PELAKITA.ID – Terkait resesi, ada dua sisi menarik, pada dimensi fiscal dan monetary. Credibility of central bank atau policy yang diterapkan sangat krusial. Penilaian pada kebjakan bank sentral tergantung pada bagaimana bank sentral menyasar target inflasi di awal tahun.
“Kalau jauh dari situ, bisa dianggap tidak kredibel,” sebut ekonom Dr Syarkawi Rauf, saat menjadi pembicara pada webinar bertema Resesi Global 2023 dan Dampaknya bagi Perekonomian Dunia Usaha.
Acara yang berlangsung daring ini digelar sebagai rangkaian 74 tahun Dies Natalis Fakultas Ekonomi dan Bisnis FEB Unhas bekerjasama dengan IKA Unhas dan IKAFE Unhas.
“Kalau sama, ya bagus,” lanjut Syarkawi terkait kredibilitas bank sentral terkait prediksi inflasi. Sehingga, lanjutnya, menyampaikan informasi ke publik secara terbuka dan transparan itu wajib.
Syarkawi menyampaikan ini berkait sangkaan bahwa Menteri Sri Mulyani Indriani ‘mengganggu ketengahan publik’ dengan berita resesi dan perlunya pemangkasan pengeluaran negara seperti pada subsidi.
“Untuk kredibilitas, bisa dilihat dari angka Non-Performing Loan atau NPL perbankan, salah satu bentuk kebijakan jangka pendek untuk memastikan transparasi perbankan, jadi kalau terbuka akan positif,” tambahnya.
Menurut Syarkawi, publik akan berspekulasi kalau bank tidak aman. “Mereka bisa saja menarik uang atau rush dan akan berdampak pada ekonomi kita. Jika ada ‘manipulasi laporan’ NPL akan berdampak buruk.
Menurutnya, ini yang akan menimbulkan kepercayaan, orang akan menganggap otoritas mpneter dan fiskal tidak berkredibilitas jika salah penempatan orang.
“
“Kedua, perlunya kredibilitas bank sentral. Otoritas moneter atau fiskal perlu orang bereputasi. makanya Menkeu dan BI adalah orang-orang yang dianggap dengan kepercayaan tinggi, dari sisi kompetensi dan yang lain sebagianya, seperti non-tenis ekononi, supaya kebijakan dan pengamblan kebijakan kredibiel,” jelasnya.
Dia juga menyebut saat pandemi, ada semacama ‘shortage’ of demand dan supply.
“Kita push supaya demand tinggi sehingga ada kebijakan yang ekspansif, tetapi demand ketinggian, supply ambat, speed of adjustment lambat, kaitannya dengan produksi, transporrasi – seperti ketersediaan container – kaitannya dengan produksi, kaitannya dengan teknologi, tenaga kerja dan lain sebagainya.
“Adjustment lambat dalam jangka pendek, mau tidak mau demand, apa itu fiskal, moneter, pemerintah mengurangi subsisdi, kalau tidak, sementara luar di negeri harga minta dunia naik, maka jebol APBN,” imbuhnya.
Hal lain yang disampaikan adalah konsekuensi ekonomi karena terintegrasi dengan tatanan dunia.
“Mau tidak mau dari sisi otoritas, adalah bagaimana policy rate, ini rule of the bank di seluruh dunia terkait bagaimana domestic price dan nilai tukar ditangani, supaya inflasi terkendali, dan di tingkat consumer price dan keluar negeri, dengan menjaga nilai tukar supaya ada diferensiasi,” tambahnya.
Dia juga menyebut terkait hal seperti nilai tukar, ekonomi kita tidak jauh beda dengan Amerika.
Dia juga menyatakan tidak ada masalah jika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indriani menyampaikan mengenai resesi. Sebab pada beberapa aspek, Indonesia tidak bisa lepas dari suasana golabal seperti Amerika.
“Sektor ekonomi kita tidak berdiri sendiri., dia intergral dengan dunia, global, seperti di pasar uang,” ungkap sosok yang mengaku pernah meneliiti suku bunga Amerika the Fed dan kaitannya dengan Indonesia.
“Sangat teintegarsi dengan mereka, ada spill-over effect di Amerika, langsung masuk ke Indonesia melalui money change,” ucapnya lagi.
Hal ain yang disampaikan Syarkawi adalah bagaimana trade kita dengan Amerika sebagaimana disampaikan pula oleh Ekonom Chatib Basri.
