Kolonel (Purn.) S. Mengga lahir di Lawarang, Lekopadis, Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 22 Agustus 1922 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 13 April 2007 pada umur 84 tahun) adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Barat.
PELAKITA.ID – Lama sebelum ia datang ke desa kami, kebesarannya telah hadir bersama angin. Cerita, mitos, juga kisah-kisah kepahlawanannya datang menunggangi awan. Ke dalam mimpi, ke khayalan-khayalan, ke ketakutan-ketakutanku.
Namanya Said Mengga, seorang pensiunan kolonel TNI Angkatan Darat di saat tentara masih merajalela pula di wilayah sipil. Sepuluh tahun (1980-1990) ia jadi Bupati Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), Sulawesi Selatan — kini jadi Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Menjadi tentara di zaman gerilya dan lama menjadi asisten pribadi Jenderal M. Yusuf, Said Mengga adalah legenda hidup di Mandar di masa itu. Dan ia pun seorang bupati, raja kecil di daerah.
Dua kali saya melihatnya langsung — dua kesempatan yang langka. Saya ingat gaya Said Mengga yang khas, menggeleng-gelengkan kepala ke kanan, dalam jeda yang teratur. Saya tak tahu itu sejenis gangguan saraf. Tapi di kampung, segala yang lain bukanlah keanehan. Segala yang aneh punya cerita, punya kisah.
Orang-orang kampung percaya, gaya geleng-geleng kepala Bupati Said Mengga itu bawaan dari zaman perjuangan, ketika sebagai tentara pejuang ia ikut membasmi penjajah dan pemberontak.
“Ia terlalu sering melihat darah. Ia jijik melihat musuh yang dibantainya. Itulah yang membuat dia sering geleng-geleng kepala,” kisah seorang tetua kampung.
Tiada telepon, tiada internet, tiada Google, tiada segala informasi. Jadilah Said Mengga seorang bupati dengan kebesaran melebihi manusia biasa. Ia terasa jauh dan tak terjangkau.
Ia bertahta di ibukota kabupaten di pantai, dan sepanjang jabatannya yang 10 tahun, hanya satu dua kali ia menunggang kuda ke kampung saya.
Menunggang kuda? Ya, mobil tak pernah sampai di Mambi yang hanya 100 kilometer dari Polewali.
Jalan tak pernah mulus, tapi kehidupan dan nama besar sang bupati tetap lestari. Ia tak terjangkau. Dan tak ada pemilihan langsung. Tak ada pertanyaan dan gugatan rakyat jelata, tak ada tuntutan mundur. Tak ada juga penegak hukum yang mau mengulik-ngulik ongkos pembangunan jalan.
Hidup di masa itu adalah hidup yang semenjana. Bupati naik dan turun dengan sentosa.
Tapi itu dulu. Tidak di masa kini.
Hari ini, 9 Desember 2020, pemilihan kepala daerah serentak di 270 kabupaten, kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Pilkada serentak di separuh dari 524 daerah di Indonesia.
Data KPU menyebutkan, total ada 739 pasangan calon kepala daerah yang bertarung: 25 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, 631 calon bupati/wakil bupati, dan 101 calon walikota/wakil walikota. Di antaranya ada 25 daerah dengan calon tunggal kepala daerah melawan kotak kosong di bilik suara.
Mereka berlomba merebut tahta kecil di daerah yang kini harus diraih dengan pengorbanan tak alang kepalang: uang, waktu, kesabaran, senyum-senyum palsu. Tapi era informasi kini menempatkan rakyat sebagai juri yang adil. Mereka memilih calon pemimpin yang mengena di hati, bukan karena cerita-cerita khayali.
Ada calon kepala daerah yang datang bagai siluman, ujug-ujug wajahnya yang dipapas oleh Camera 360 bertebaran di poster, baliho dan panji-panji partai politik.
Di pohon, balkon, dan dinding-dinding ruang publik. Ada juga wajah lama yang datang berulang tapi dengan janji yang diperbarui. Siapa yang kelak terpilih dan menjadi kepala daerah adalah misteri abadi dari setiap perhelatan demokrasi.
Saya tak tahu, daya tarik apa gerangan yang sebegitu rupa mendorong orang berbondong-bondong dan mematut-matut diri menjadi calon bupati, atau calon walikota, atau calon gubernur. Jadi kepala daerah kini, bukanlah era Said Mengga jadi bupati di pelosok Sulawesi: ongkos bertahta tak mahal-mahal, resiko jabatan tak seram-seram.
Bayangkanlah, semenjak pemilihan langsung digelar seusai, sedikitnya sekitar 350 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Mereka menjadi tersangka di kejaksaan dan KPK. Data statistik yang menggetar dan menggentarkan!
Angka 350 dari 524 kepala daerah adalah 60 persen. Lebih dari separoh. Artinya, kemungkinan seorang kepala daerah terpilih masuk penjara adalah 60 persen!
Saya percaya, setiap zaman punya tantangan dan tabiatnya sendiri. Mereka yang dulu tersandung masalah, mungkin memang sedang sial berada di zaman gelap kelakuan dan jalan terang pemberantasan korupsi.
Adapun mereka yang maju di Pilkada Serentak 2020 ini telah mendapatkan begitu banyak contoh dan pelajaran, juga telah paham benar rupa-rupa batu sandungan.
Ini zaman, memang bukan zaman Said Mengga!
Sumber: FB Tomi Lebang