“Harga tanah di sini sudah 500 ribu per meter, kalau yang agak dalam-dalam, harganya 400 ribu per meter.” Sofyan, warga Desa Bontolanra, Galesong Utara, Takalar
PELAKITA.ID – Klaners Gowes Community (KGC) seperti enggan mengistirahatkan kaki untuk bersua pedal meski agenda gathering dan gowes di Eremerasa dan Rombeng masih seminggu lagi.
Acara KGC bike touring dan rekreasi a la Klaners di dua destinasi wisata Bantaeng itu akan digelar tanggal 26 hingga 27 September 2020. Ada yang minat ikut? Eh!
“Gowes tipis,” kata Boger, salah seorang anggota KGC di grup Whatsapp saat saya merasa terpanggil untuk ikut serta.
Maka jadilah. Pukul 6.30, tanggal 19 September 2020, saya berangkat dari rumah di Tamarunang untuk menunggu beberapa anggota KGC yang sepakat memilih ‘tikum’ di Rumah Makan Kios Aroma Perbatasan Gowa-Makassar.
“Bawaki pisang, pakai masker, jangan dipaksa,” pesan istri saat melepas suaminya meninggalkan Tamarunang. Saya pun kayuh sepeda perlahan menyusuri sempadan Jeneberang ke barat.
Sembari menunggu di atas jembatan, saya memotret beberapa titik di sekitar batang sungai. Kendaraan belum banyak. Warung Pallubasa di mulut jembatan yang biasanya ramai kali ini hanya didatangi dua motor.
Saya memajukan sepeda, tepatnya bergeser ke selatan, perlahan. Rencananya mau beli kacamata sport pada penjual tepi jalan biar kece. Tidak terasa jarak semakin jauh, tak ada penjual kacamata yang buka.
“Saya tunggu mereka di Kalukuang deh,” batinku.
Pasar kaget di Poros Pallangga terlihat ramai. Dari menit ke menit kendaraan semakin ramai. Kurang lebih 30 menit, saya sampai di belokan arah Kalukuang. Yang saya ingat, KGC akan Gowes pada rute RM Aroma – Sungguminasa – Kalukuang – Beba Galesong. Inilah yang saya ikuti.
Saya berbelok ke kanan, menuju poros Kalukuang – Beba. Poros tradisional ini sudah saya kenal sejak masih kanak-kanak. Di poros ini nampak stasiun relay RRI, hamparan sawah dan lansekap Gowa yang lempang berlatar gunung Bawakareng dan Lompobattang di timur.
Tak terasa saya semakin jauh hingga Pakkabba, Galesong Utara, Takalar. “Di manamaki?” tanya istri via WA. Pesan itu masuk saat sata beristirahat di SPBU Batu-batu dan di situ pula saya kirim pesan kalau menunggu tim KGC di Batu-batu.
Di Batu-batu, saya mengingat beberapa realitas di sepanjang Poros Kalukuang – Pakkabba tadi. Bangunan-bangunan baru sudah banyak berdiri di sepanjang jalan. Perumahan baru, papan iklan jual tanah, penimbunan sawah, tumpukan sampah dan saluran air yang mati.
https://www.instagram.com/p/CFTPz_Dn-XEgubwkatHEHwPz7JU7wIsXVjGIW00/
Musim kering seperti ini membuat kawasan ini kerontang. Meski beberapa bagian menawarkan warna hijau karena ada yang menanam padi, atau mengisi sawah dengan mesin pompa. Saya sempat kepikiran.
“Untuk apa ada Dam Bili-Bili kalau petani Gowa dan Takalar harus mengeluarkan uang demi air? Kenapa membangun atau rehab irigasi setiap tahun sementara banyak yang tidak berfungsi?” Batinku lagi.
“Harga tanah di sini sudah 500 ribu per meter, kalau yang agak dalam-dalam, harganya 400 ribu permeter,” kata Sofyan, warga Bontolanra Galesong Utara yang pagi itu sedang menyaksikan pekerja menanam benih padi di sawahnya. Dia punya lahan seluas 500 meter persegi di Pakkabbba.
Saya sempat posting foto di Pakkabba via Instagram, tentang lahan dan harapan agar Pemda Gowa dan Takalar tidak serampangan izinkan konversi lahan.
“Ini tanah yang dibeli orang tua,” kata pegawai di salah satu dinas di Pemda Gowa ini. Dia juga menawarkan kalau rumah-toko yang ada di samping sawahnya yang ditanami pagi itu.
Setelah kurang lebih 15 menit di Batu-Batu, saya bertanya dalam hati. “Kenapa mereka belum melintas ya?” “Jangan-jangan mereka tidak lewat Batu-Batu.”
Betul saja. Tidak lama setelah itu, muncul Acil Bulukumba dari arah selatan. Saya teriak. “Oiii…”.
Acil si ‘Super Sekali’ ini berhenti, dan dari dia saya baru tahu kalau mereka berbelok di pertigaan Moncobalang (Jadi ingat Habil).
Lalu satu persatu mereka berdatangan dari selatan, dengan gagahnya. Ada Boger, Choeba, Idol…
“Saya terus ke Galesong nah, mau ketemu ibu,” kataku ke Acil sebelum mereka ngowes ke Makassar via Barombong. Setelah mengayuh sepeda kurang lebih 10 menit, ban sepeda kempes. “Matemija!”.
Saya dorong sepeda hingga Campagaya dan mampir beli kacamata. Untung juga sebab penjualnya ramah dan menawarkan pompa tangan untuk saya bisa mengisi angin. Sepeda bisa saya kayuh hingga Kalongkong sebelum singgah untuk pengisian kedua di bengkel dan tambal ban – pertolongan sementara tahap dua.
Saya beruntung sebab sepeda bisa masuk Desa Pa’lalakkang – ini berarti sudah dekat rumah ibu di Kampung Jempang. Lantaran melihat penjual Es Mataram sudah buka di Pa’lalakkang, saya hentikan sepeda dan pesan es yang isinya buah-buah, roti dan gel agar ini.
Lega. “Di manamaki pak.” Ini pesan istri yang sudah tiba di Jempang, di rumah ibu.
“Singgah minum es. Bocor haluski sepedaku. Jemputka.”
___
Penulis: K. Azis
Tamarunang, 19 September 2020