Dana 2 juta dari salah satu operator komunikasi di Makassar menjadi modal menggelar Musyawarah Besar Ikatan Sarjana Kelautan Unhas, dalam tahun 2010 kala itu.
PELAKITA.ID – Setelah dua periode kepengurusan dianggap idle, tak bisa bekerja maksimal, dan setelah berbulan-bulan habis periodenya, tapi tak kunjung juga ada SK musyawarah besar, penulis mengontak ketua ‘aktif’ ISLA saat itu Dr Mahatma Lanuru yang masih segar balik studi dari Jerman.
Sebagai kawan seangkatan, Dr Mahatma menaruh harapan agar ISLA bisa ditangani oleh alumni yang berbeda dari periode sebelumnya setelah sebelumnya pengusaha dan dua periode dosen Unhas.
Ada gelombang harapan aktivis LSM Kelautan di Makassar saat itu untuk segera menggelar Mubes sebab ada banyak problematika kelautan di Makassar saat itu yang luput dari cermatan, sentuhan dan solusi alumni.
Ada dua alasan mengapa penulis begitu percaya diri untuk menyiapkan Mubes yang digelar pada 2 Oktober 2010 itu.
Pertama, adanya jejaring pertemanan dengan beberapa manajer perusahaan swasta dan BUMN dan mereka bilang siap bantu.
Kedua, penulis merasa telah bertemali ideologi dengan beberapa alumni Kelautan Unhas yang saat itu mengelola program-program pemberdayaan masyarakat dan tentu mereka bisa menjadi back up menangkis untuk urusan remeh seperti kopi, teh, gula pertemuan.
Pendek cerita, Mubes berlangsung dengan sponsor dari Indosat kala itu sebesar Rp2 juta. Penulis sendiri yang datang ke kantor mereka di Jl Hasanuddin Makassar. Mereka tak minta logo dipasang di mana, tak ada klausul. Kami yang menyiapkan spanduk dan paham di mana logo mereka harus ada.
Saat yang sama, saya hubungi kawan saya kala itu, Thamzil Tahir, “Bos, saya pasang logo Tribun nah, biar keren.”
Kami pun menggelar Mubes dengan dana receh jika dibanding kuasa orang-orang kala itu. Menggelarnya pun di hotel. Bangga kan ya? Gak harus pinjam ruangan tetangga.
Suasana Mubes berlangsung lancar, ada laporan pertanggungjawaban, ada steering, dan segala macam perangkat Mubes. Ketua SC mengenakan jas, palu sidang dari kayu terbaik.
Suasana Mubes nampak adem, semua aktivis LSM saat itu bersukacita, seperti Subhan Uya, Yusran Nurdin Massa, Muhammad Yusuf, hingga alumni muda Kelautan dari YKL Indonesia, lembaga riset Nypah. Teringat Dr Muhammad Lukman yang jadi steering dengan jas kerennya.
Harapan yang berkembang kala itu, karena ketua panitia dan dianggap telah mempersiapkan Mubes di tengah stagnasi kepengurusan, akhirnya kawan-kawan mengusulkan penulis sebagai kandidat ketua.
Kami melalui proses itu dengan legowo untuk sampai pada voting. Voting yang saya sebut alternatif terbaik untuk menunjukkan siapa gerangan yang ada di ‘garis perjuangan kontekstual Makassar’ untuk ikut menjadi bagian perjuangan Kelautan dari Makassar.
Beberapa kawan dari Jakarta ikut voting, di Makassar dan beberapa wilayah lain juga. Saya lupa bagaimana teknisnya, lupa bagaimana suasana perhitungannya. Lupa sebab bisa jadi karena itu hal biasa.
Sahabat saya M. Zulficar Mochtar menjadi alternatif dalam voting itu dan penulis terpilih kalau tidak salah ingat beda 7 suara. Hasil itu ditanggapi dengan positif oleh sahabat saya itu dan menyatakan siap mendukung.
Hingga sekarang proses-proses yang kami lalui itu seperti sebuah cambuk untuk terus bersama berjuang.
Beberapa waktu kemudian, M. Zulficar Mochtar terpilih sebagai Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia dua periode dan saya jadi koordinator bidangnya, dan dia bahkan masuk tim kerja Menteri Susi.
Dia pula yang membantu memperkenalkan pada Menteri Susi. Vicar begitu sebutannya, yang merekomendasi saya untuk bisa bertemu Ibu Susi kala itu di rumah dinasnya di Widya Chandra.
