Komang Indrayana, mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin mendedah bagaimana ekonomi politik memengaruhi perspektif dan keputusan investor. Menarik, simak yuk!
PELAKITA.ID – Rekan-rekan yang aktif dalam investasi saham atau investor tentu masih ingat, bagaimana dulu tweet-tweet yang disampaikan Donald Trump bisa berpengaruh langsung terhadap naik turunnya harga saham di Amerika, yang juga berdampak pada negara lain termasuk Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena sentimen investor terhadap kebijakan ekonomi politik pemerintah, mempengaruhi keputusan investasi mereka. Selaras dengan teori yang disampaikan
Morck, dkk (1990) menyatakan ‘pergerakan harga saham tidak hanya dipengaruhi oleh informasi terkait fundamental, tetapi berdasarkan temuan teoritis dan empiris, juga dipengaruhi oleh sentimen dari para investor.
Sentimen dalam hal ini adalah keyakinan yang dipegang oleh para investor, terkadang tidak dapat dibenarkan secara rasional. Dampaknya pada penyimpangan harga saham dari nilai fundamentalnya’.
Sentimen investor ini, bisa diperoleh dari kebijakan pemerintah terutama di bidang ekonomi politik, harga komoditas, berita atau isu terkait perusahaan dan lainnya, yang cenderung berpengaruh pada pergerakan harga saham dalam jangka pendek.
Sedangkan informasi terkait fundamental perusahaan, seperti laporan keuangan, rencana dan keputusan manajemen, cenderung berpengaruh pada harga saham jangka panjang.
Untuk mencapai keberhasilan dalam investasi saham, sesuai dengan pendapat Benjamin Graham dan Alexander Elder dalam buku-buku investasi mereka, bahwa investor harus mempunyai kemampuan dalam Mind, Management, dan Method.
Mind dalam hal mengendalikan mental atau kadang disebut psikologi investor, management dalam pengaturan dana dan portofolio, serta method dalam melakukan analisis. Pengaruh besar keputusan berinvestasi ada pada mental, kecakapan dan ketenangan dalam membuat keputusan. Sedangkan mental, sangat dipengaruhi oleh sentimen para investor.
Kejadian-kejadian yang menggambarkan hubungan ekonomi politik terhadap investasi saham dapat disimak pada contoh-contoh berikut. Yang paling besar dampaknya pada penurunan tajam harga saham adalah adanya pandemi Covid-19.
Walaupun kasus pertama terjadi di China pada 17 November 2019, koreksi secara tajam secara global baru terjadi pada awal Maret 2020.
Hal ini berdekatan dengan penetapan keadaan pandemi global oleh World Health Organization (WHO). Juga ada, kebijakan politik beberapa negara menetapkan karantina di wilayah masing-masing. Bisa jadi, penetapan dan kebijakan ini yang mempengaruhi sentimen investor sehingga membuat keputusan untuk menjual saham.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia mengalami koreksi mencapai 38 persen (investing.com), kehilangan valuasi sekitar 2760 Triliun Rupiah sebanding dengan 17,4 persen dari total nilai PDB Indonesia (ADHB) tahun 2019.
Padahal jika mengacu pada fundamental masing-masing perusahaan, pada awal Maret belum ada perusahaan yang mengeluarkan laporan keuangan. Pada saat itu masih belum ada laporan nyata dampak pandemi pada kinerja perusahaan.
Tetapi ada keyakinan bagi para investor, bahwa di waktu yang akan datang pandemi ini akan mempengaruhi kinerja perusahaan sehingga mereka memutuskan untuk mengurangi atau menjual sahamnya.
Sekarang Virus Covid-19 ada varian baru yang diberi nama Omicron. Berdasarkan berita, ada yang menginformasikan pertama ditemukan dari negara Afrika Selatan pada 26 November 2021, tetapi ada juga yang menyebut dari Belanda kemungkinan pada 19 dan 23 November 2021 (Okezone.com).
Jenis ini dipercaya lebih ganas dari varian sebelumnya. Sudah ada beberapa negara yang membuat kebijakan melarang penerbangan dari negara yang sudah terbukti ditemukan kasus covid varian ini, termasuk Indonesia.
Dari sisi investasi saham, informasi ini menjadi sentimen negatif bagi investor sehingga IHSG mengalami penurunan nilai sekitar 3 persen pada tanggal 26 November 2021.
Selain itu, pergerakan harga saham masih cenderung datar padahal pada akhir tahun biasanya mengalami tren naik karena adanya windows dressing (strategi perusahaan maupun manajer investasi dengan mempercantik portofolio investasinya).
Jika contoh di atas melihat dampak ekonomi politik pada harga saham secara keseluruhan, contoh berikut melihat dampaknya pada saham tertentu. Misalnya pada pergerakan harga saham Tesla, inc (TSLA) di bursa Nasdaq, Amerika.
Kebijakan ekonomi politik Amerika dan beberapa negara lainnya untuk mengurangi dan membatasi konsumsi bahan bakar fosil, meningkatkan potensi perkembangan kendaraan listrik di masa depan.
Tesla sebagai perusahaan terdepan di bidang mobil listrik, memperoleh keuntungan dari kebijakan ini. Sentimen positif ini membawa optimisme bagi para investor sehingga saham TSLA ‘terbang’ hingga mencapai nilai tertinggi 1243 US$, dengan peningkatan harga saham mencapai 1390 persen.
Jika melihat rasio keuangan kapitalisasi pasar TSLA, untuk Price Earning Ratio (PER) mencapai 352, jauh di atas PER industri sejenis pada nilai 8,8. Sedangkan nilai Price To Book Value (PBV) mencapai 40,2 dengan PBV industri sejenis pada nilai 2,2. Hal ini menggambarkan bagaimana sentimen dan optimisme investor berdampak pada kenaikan harga saham, sangat jauh dibandingkan nilai wajar berdasarkan data fundamentalnya.
Di Indonesia, kenaikan harga saham yang cukup fenomenal terjadi pada saham-saham bank digital. Hal ini dipicu oleh peraturan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang bank umum dan aturan mengenai bank digital.
Contohnya saham ARTO (PT. Bank Jago, Tbk). Walaupun pergerakannya lebih duluan karena masuknya investor (Gojek) sebagai mitra strategis, harga saham ARTO ‘terbang’ tinggi dari 480 Rupiah (January 2020) mencapai nilai tertinggi 19050 Rupiah (Juli 2021), dengan peningkatan mencapai 6150 persen.
Jika melihat rasio keuangan berdasarkan Q3 2021, nilai PBV mencapai 25,5 jauh di atas PBV BBCA (PT. Bank Central Asia, Tbk) pada nilai 4,3 yang merupakan saham dengan kapitalisasi terbesar di BEI. Bahkan, kondisi ini tercapai dengan earnings (penghasilan) ARTO masih negatif.
Kenaikan fantastis ini juga dialami bank digital lain, seperti BBYB dengan kenaikan harga saham tertinggi 600 persen, BKSW pada 650 persen, BANK pada 2700 persen, BABP pada 1200 persen, BACA pada 150 persen, AGRO pada 3280 persen, dan BBHI pada 6700 persen. Kenaikan ini tentu saja jauh di atas nilai fundamentalnya, bahkan bisa dibilang tidak rasional.
Apakah harga ini akan bertahan atau terjun bebas? Waktu yang akan menjawab. Yang jelas, dari contoh-contoh ini dapat diketahui bahwa teori yang disampaikan Morck, dkk (1990) memang benar adanya. (KIY)
Editor: K. Azis