah orang mungkin. Baek ini orangnya…,” bisik salasatunya. Tidak jadi. Batal penculikan.

Supriansa sendiri baru tahu kisah penculikan terhadap dirinya tersebut setelah bertemu Hamzah Ahmad, salahseorang aktivis dari Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dialah yang mengungkapkan. “Malam itu sebenarnya kau mau diculik,” kata Hamzah yang mengaku hadir dalam rapat tersebut.

Berselang waktu, pasca penculikan yang gagal itu, diperoleh kabar Supriansa malah berkawan dan bersahabat dengan para mahasiswa yang tempo hari berniat “menculik” dirinya.

————-

PERNAH juga suatu waktu, Supriansa dkk berhadapan dengan Nurdin Halid (NH) saat mendampingi ratusan petani cengkeh. Saat itu NH merupakan Direktur Utama (Dirut) Puskud Hasanuddin yang ditunjuk oleh BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) sebagai penyalur dana SWKP (sumbangan wajib khusus petani). Supriansa sebagai aktivis mahasiswa kala itu memprotes kebijakan NH yang dinilai merugikan petani cengkeh di daerah Sulawesi Selatan.

Merasa terusik dengan berbagai aksi protes dan demonstrasi yang dipimpin Supriansa membuat NH geram. Dalam suatu rapat internal Puskud Hasanuddin diputuskan agar “menculik” Supriansa dengan maksud untuk membungkamnya.

Sejumlah orang dari pasukan “die hard” NH ditugaskan melakukan operasi senyap dengan target penculikan Supriansa. Dicari di tempat kost-nya, tidak ada. Lalu mereka menyelinap dan mendeteksi keberadaan Supriansa yang malam itu nginap di kampus.

“Jangan ki’ kak terlalu frontal hadapi adek-adek mahasiswa. Malah akan merusak hubungan ta’ dengan mereka. Bisa jadi problem baru. Lebih baik kita ajak mereka berdialog…” cerita Arman Arfah yang waktu itu menyarankan kepada NH.

Sang Dirut diam sejenak. Merenungkan sesuatu. Akhirnya ia mengontak orangnya yang sudah siap menculik Supriansa agar membatalkan rencana tersebut.

Seiring perjalanan waktu, melewati lintasan masa, Supriansa akhirnya berkawan baik dengan NH yang dipertemukan dalam satu rumah bersama. NH sebagai fungsionaris DPP Partai Golkar dan Supriansa sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Golkar daerah pemilihan Sulsel-2 yang meliputi kabupaten Sinjai, Bone, Maros, Bulukumba, Pangkep, Barru, Soppeng, Wajo dan Kota Parepare.

“Sejak dulu saya tidak pernah mengusik personal atau pribadi orang, termasuk NH. Itu prinsip saya. Tapi kebijakannya yang saya tentang, protes dan lawan,” katanya meluruskan pandangan miring sebagian orang.

 

—————

MESKIPUN sudah merampungkan studinya dan menyandang gelar sarjana hukum, naluri aktivis Supriansa tetap bergejolak. Di saat teman-temannya sibuk mencari dan melamar pekerjaan, Supriansa dkk malah mendirikan MIL (Macassar Intelectual Law) sebagai wadah perjuangan jilid-2 nya.

Kali ini medan perjuangan pria kelahiran Soppeng 31 Desember 1972 berbeda. Ia lebih banyak melakukan advokasi dan mendampingi rakyat, kelompok masyarakat maupun warga marginal yang mengalami ketidakadilan terhadap perlakukan pemerintah apalagi jika berhadapan dengan kasus hukum.

Sebut saja mereka itu adalah para pedagang kaki lima (PKL) dan eceran di sepanjang kawasan Pantai Losari Makassar, pedagang Pasar Sentral, pedagang Pasar Butung, warga Mandai di Maros yang tanahnya terkena perluasan areal Bandar Udara (Bandara) Sultan Hasanuddin.

Saat melakukan pendampingan warga, Supriansa kerapkali harus berhadapan dengan aparat militer dan kepolisian. Bahkan preman. Namun ia tak mundur. Baginya, tak rela membiarkan warga berdiri di depan untuk saling berhadap-hadapan dengan kekuasaan, militer, kepolisian ataupun preman.

Pernah suatu hari, Supriansa harus melompati pagar hotel milik TNI Angkatan Laut (AL) yang dijaga marinir. Ia sendirian. Mendampingi warga yang bersengketa dengan pihak hotel tersebut. Sekelompok marinir menjemputnya dan memaksanya keluar halaman.Tapi Supriansa bersikeras tetap melakukan “perlawanan” hukum.

Pada masa-masa sebagai aktivis NGO, Supriansa seringkali dicari dan diancam mau diculik oleh para preman. Entah mengapa rencana penculikan itu urung terlaksana. Gagal. Adakah mantra khusus?

“Tidak ada. Saya juga tidak tahu dan bingung,” ujarnya tersenyum.

—————

PESAN moral dari sepenggal kisah kenangan dulu Supriansa tersebut, bahwa tetaplah bertemu merajut silaturahim dengan teman-teman. Teman masa kecil, teman sekolah, teman kuliah, teman seperjuangan atau teman apa saja.

Sering jalan, ngopi atau makan bareng dengan mereka. Kita tidak pernah tahu kapan saatnya untuk berpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Jangan perlu ada alasan, tapi gunakan kesempatan untuk saling bertemu dengan teman-teman. Jangan pelit berbagi. Karena tanpa mereka kita bukan siapa-sapa.

Perbedaan prinsip dan pandangan itu biasa. Teruslah menjalin silaturahim, merekatkan rasa dan merajut asa.

***

(Rusman Madjulekka).

Related posts