“Kita itu untung dari resesi karena ekonomi kita tidak terintegrasi global di banding negara seperti Singapura yang 100 persen terhadap GDP, negara lain juga gitu seperti Korea,. Ekspor kita terhadap GDP kecil, reatif tidak terinttegrasi di negara lain, bahayanya adalah saat negara lain terdampak, dampaknya juga pada neraca perdagangan kita,” terangnya.
Syarkawi juga mengingatkan perlunya krediblitas dan menghindari informasi bias. “Itu tidak boleh, kita harus berterus terang terkait resesi,” imbuhnya.
“Saat ada resesi kita semua melakukan adjustment, rumah tangga pun demikian. Di Pemda, kalau inflasi tinggi, tidak bisa dikendalikan, inflasi dibantu oleh susbsidi, coba bayangtkan kalau itu dikurangi, mengkuti di pasar internasional, BBM, minyak dan gas makan tu inflasi akan jauh ke atas,” paparnya.
“Jadi, kalau tinggi inflasi, bank sental tidak kredibel,” imbuhnya lagi. Poin berikutnya yang disampaikan Syarkawi adalah bagaimana BI fokus pada rate, atau policy rate.
“Yang dibutuhkan adalah time dan konsistensi, respon kebijakan dari sisi timing harus pas, sehingga market intelligence harus berfungsi dengan benar,” ujarnya.
“Lalu bagaimana respon kebijakan atau BI pada resesi global?” tanyanya.
Menurutnya, itu harus di-absorbsi dan untuk itu, instrumennya ada pada sektor moneter, fiscal, trade policy dan ini yang dimainkan, investment di financial market, diutak-atik, dalam jangka pendek,” lanjut Syarkawi.
Menurutnya, pangan, ketersediaan gula, beras, minyak goreng, cabai, secara mandiri ini kebijakan medium ke longterm.
“Maksudnya, tidak bisa diharap dari tekanan global dan frekewensinya yang sangat tinggi, monetary, fiscal dan trade, invest, dari sisi suplus,” ungkap dia.
“
Dia mencontohkan bagaimana harga kotak container kapal untuk shipping yang umumnya dimiliki asing dan dibawa keluar. “Kita kekurangan ini, dan tidak mungkin solusi jangka pendek, yang paling bisa adalah demand side, BI rate, fiscal, refocusing,” jelasnya.
Dia mengingatkan ke depan, paling berbahaya adalah saat inflasi naik, akibat tekanan eksternal, di level pemerintahan daerah dan RT yang akan dilakukan adalah refocusing pengeluaran.
“Yang tidak penting dikurangi, lebih dari separuh konsumsi kita ke bawah adalah food consumption ke bawah dan non-food akan dikorbankan, yang non-food sseperti sekolah, layanan kesehatan, kompetensi,” paparnya.
“Ini akan berdampak jangka panjang jika tidak diantisipasi, Pemda harus siapkan kegiatan kontingensi rumah tangga refocusing, maka perlu ada program semacam beasiswa,” tambahnya.
“Sekarang kita cenderung resesi di 2023. Penyebabnya, hampir semua otoritas moneter di dunia melakukan kebijakan yang sama yaitu pengetatan, dengan policy rate naik, BI rate naik, federal bank naik, maka demand sangat terganggu,” jelasnya.
Dia juga menyebut pengeluaran global yang mencapai 18 persen akan turun sampai 13 persen.
“Ini luar biasa besar dan akan memberikan tekanan pada ekonomi global dan diperkirakan akan resesi pada yang akan datang,” ucap dosen kelas Magister Manajemen Kampus Unhas Baraya ini.
Terkait itu dia menyebut besarnya peluang resesi di negeri besar seperti Amerika dan China.
“
“Kalau kolaps di salah satu negara ini saja, peluang resesi di negara lain juga besar, risiko akan terjadinya reseis global akibat pelemahan di Amerika, China., di zona Eropa sangat besar, sehingga perlu policy option kita juga,” ucap Syarkawi.
“Tetapi tetap berhatii-hati dengan monetary policy, yang penting bank senrral bisa me-manage ekspektasi inflasi, ekspektasi masyarakat, kondisi ekonomi ke depan,” ujarnya.
“Yang cepat pengaruhnya adalah lewat financial market, khususnya nilai tukar, mempengaruhi cadangan devisa kita, tergerus akibat suku bunga internasional, kepercayaan pasar buruk,” tambahnya.
“Sehingga, bagaimana otoritas bank sentral saling berkoordinasi dengan pemerintah. Kita memang masuk ke situasi serba salah, tetapi kebijakan tak bleh salah. Itu kata Chatib Basri,” pungkasnya.
Editor: K. Azis