Lalu apa yang kami bisa lakukan untuk ISLA Unhas saat itu dengan berbekal semangat belaka? [bisa disimak dI SINI]
Ada beberapa kegiatan saat itu. Peningkatan kapasitas melalui pelatihan jurnalistik Kelautan dengan menggandeng Tribun Timur dan Yayasan Ininnawa. Honor narasumber hasil negosiasi dan patungan kawan-kawan LSM saat itu.
Lalu kami menggelar bina akrab alumni, halal bihalal, gathering, fund raising dengan buat baju kaos, seminar selam bersama Marine Science Diving Club, riset desa, riset hiu, anjangsana ke Tribun Timur dan Harian Fajar untuk membahas reklamasi di Kota Makassar.
Semua jejaring LSM digerakkan dan terhubung dengan ISLA Unhas kala itu. Tiga tahun pelaksanaan Makassar International Writers (MIWF) Rumata 2011, 2012 bahkan 2013 kami ikut.
ISLA Unhas menyiapkan contoh ‘bagang’ di Fort Rotterdam sebagai ajang promosi usaha perikanan, hingga jadi host untuk tur writers ke Pulau Lae-Lae dan Barrang Lompo. Banyak catatan mengenai ini.
Lalu ada ISLA award untuk dua kabupaten yang telah merekrut alumni kelautan yaitu di Selayar dan Wakatobi. Wakil Bupati Selayar kala itu, Siaful Arif yang datang ke Makassar menerima apresiasi alumni. Kala itu, ada 7 alumni Kelautan Unhas jadi ASN.
Selama dua tahun, digelar ISLA Award. Kami pun mengirim surat ke beberapa kabupaten kota di Sulawesi Selatan untuk menyiapkan formasi Sarjana Ilmu Kelautan pada rekrutmen ASN kala itu.
Pendeknya, ISLA Unhas bisa berdenyut karena sekurangnya ada 5 alasan.
Pertama, kami mengelolanya dengan gaya LSM. Hampir semua kegiatan menggunakan TOR, dikomunikasikan dengan ‘sponsor’ seperi alumni jejaring LSM itu. Terima kasih keluarga YKL, Lemsa, YKL, Nypah dan alumni Kelautan saat itu.
Kedua, dana tidak menjadi isu utama. Kerap kali, kegiatan atas nama ISLA Unhas dikaitkan dengan kegiatan teman-teman LSM itu, demikian pula kegiatan kampus seperti agenda Marine Science Diving Club hingga kegiatan jurusan.
Saya ingat satu event kami di Kantor Tribun Timur masuk di halaman pertama media cetak itu atas saweran kue dan minum teh kotak dari jejaring itu.
Demikian pula yang digelar di Harian Fajar, diskusi akhir tahun ISLA Unhas tahun 2012 terkait ‘meretas relasi mutualistik FIKP Unhas dengan alumni’. Kritik banyak muncul di sini, harapan pun ada.
Ketiga, ide-ide program muncul begitu rupa karena latar belakang alumni begitu luas. Sekali waktu riset hiu, sekali waktu bicara UMKM, sekali waktu bicara advokasi, dan lain sebagainya. Pengalaman alumni adalah bahan cerita dan bisa menjadi inspirasi untuk buat kegiatan berlogo ISLA Unhas.
Keempat, fund raising adalah hal niscaya di organisasi. Tanpa pendanaan organisasi bisa jadi jalan lambat, ini bisa ditangani satu orang atau dua orang tetapi tidak sehat untuk organisasi.
Harus ada kesadaran kolektif untuk menghidupkan peran dan tanggung jawab. Saya berterima kasih kepada jejaring Kelautan yang aktif di LSM, private sector, di pemerintahanan yang saat itu ikut memudahkan berjalannya kegiatan.
Kelima, transformasi kepengurusan pasti akan punya dinamika, bisa tajam, datar, lancar, atau berliku.
Di ISLA Unhas, kami yang telah melewati beragam turbulensi berorganisasi sejak di Tamalanrea tahu persis, untuk berorganisasi apalagi di dalamnya beragam latar belakang.
Mengurus organisasi alumni, atau IKA, sejatinya harus siap untuk memilih mendengarkan dan memahami selera alumni.
Itu hal esensil dan mendasar ketimbang kemaruk memuaskan dahaga berkuasa atau semata menjadikan organisasi sebagai batu loncatan persona, melanggengkan ego ketimbang panggilan eco.
Ewako Makassar! Eh!
Penulis: Denun | Tamarunang, 6/11/2021