PELAKITA.ID – Idham Malik, jurnalis, aktivis LSM, praktisi perikanan, adalah sosok yang unik. Tidak seperti aktivis LSM kebanyakan yang lebih asik berpindah dari proyek ke proyek dan hanya melahirkan laporan proyek ‘kaku’, Idham berhasil menghasilkan penggeledahan atas isu, gejala atau problematika pengusahaan perikanan di Indonesia atau setidaknya di Sulawesi Selatan dengan bahasa yang memikat.
Pandangan tersebut dilayangkan setelah membaca buku terbitan mantan jurnalis kampus Identitas Unhas berjudul Perikanan atau Perikiri?, buku yang diterbtikan oleh Penerbit Subaltern dalam tahun 2021 ini.
Buku setebal 144 halaman ini adalah oase pengalaman, telaah dan harapan Idham atas kompleksitas usaha perikanan budidaya yang disebutnya tak maju-maju dalam satu atau dua dekade terakhir.
Menurut Idham, bukunya ini adalah kumpulan tulisan catatan dari lapangan, ketika lagi santai nongkrong di warkop, dan terdapat waktu sambilan sembari menyusun laporan kegiatan, muncullah ide-ide dalam tulisan ini. Ide-ide tersebut sebenarnya sudah lahir saat berada di lapangan, setelah memikirkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Seperti, kenapa kelompok pembudidaya mandek? Kenapa terjadi perbedaan pola manajemen budidaya antara petambak yang memiliki lahan sendiri dibandingkan dengan petambak sewa, maupun petambak yang dikelola dengan sistem punggawa sawi (pembagian hasil panen 90:10)?
Kenapa hasil produksi budidaya udang windu begitu-begitu saja, hasilnya kurang dari standar SR (Survival Rate) yang mengharuskan di atas 25%?
Kenapa terdapat kesenjangan ekonomi antar petambak yang ada di Sulawesi Selatan?
17 Tulisan dalam kumpulan essai oleh Idham Malik ini sebagai ikhtikad untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan menggunakan pendekatan analisis struktur sosial, interpretasi terhadap sejarah masuknya udang windu di Sulsel, maupun penilaian terhadap perubahan-perubahan sosial sejak berkembangnya budidaya tambak di Sulsel.
Di samping itu, penjelasan mengenai dampak dari pengaruh revolusi hijau pada dunia budidaya perairan di Sulsel. Hingga hubungan relasi kampus, mahasiswa dan petambak, yang menunjukkan adanya ketimpangan dalam relasi/hubungan dengan petambak.
Menurutnya, paket tulisan ini tidak berpretensi untuk melakukan pengajaran mengenai metode yang baik untuk perbaikan budidaya, tapi lebih pada melakukan dekonstruksi terhadap praktik-praktik pendampingan atau pelaksanaan budidaya perairan di Sulsel.
Bagi Idham, buku ini diharapkan dapat menjelaskan pemicu munculnya gagasan-gagasan baru dalam mendorong peningkatan ekonomi masyarakat petambak.
Bagi kita, apa yang dilakukannya merupakan hal menarik di tengah kegersangan daya kritis kita pada praktik perikanan kontemporer yang sangat top down, sentralistik, dan simplistis atau mau cepat dapat hasil tetapi mengabaikan aspek mendasar; kesehatan lingkungan dan perlunya kerjasama sosial.
Disebut kegersangan karena praktik budidaya saat ini terutama udang seperti hidup segan mati tak mau. Budidaya disebut hidup jika Pemerintah menggelontorkan dana besar, atau ada program unggulan yang dicirikan dengan bantuan sarpras atau saprodi yang jor-joran. Program lebih banyak menempatkan pembudidaya sebagai penerima bantuan ketimbang ‘pemegang otoritas budidaya’ dalam arti luas, sebagai inisiator, pengevaluasi dan pemetik hasil.
Begitulah. Lalu, mengapa Idham menyebut perikiri? Menurutnya, istilah perikiri ini lahir sebagai tandingan pemikiran dari perikanan, melihat praktik perikanan dari tinjauan struktur sosial, sejarah, budaya dan politik, berdampingan dengan perikanan yang lebih bersifat birokratis-teknokratik.
Buku ini buku penting, rugi kalau tak memilikinya.
Editor: K. Azis