PELAKITA.ID – Ridwan Mulyana, Direktur Perizinan dan Kenelayanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP menegaskan bahwa proses perizinan sangat berkaitan dengan potensi sumber daya ikan. Dia menyebut hal tersebut dengan mengutip bahwa stok ikan nasional pertahun mencapai 12,5 juta ton.
“Nah, ini bagaimana supaya perikanan usaha tangkap ini berlanjut, salah satunya dengan memperhatikan agar tingkat pemanfaatan tidak melebih stok sebesar 80 persen,” ucapnya saat menjadi pembicara pada Sosialisasi Program Prioritas Perikatan Tangkap 2020, 13 Juli 2020 via Zoom dan Youtube.
Dari SDI ke perizinan
Hal lain yang disampaikannya adalah bahwa pemanfaatan sumber daya ikan ini sesuai dan dikaitkan dengan aturan-aturan. “Ukuran kapal juga mempengaruhi, ukuran kapal, daya jelajah, wilayah operasi, WPP dan alat tangkap. Ini pula yang menjadi concern dalam hal perizinan.”
“Kita perlu inovasi agar berusaha lebih mudah dan perizinan semakin baik. Pemetaan potensi sumber daya ikan di NKRI pada 11 WPP sudah dipetakan pada kondisi berapa stok, juga sebaran nelayan, dan armada kita,” ucapnya lagi.
Ridwan menjelaskan bahwa sesuai dengan aturan yang ada perizinan perikanan tangkap disesuaikan dengan aturan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, kewenangan oleh pusat, dan kewenangan provinsi, pusat menetapkan di atas 12 mill dan di atas 30 GT.
“Kewenangan ada di pusat, perlu diestimasi stok ikan nasional atau perhitungan stok harus menyeluruh. Di NKRI tidak bisa parsial, pusat dan daerah, perlu harmonisasi terkait dengan perhitungan dan penentuan stok sumber daya ikan dan alat tangkap,” ucapnya.
Dia juga menjelaskan tanggung jawab provinsi yang meliputi ukuran kapal di bawah 30 GT dan di bawah wilayah 15 mil. Prosedur SIUP, SIPI dan SIKPI. Beberapa hal yang dikaitkan dengan keluanya izin berkaitan dengan alat tangkap dan peruntukannya termasuk laporan SKU dan LKP.
Capaian SILAT
Ridwan secara gamblang menjelaskan perbandingan situasi dan capaian setelah penerapan aplikasi SILAT atau sistem informasi izin layanan cepat, pada pelucnuran di bulan Desember 2019.
“Boleh kita melihat bahwa kurang lebih 3 masa, sebelum tahun 2018, pada 2018 dan 2019 sudah ada aplikasi elektronik dan saat ini tahun 2020,” katanya.
“Sampai sekarang sangat signifkan perubahannya. Kalau di 2018, pelaku usaha perikanan harus datang ke kantor KKP, mnimal 4 kali bolak-balik, pelaku usaha melapornya luar biasa,” katanya.
Apa yang disebutkannya tersebut meliputi masa pendaftaran, pembayaran pungutan, penyerahan bukti bayar hingga pada saat pengambilan blanko. Hal yang membebani pengusaha.
“Bisa 4 kali mereka datang. Pada 2018-2019 bisa dikurangi hanya 2 kali saya, memasukkan dokumen dan mengambl izin blanko. Sudah ada terobosan, sudah ada portal perizinan KKP,” katanya.
“Kidak perlu datang, di SILAT 2019 saat ini kami pastikan tidak perlu datang ke KKP bahkan semua proses perizinan elektronik. Tidak perlu bertatap muka, tidak perlu menggunakan blanko kertas yang tebal,” katanya sambil menyebut bahwa dengan sistem ini ada pemasukan dana ke negara mencapai 300 miliar.
“Saat ini sudah terbit 2962 SIPI, terbit sejak adanya SILAT, lalu ada 276 SIKPI,” sebutnya. Menurutnya, sampai Juli 2020 cukup signifikan, kalau dibandingkan periode tahun lalu, sebelum SILAT dan setelah SILAT capaian PNPB tahun lalu, mencapai 285 miliar.
Sesuai dengan ketentuan, sebagai perbandingan, untuk 1 kapal 35 GT jika membayar PNBP untuk perpanjangan sekitar 30 jutaan.
“Pada Juli ini setelah ada SILAT sudah mencapai 327 miliar,” sebutnya. Di sisi lain dia juga menyebut bahwa animo berusaha di sektor perikanan sangat tinggi. “Ini luar biasa peningkatan animo untuk terjun di usaha perikanan. Hingga saat ini sudah ada 578 permohonan,” pungkasnya.