PELAKITA.ID – Di Indonesia, terdapat sekurangnya 538 pangkalan pelabuhan perikanan. Dari kelas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) hingga Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS).
Selain tantangan menjadikannya sebagai pelabuhan perikanan yang efektif, pada pendataan hingga pemasukan pendapatan bagi negara, isu lainnya adalah kemampuan para pengelola pelabuhan dalam mengelola sampah akibat aktivitas usaha perikanan.
Produksi sampah di Indonesia termasuk di dalamnya sampah plastik sungguh sangat besar, Indonesia disebut sebagai peringkat dua produsen sampah setelah China.
Tanpa penanganan dan strategi berdampak jangak panjang maka bukan tidak mungkin lautan atau pesisir akan menjadi tempat sampah raksasa yang merusak tatanan ekosistem di pesisir dan laut.
Itu pula yang menjadi alasan mengapa Destructive Fishing Watch (DFW) salah satu LSM Indonesia yang banyak berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau dalam hampir dua dekade terakhir menggelar pelatihan peningkatan kapasitas bagi ASN dan non-ASN Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, 27-29 Mei 2022.
Kegiatan ini didukung oleh Uni Eropa dan Kementerian Federal Jerman untuk Kerjasama Pembangunan melalui GIZ Indonesia dalam platform Rethinking Plastic. Skema kerjasama ini telah memasuki penghujung program.
“Secara sederhana, tujuan pelatihan ini untuk meningkatkan kapasitas pengelola seperti ASN dan non-ASN di PPP Tegalsari dalam memahami aspek sampah, inovasi pemanfaatan hingga bagaimana mereka menyusun rencana aksi atau road map yang dapat digunakan,” sebut Hartono, program manager DFW di Tegal.
“Dalam pelatihan ini kita menghadirkan narasumber yang memberi informasi terkait praktik pengelolaan sampah, pengelolaan sampah organik dan non-organik, hingga peluang memproduksi pakan dari sampah,” tambahnya.
Menurut Hartono, narasumber datang dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Tegal yang menjelaskan peluang kerjasama dan program apa saja yang telah dan disiapkan oleh DLH Tegal terkait sampah.
Pada tanggal 28 Mei 2022, Wakil Wali Kota Tegal, Jumadi ikut menjadi narasumber dan memberi dukungan kepada pengelola PPP Tegalsari untuk inovatif dan tetap bersemangat dalam mengelola sampah yang ada.
Pada hari terakhir, dilaksakanan diskusi kelompok dimana peserta ASN dan Non-ASN PPP Tegal mengidentifikasi permasalahan, tantangan dan ide-ide solutif secara berkelanjutan. Diskuski kelompok difasilitasi oleh Kamaruddin Azis, dari COMMIT Foundation.
“Kami berharap, petugas kebersihan bisa memperbaiki pengelolaan dan manajemen sampah agar lebih baik. Termasuk agar ada pengelolaan sampah secara terampil yang dimulai secara personal,” kata Beni, fasilitator workshop dari DFW Indonesia.
Sementara itu, salah seorang narasumber, Kasi Tata Kelola dan Pelayanan Usaha PPP Tegalsari, Winarti mengatakan, pihaknya menyambut baik pelatihan yang diselenggarakan oleh DFW Indonesia. Terlebih pelatihan itu diperuntukkan bagi petugas kebersihan dengan tujuan agar tercipta pengelolaan sampah yang lebih baik.
Winarti mengatakan, sampah memang masih menjadi persoalan tersendiri di kawasan PPP Tegalsari. Selain karena wilayahnya yang luas, petugas kebersihannya pun sedikit hanya 9 orang.
Dia berharap, nantinya masyarakat yang sehari-hari beraktivitas di kawasan pelabuhan juga bisa mendukung. “Pengguna kawasan juga bisa ikut mendukung dan berpartisipasi secara aktif.”
“Misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan,” ungkapnya. Dia mencontohkan, langkah awal bisa dengan membuat tim. Lalu dari pengelola dalam hal ini adalah otoritas PPP Tegalsari bisa membuat dan mengeluarkan kebijakan tentang sampah.
“Pengelola bisa membuat kebijakan atau regulasi terkait sampah. Karena bagaimanapun, ini adalah kawasan terikat atau komersil yang secara pengelolaan jauh lebih mudah untuk dikendalikan,” ucapnya.
Fakta-fakta dimensi sampah di PPP Tegalsari
Ada beberapa fakta yang diperoleh selama pelaksanaan pelatihan dan penyusunan rencana aksi.
Pertama, produksi sampah di PPP Tegalsari mencapai 2,2 ton per hari. Untuk ukuran pelabuhan perikanan ‘menengah’ jumlah ini sangat besar. Meski demikian, belum ada upaya melembaga dalam memilah dan memanfaatkan sampah atau dengan kata lain, selama ini pemilahan sampah dimanfaatkan secara orang per orang.
Kedua, belum ada pedoman atau mekanisme pengelolaan sampah yang terintegrasi di PPP Tegalsari yang melingkupi proses pendataan, penanganan, pemilahan, unit pengelola, Lembaga semacam koperasi untuk mengurusi pengelolaan dan penanganan nilai ekonomi sampah.
Ketiga, seorang petugas kebersihan non-ASN mengaku mendapat pendapatan hingg Rp650 ribu perbulan jika produksi sampah sedang banyak di pelabuhan. Pendapatan ini merupakan murni inisiatif pribadi yang memilah sampah. Selain itu, dia pun mendapat gaji sesuai standar UMR Jawa Tengah.
Keempat, sampah yang diperoleh kemudian disatukan di kontainer, dipiliah, diambil yang bernilai ekonomis sebelum dibawa ke TPA Kota Tegal Mintangen.
Kelima, DFW Indonesia telah memfasilitasi perbaikan tata kelola sampah dengan penyusunan regulasi yang lebih operasional dalam bentuk SOP bagi para nelayan, ABK, pemilik kapal untuk memperoleh panduan penanganan sampah di atas kapal. Dalam panduan ini ada mekanisme penanganan dan bagaimana terhubung dengan otoritas PPP Tegalsari.
Keenam, bantuan 10 bak sampah dari program ‘Rethinking Plastic’ di PPP Tegalsari sebagai stimulant bagi pengelola untuk membangun sinegri dalam mengelola sampah.
Selain itu, DFW dan Pemkot Tegal dan otoritas PPP Tegalsari telah mengajak kaum muda untuk ikut aksi bersih PPP dari ancaman sampah plastik, termasuk membentuk gerakan relawan yang akan memberikan edukasi dan kampanye berkaitan pengelolaan sampah.
Ketujuh, isu-isu yang disampaikan oleh peserta adalah terbatasnya dana pengelolaan sampah di PPP Tegalsari, belum ada adanya koperasi pengelola sampah, belum melembaganya pengelolaan keuangan dari hasil pemilahan sampah, serta terbatasnya kapasitas petugas dalam memanfaatkan waktu kerja sehingga yang dilakukan lebih banyak pada pagi hari dengan membersihkan kawasan serta memiliah.
Kedelapan, peserta mengusulkan beberapa ide untuk keberlanjutan pengelolaan sampah seperti dukunagn pembiayaan dari Pemkot Tegal, pendirian lembaga keuangan pengelola sampah, adanya penduan atau mekanisme tata kelola sampah berbasis PPP Tegalsari yang dapat memastikan tersedianya sumberdaya memadai dalam mengelola sampah yang ada.