PELAKITA.ID – Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menggelar kegiatan Sosialisasi layanan kesyahbandaran Pelabuhan Perikanan Untia PNBP dan PP 85 di Kota Makassar, 8 September 2022.
Acara yang berlangsung selama dua hari ini dihadiri oleh sekurangnya 60 peserta dan disiapkan oleh Pelabuhan Perikanan Untia atas dukungan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari.
Menurut ketua panitia kegiatan, Iswadi Rahman, acara ini dihadiri utusan syaahbandar, petugas kesyahbandaran, para petugas Satwas PSDKP Sulsel yang menerbitkan SKO, perwakilan UPI, dan para pemilik kapal di kawasan pelabuhan perikanan Untia.
“Tujuan kegiatan ini untuk memberikan pemahaman atau sosialisasi pamahaman PP 85, program PNBP pasca produksi dan jenis layanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dan petugas instansi lainnya,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Iswadi, tujuan lainnya adalah demi mewujudkan penataan kapal perikanan dan prinsip keberlanjutan serta peningkatan ekonomi masyarakat di Kota Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum.
Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Pelabuhan Samudera Kendari, Syahril A. Raup, S.T, M.Si. Dalam sambutannya, pria yang akrab disapa Chalie itu menyebut bahwa isu-isu perikanan di Sulsel sedang jadi perhatian.
“Salah satunya terkait boleh tidaknya mengoperasikan alat tangkap perre-perre di Bulukumba dan Bantaeng. Juga keingintahuan publik tentang apa itu penangkapan ikan terukur,” ucapnya.
“Oleh sebab itu, acara ini sangat penting untuk disampaikan ke publik, terkait penangkapan ikan terukur, tentang apa itu penangkapan ikan terukur. Perbedaan utama dulu dan sekarang adalah ada yang disebut pra produksi dan pasca produksi,” sebut Chalie.
“Dulu, pelaku usaha diminta membayar PNBP dulu terutama yang di atas 30 GT, atau beroperasi di atas 12 mil. Bayar dulu lalu izin,” terangnya. Menurut Chalie, dengan pasca, kita bisa menangkap dulu, tidak ada PNBP, ketika bongkar lalu ditarik.
“Kemudian bahwa di dalam penangkapan terukur itu, ada yang kuota yang dibagi. Dulu, kita memberikan izin. Kita hitung berapa banyak sesuai potensi dan kuota yang dibagi ,” tambahnya.
“Misalnya, 100 ton atau lebih pertahun, itu yang ditimbang nanti, kalau dikonversi menjadi GT maka tinggal dibagi ukuran kapalnya. Untuk perikanan ikan terukur, yang diberikan kuota adalah kapalnya,” lanjutnya.
Untuk itu, sebut Chalie, diperlukan petugas di lapangan yaitu pengawas dan syahbandar. “Tugasnya memastikan bahwa semua kapal, atau kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan yang ditunjuk,” ucapnya.
Yang kendala saat ini menurut Chalie adalah keberadaan petugas kesyahbandaran. “Ada beberapa pelabuhan yang belum ada syahbandarnya. Ini bisa dicari jalan keluarnya dan perlu dikoordinasikan,” sebut Kalabuh Kendari ini.
“Di Sulsel ada 21 pelabuhan perikanan dan ini perlu dikelola dengan baik, petugas ini yang perlu dioptimalkan,” pungkasnya.