PELAKITA.ID – Tahun 1927, Mount Rushmore dan Charles Lindbergh, dua orang alumni American University (AU) berinisiatif membentuk Ikatan Alumni American University. Pada saat itu jumlah alumninya hanya ada 71 orang.
Sembilan puluh tahun kemudian, AU sudah mempunyai kurang lebih 400.000 alumni yang tersebar di seluruh dunia. 90 tahun lalu, salah satu prioritas utama dari ikatan alumni AU adalah memastikan bahwa semua alumni menerima koran mahasiswa yang mereka beri nama “The Eagle”.
Jangan ditanya lagi kondisi saat ini, ikatan alumni AU sudah memanfaatkan media sosial yang menghubungkan alumni dengan perkembangan kampus dalam hitungan detik.
Ikatan alumni AU ini juga sangat terkenal dengan program filantropinya yang menggalang dana beasiswa, mendanai pembangunan kampus dan inovasi pendidikan. Mereka percaya bahwa alumni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga besar American University.
Salah satu Top Ten University di Amerika yaitu Yale University (YU), juga melakukan upaya dalam bentuk yang lain untuk merawat para alumninya. Walaupun tidak setua AU, usia Ikatan alumni YU baru berusia 50 tahun.
Weili Cheng, seorang wanita peranakan China yang lulus dari Yale dengan gelar B.A. dalam bidang filsafat pada tahun 1977,diangkat menjadi Direktur Eksekutif Ikatan Alumni Yale pada tahun 2016.
Sebelum menjabat Direktur Eksekutif YU, Cheng adalah wakil presiden senior dan wakil penasihat umum The Ritz-Carlton Hotel Company, yang dijabatnya sejak tahun 2007.
Jabatan ini merupakan jabatan prestige karena Cheng lah yang membentuk strategi dan kebijakan bisnis global The Ritz-Carlton Hotel Company di seluruh Amerika, Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Sangat menarik, sesaat selesai Cheng dilantik menjadi Direktur Eksekutif YU, seorang wartawan menanyakan, mengapa Cheng rela meninggalkan jabatannya. Cheng menjawab, bahwa dia ingin berkontribusi merawat tradisi YU yang mereka sebut “The Power of Connection”.
The Power of Connection harus dirawat karena inilah yang menghubungkan alumni dengan universitasnya. Cheng yakin bahwa Ikatan Alumni YU tidak akan pernah meninggalkan alumninya apalagi “induknya”.
The Power of Connection ini lebih “menggoda dan menantang” dari seluruh pekerjaannya selama ini. YU tidak salah memilih Cheng, salah satu kerja besarnya adalah membuat dan mengkoordinasikan 800 program alumni dan bisa diakses di kalender kegiatan online Ikatan Alumni YU pada tahun 2021.
Apakah tugas itu selesai?, Cheng menjawab dengan lugas bahwa upaya-upaya ini belum selesai karena seluruh alumni bertanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai inti dari YU yaitu keterbukaan, inklusi, kolaborasi, serta keragaman, dan Cheng meyakini bahwa salah satu penggerak utamanya adalah alumni.
Bagaimana dengan kita, dalam memaknai peran alumni? Jawaban dari pertanyaan ini sejatinya dimulai dari pemahaman bersama bahwa alumni adalah salah satu representasi dari kelompok-kelompok yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan peran perguruan tinggi.
Modal utama suatu perguruan tinggi adalah pengetahuan sehingga kemampuan mengelola dan mengembangkan pengetahuan merupakan suatu keniscayaan. Ini berarti perguruan tinggi harus bisa memposisikan diri sebagai pelayan pengetahuan (knowledge server) yang harus bisa menyimpan, menghasilkan, menjaga, mentransmisikan, mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan, dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam era kekinian, alumni sejatinya hadir menjaga peran perguruan tinggi yang dijelaskan di atas. Selain sebagai “knowledge server” sejatinya perguruan tinggi juga harus bisa berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya masyarakat.
Dalam konteks ini, Perguruan Tinggi harus bisa memelopori upaya-upaya transformasi sosial termasuk mempromosikan nilai-nilai baru.
Saya membayangkan bahwa Universitas Hasanuddin sebagai salah satu perguruan tinggi terpandang di Indonesia beserta Ikatan alumninya seyogianya bergerak cepat untuk berkontribusi sebagai pusat pengembangan budaya masyarakat.
Representasi alumni akan membuat perguruan tinggi menjadi lebih dekat atau bahkan menjadi bagian integral dari masyarakatnya.
Artinya, peran perguruan tinggi sebagai pusat budaya masyarakat akan menjadi lebih mudah untuk dilakonkan. Hal ini juga harus diterjemahkan bahwa aktivitas kolaborasi antara perguruan tinggi dan alumninya senantiasa harus didesain secara sadar demi untuk meningkatkan kualitas peradaban masyarakatnya.
Oleh karena itu, pertemuan dan musyawarah besar Ikatan Alumni Unhas seyogianya bisa mengkaji dan mengimbaskan nilai-nilai baru yang diperlukan dan mengkolaborasikan bersama Unhas untuk memperkaya budaya dan teknostruktur masyarakat. Ini harus diyakini akan menjadi modal utama Unhas berperan bukan hanya dalam pergaulan lokal dan nasional tetapi juga pergaulan global tanpa harus larut ke dalamnya.
Kekuatan koneksi Ikatan alumni harus hadir dan nyata bekerja untuk bersama “induknya” berperan menjaga dan meningkatkan kualitas peradaban masyarakatnya.
Penulis: Iqbal Djawad (Dosen Unhas)
Editor: K. Azis