PELAKITA.ID – Kian banyaknya kehadiran hiu paus di perairan Indonesia tak hanya menimbulkan rasa penasaran tentang situasi ekosistem asal tetapi juga seberapa siap habitat tujuannya.
Demikian juga sangkaan bahwa migrasi hiu paus ini ini berkaitan perubahan iklim hingga akan melahirkan perilaku buruk warga yang menemukannya di sekitar tepi pantai. Bukan rahasia lagi kalau hiu paus sudah lama menjadi incaran nelayan, untuk dikonsumsi dagingnya seperti di beberapa wilayah Indonesia Timur.
Belakangan ini, hadirnya hiu paus seperti di perairan Botubarani Gorontalo, Kwatinsore di Teluk Cendrawasih hingga Labuan Jambu di Teluk Saleh dianggap berkah bagi warga setempat karena bisa menjadi daya tarik wisata bahari.
Ribuan warga telah datang menikmati hiu paus dan memberi dampak ekonomi bagi kawasan. Termasuk bagaimana dia menjadi aset wilayah dan menjadi obyek wisata dan usaha desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Meski demikian, beberapa pakar mengingatkan bahwa fenomena ini bisa menjadi persoalan pelik jika tak ada protokol ketat. Peringatan ini salah satunya disampaikan oleh Dr Ahmad Bahar, akademisi Unhas yang merupakan pakar kepariwisataan bahari.
Dr Ahmad menyampaikan itu saat menjadi narasumber pada webinar yang digelar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Unhas terkait dimensi kepariwisataan hiu paus sebelum dan setelah pandemi pada 20 Juni 2020.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini tekait kecenderungan pemanfaatan hiu paus tidak bisa dipisahkan dari perkembangan wisata bahari di Indonesia secara umum.
“Mulai dari bagaimana memandang hiu paus sebagai biota kharismatik serta bagaimana para pihak harus menjawab tantangan prinsip keberlanjutan wisata hiu paus,” katanya.
Sebagaimana dikutip dari beberapa pakar biologi laut, makanan hiu paus adalah zooplankton, telur ikan, ikan-ikan kecil beruuran 0,5 hingga 20 cm. Jadi wajar jika kehadiran hiu paus dapat dilihat pada bagan ikan (liftnet) seperti di Teluk Saleh dan di Botubarani.
“Hewan ini reproduksinya ovovivivar dengan jumlah sekitar 300 ekor, umur bisa lebih dari 130 tahun. Mereka dewasa pada usia 25 tahun dengan ukuran variatif 18,1 m untuk jantan dan 19,6 m untuk betina. Beratnya di atas 34 ton,” katanya.
“Tinja hiu paus bisa mencapai 304 linter dan dapat berenang sejauh 1.219 meter, dan bisa bermigrasi dengan jarak sejauh 6.536 kilometer,” tuturnya.
Menurut catatan Dr Ahmad Bahar, di Pakistan, hiu paus pernah ditemukan tertangkap dengan ukuran panjang mencapai 13 meter. Dengan ukuran yang sangat besar tersebut, hiu paus menjadi daya tarik wisata, di manapun dia berada.
Trend wisata bahari
Dr Ahmad Bahar menyinggung bahwa perlu pula memahami perkembangan wisata bahari dari waktu ke waktu sebagaimana ditekankan oleh Orams (1999), yaitu suatu upaya untuk memanfaatkan lingkungan pesisir melalui tiga dimensinya yaitu 3S Sea, Sun, Sand.
“Lalu ada wisata massal, ini bisa dilihat dari ekosistem pesisir seperti daya tarik terumbu karang. Lalu ada tipe mengelompok seperti pada cruise. Lalu ada pada jenis atau spesies biota Laut. Ada pula minat khusus yaitu melibatkan kelompok kecil melalui wisata liveboard atau dive operator,” jelasnya.
Khusus untuk wisata pada jenis atau spesies biota laut seperti hiu paus, ini berkembang belakangan tetapi siapapun harusnya tahu tentang aspek biologi hiu paus ini.
Menyinggung potensi pengembangan wisata hiu paus di Indonesia, Dr Ahmad Bahar menyebut bahwa ini tidak bisa dilepaskan dari potensi, daya tarik atau gambaran umum valuasi ekonomi sumber daya kelautan untuk pengembangan pariwisata.
“Sebagai perbandingan, valuasi ekonomi pariwisata di di Maldive mencapai US$ 58 juta sementara di Palau Pasifik mencapai US$ 18 juta, di Australia US$ 25,5 juta sementara di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 49 juta, bandingkan dengan Malaysia US$ 9,8 juta. Ini termasuk nilai dari perjalanan dan hotel,” katanya.
Dia juga membandingkan bagaimana perkembangan kepariwisataan ‘berbasis hiu’ di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1970-an.
“Di antara tahun 1974 hingga 1975 mulai ada gagasan perlindungan hiu. Tahun 1987 hingga 1984 publik sudah tahu bahwa tidak semua hiu berbahaya. Antara tahun 1985 hingga 1992 sudah sampai pada bagaimana memberi makan, berfoto, berenang bersama hiu,” katanya,
“Lalu antara tahun 1993 hingga 1998, saat orang-orang menemukan hiu paus, mereka mulai berpikir bagaimana memberi makan dan bersama mereka. Penyelaman di sekitar area hiu sudah mulai dilakukan dan di antara tahun 1998 hingga 2020, bagaimana manusia memberi perlindungan pada hiu, apa bisa membantu pelestarian hiu?” sebutnya.
Sesuai pengalaman dan temuannya, para wisatawan adalah ancaman serius atas keberlanjutan wisata hiu paus ini. Terkait hiu paus ini, pada trend dan kehadirannya di daerah pesisir laut, dia mengambil contoh bagaimana kehadiran hiu paus di Perairan Botubarani, Gorontalo.
“Terkait kemunculan hiu paus, jumlah kemunculan hiu paus antara Januari hingga April sangat kecil, puncaknya, di antara April hingga Oktober. Lalu berkurang jelang musim barat, hujan. Antara tahun 2016 hingga 2019 ada tidak kurang 30-an ekor hiu paus di antara bulan Juli hingga September di kawasan ini,” ungkapnya.
Dia menyebut bahwa kedatangan hiu paus ke Botubarani juga memunculkan persoalan, banyak warga yang serampangan saat berada di dekat hiu paus, membawa sampah plastik dan ini bisa mengganggu biota laut raksasa itu. “Bisa jadi mereka akan pergi kalau terus menerus terganggu,” katanya.
Ke depan, terkait pemanfaatan kehadiran hiu paus di pesisir dan laut terdekat, padai beberapa perairan Indonesia seperti Kwatinsore di Teluk Cendrawasih hingga Teluk Saleh Nusa Tenggara Barat dia menyebutkan dua hal sebagai rekomendasinya.
“Pertama, diperlukan tata cara interaksi yang baik dengan biota tersebut. Lalu kedua, perlunya pengaturan atau perizinan bagi operator penyelaman,” tutupnya.