Salah satu pilar utama strategi ini adalah penggunaan udang bebas patogen spesifik (specific pathogen-free/SPF) guna menekan risiko wabah penyakit. Illingworth membandingkan pengalamannya di Ekuador dengan kondisi Arab Saudi.
PELAKITA.ID – Pembaca sekalian, di tahun 2024 ini, Negara Saudi Arabia masuk pada urutan ke-15 dunia sebagai produsen udang teratas mencapai 48 ribu ton.
Nah lho, bagaimana negara gurun tersebut bisa seberhasil itu? Bukankah mereka negara dengan banyak keterbasan ekologis? Bagaimana kalau kita ikuti ‘study tour’ ala Pelakita.ID kali ini?
Meski beroperasi di tepi kawasan gurun yang terpencil, National Aquaculture Group (Naqua) Arab Saudi tengah memantapkan langkah untuk menjadi salah satu produsen akuakultur terbesar di dunia.
Dalam paparannya pada Global Shrimp Forum 2023 di Utrecht, CEO Naqua Diego Illingworth memaparkan rencana ambisius perusahaan untuk melipatgandakan produksi tahunan seafood hingga mencapai 250.000 ton pada akhir dekade ini.
Operasi akuakultur Naqua berlokasi di pesisir Laut Merah, sekitar 180 kilometer di selatan Jeddah. Bermula dari fase riset pada 1980-an, Naqua kini berkembang menjadi perusahaan akuakultur terintegrasi penuh dengan lebih dari 4.000 karyawan dari 32 negara.
Saat ini, di 2025, Naqua memproduksi sekitar 60.000 ton udang dan 50.000 ton ikan per tahun, dengan komoditas utama barramundi (Asian sea bass), serta tambahan produksi tilapia laut.
Isolasi yang Menjadi Keunggulan
Meski terletak di wilayah terpencil, Illingworth menegaskan bahwa lokasi tersebut justru menjadi keunggulan strategis.
Minimnya populasi di sekitar area operasi mengurangi risiko pencemaran air, sementara ketiadaan usaha akuakultur lain di sekitarnya menekan potensi penyebaran penyakit.
Namun, kondisi ini menuntut integrasi vertikal penuh. Naqua mengelola 17 unit tambak udang, pabrik pakan, hatchery, unit induk (broodstock), keramba laut untuk ikan, fasilitas pengolahan, laboratorium, instalasi desalinasi, serta pembangkit listrik mandiri. Total listrik yang dihasilkan mencapai 50 megawatt—“cukup untuk sebuah kota kecil,” ujar Illingworth.
Integrasi ini memungkinkan efisiensi biaya produksi sekaligus menjaga mutu produk secara konsisten, yang menjadi kunci daya saing di pasar global.
Budidaya Udang Ekstensif Berteknologi Tinggi
Untuk produksi udang, Naqua mengembangkan model yang disebut Illingworth sebagai “budidaya ekstensif berteknologi tinggi.” Perusahaan mengoperasikan 500 kolam berukuran masing-masing 10 hektare, dengan kapasitas produksi hingga 60.000 ton udang per tahun.
Salah satu pilar utama strategi ini adalah penggunaan udang bebas patogen spesifik (specific pathogen-free/SPF) guna menekan risiko wabah penyakit. Illingworth membandingkan pengalamannya di Ekuador dengan kondisi Arab Saudi.
“Di Ekuador, jika satu kolam terkena white spot, itu bukan masalah besar—saya bisa panen dan masih punya banyak opsi. Di Arab Saudi, opsinya terbatas, jadi stabilitas operasi adalah keharusan,” jelasnya.
Perbaikan genetika juga menjadi fokus utama untuk menjaga daya saing dan kemampuan adaptasi udang terhadap lingkungan Laut Merah, yang mengalami fluktuasi suhu harian dan musiman.
Selain itu, Naqua menerapkan sistem produksi multi-fase untuk meningkatkan jumlah siklus panen per tahun. Seluruh kolam dilengkapi alat pemberi pakan otomatis berbasis akustik untuk memantau nafsu makan udang, serta sistem manajemen oksigen otomatis.
Karakter Laut Merah Membentuk Strategi Produksi
Laut Merah memiliki tingkat salinitas tinggi, rata-rata 42 bagian per seribu (ppt), dibandingkan kisaran normal global 30–35 ppt. Kondisi ini memberikan tantangan sekaligus keuntungan.
“Pertumbuhan udang memang tidak optimal, tetapi rasanya sangat baik dan teksturnya unggul. Selain itu, risiko pertumbuhan alga penyebab off-flavour sangat rendah. Bagi kami, ini keseimbangan yang menguntungkan,” ujar Illingworth.
Produksi ikan Naqua dilakukan di tiga lokasi dengan total kapasitas 50.000 ton per tahun. Seluruh udang dan ikan diproses di fasilitas yang berjarak maksimal 30 menit dari kolam terjauh dan hanya lima menit dari kolam terdekat, sehingga kesegaran produk tetap terjaga. Berbeda dengan wilayah seperti Ekuador yang bergantung pada pasang surut, Laut Merah memiliki rentang pasang yang minimal, memungkinkan panen dilakukan kapan saja sepanjang hari.
Saat ini, Naqua mengekspor produk ke sekitar 30 negara. Namun, pasar domestik tetap dominan, dengan 90 persen ikan dan 40 persen udang dikonsumsi di dalam negeri.
Menuju Pemain Global Akuakultur
Ke depan, ekspansi Naqua diproyeksikan akan didukung oleh Saudi Agricultural and Livestock Investment Company (SALIC), anak usaha ketahanan pangan dari Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi. SALIC tengah memfinalisasi akuisisi 42 persen saham Naqua, yang masih menunggu persetujuan regulator.
“Investasi ini sangat penting, baik bagi kami maupun bagi pemerintah. Tujuannya adalah memungkinkan kami mencapai target produksi 250.000 ton seafood pada 2030. Untuk itu, kami harus terus tumbuh,” kata Illingworth.
Target ini tergolong sangat ambisius. Sebagaimana dicatat oleh ketua sesi Gorjan Nikolik, saat ini hanya satu perusahaan akuakultur di dunia—Mowi—yang memproduksi dalam skala lebih besar.
Jika Naqua berhasil mencapai targetnya, perusahaan ini berpotensi masuk dalam jajaran dua atau tiga produsen akuakultur terbesar dunia, sekaligus membuktikan bahwa produksi seafood berskala global dapat tumbuh bahkan di lingkungan gurun yang ekstrem.
