Mencari Titik Temu Stragegis dan Perbaikan Daya Dukung Ekosistem Pesisir dan Bisnis Global
Kalau harga kita terlalu mahal, buyer tidak akan melirik. Maka kuncinya ada pada bagaimana menghitung dan menekan Harga Pokok Produksi (HPP)
Muhammad Saenong, Akademisi UMI Makassar
PELAKITA.ID – Tekanan terhadap lingkungan pesisir Indonesia kian hari semakin meningkat. Salah satu ekosistem yang paling terdampak adalah hutan mangrove, yang selama ini menjadi benteng alami pesisir sekaligus penopang produktivitas perikanan.
Di sisi lain, kebutuhan akan sumber protein—khususnya dari wilayah pesisir—terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan permintaan pasar.
Pertanyaan mendasarnya adalah: bagaimana menemukan keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan pangan? Jawaban atas dilema ini tidak bisa lagi bersifat normatif. Dibutuhkan pendekatan ilmiah, teknologi tepat guna, dan praktik budidaya yang adaptif terhadap daya dukung ekosistem.
Isu inilah yang menjadi fokus Webinar ISPIKANI Sulawesi Selatan bertajuk “Peningkatan Produksi Udang Windu Berbasis Ekosistem” yang digelar pada 24 Desember 2025, pukul 08.30–11.00 WITA.
Forum webinar yang dibuka oleh Ketua ISPIKANI Sulawesi Selatan Prof Syafruddin ini mengupas tantangan dan peluang budidaya udang windu yang tidak hanya mengejar produksi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologiS.
Paparan Hendra Gunawan dari ATINA
Hendra Gunawan, narasumber pada webinar ini memaparkan proses satu siklus utuh manajemen kesehatan udang berbasis ekosistem, yang menekankan pentingnya perencanaan, pencegahan, dan mitigasi risiko pada setiap tahapan budidaya.
Hendra menyebut, kesehatan udang tidak berdiri sendiri, melainkan sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan dan ketepatan manajemen tambak.
”Tahap pertama adalah persiapan lahan, yang menjadi fondasi seluruh proses budidaya. Pada fase ini, petambak melakukan perbaikan dan pematangan lahan, memastikan pengeringan dasar tambak cukup, mengaplikasikan kapur secara proporsional, serta melakukan pembasmian hama. Persiapan yang baik bertujuan menekan sumber penyakit sejak awal dan menstabilkan kondisi tanah tambak,” paparnya.
Dia melanjutkan, tahap kedua adalah pengisian air, yang dilakukan secara bertahap. Air tidak hanya diisi, tetapi juga dikelola melalui aplikasi dolomit untuk menstabilkan pH, serta pemberian probiotik dan molase selama masa budidaya.
Langkah ini, ujar Hendra, penting untuk membangun kualitas air yang mendukung pertumbuhan udang dan aktivitas mikroorganisme menguntungkan.
“Tahap ketiga adalah tebar benih. Pada fase ini, kualitas benih menjadi penentu utama keberhasilan. Benih yang dipilih harus sehat, berasal dari induk unggul, melalui proses adaptasi sebelum ditebar, dan diutamakan benih tokolan yang telah terbukti ketahanannya. Penebaran benih dilakukan dengan kehati-hatian untuk mengurangi stres awal,” ucapnya.
Selanjutnya, kata Hendra, dilakukan pemantauan kesehatan udang secara rutin. Petambak melakukan pemeriksaan visual, memantau pertumbuhan dan kondisi udang, serta berkonsultasi dengan pendamping atau tenaga teknis jika ditemukan gejala tidak normal. Pemantauan ini menjadi sistem peringatan dini terhadap potensi kegagalan budidaya.
Dia juga menyoroti akibat perubahan lingkungan, seperti meningkatnya amonia, menurunnya oksigen terlarut, kondisi dasar tambak yang kotor, fluktuasi parameter air, serta pengaruh cuaca. ”Jika tidak dikelola, kondisi ini dapat memicu stres hingga kematian udang,” ucapnya.
Sebagai respons, ujar Hendra, diterapkan manajemen lingkungan, antara lain melalui aplikasi dolomit setelah hujan, pemberian probiotik secara berkala, pergantian air bila diperlukan, serta penggunaan pompa atau aerasi untuk meningkatkan kadar oksigen.
Manajemen ini bertujuan mengembalikan keseimbangan ekosistem tambak.
Hendra juga menunjukkan dampak penyakit, seperti bintik putih dan kekeruhan air, yang dapat menyebabkan kematian udang setiap hari jika tidak ditangani.
”Ketika udang mati ditemukan di tambak, petambak harus segera mengidentifikasi penyebabnya—apakah akibat lingkungan atau penyakit—sebelum mengambil keputusan lanjutan,” kata Hendra.
Tahap akhir yang disorot Hendra adalah panen, yang direncanakan dengan mempertimbangkan cuaca ekstrem, suhu dingin, kondisi pertumbuhan udang, harga pasar, serta ketersediaan pakan alami.
”Panen dapat dilakukan total bila risiko semakin tinggi. Air tambak dikelola dengan baik, termasuk aplikasi dolomit sebelum dibuang ke sungai, sebagai bentuk tanggung jawab lingkungan,” tegasnya.
Hendra menegaskan bahwa budidaya udang (windu) yang sehat adalah hasil dari manajemen terpadu—bukan hanya soal pakan dan benih, tetapi juga tentang membaca tanda-tanda lingkungan, bertindak cepat, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
”Pendekatan inilah yang menjadi kunci keberlanjutan produksi udang windu di tengah tekanan lingkungan dan tantangan pasar,” kuncinya.
Daya Saing Global Lemah
Pembicara berikutnya, Ir. Muhammad Saenonong, M.S, akademisi UMI, memaparkan realitas daya saing udang Indonesia di pasar global.
Menurutnya, harga udang Indonesia saat ini relatif lebih tinggi dibandingkan negara produsen utama seperti Vietnam dan Ekuador. Bahkan, selisih harga bisa mencapai 0,4–0,7 dolar AS per kilogram, membuat buyer global cenderung melirik negara dengan biaya produksi lebih rendah.
“Kalau harga kita terlalu mahal, buyer tidak akan melirik. Maka kuncinya ada pada bagaimana menghitung dan menekan Harga Pokok Produksi (HPP),” jelas Saenong.
Strategi utama yang ditawarkannya adalah meningkatkan survival rate (SR) dan mempercepat pertumbuhan udang, sehingga efisiensi produksi bisa dicapai tanpa harus meningkatkan kepadatan secara berlebihan.
”Dalam konteks budidaya udang windu tradisional dan semi-intensif, Saenong menekankan bahwa kepadatan rendah—sekitar 5 ekor per meter persegi—masih sangat potensial jika dikelola dengan baik,” ujar Saenong.
Sebagai contoh, dengan satu kali panen mencapai 500 kilogram dari 10 ribu ekor ditebar atau lebih, keuntungan relatif masih bisa diperoleh, asalkan daya dukung tambak dijaga dan manajemen kualitas air berjalan optimal.
Saenong menambahkan, salah satu kendala utama di lapangan adalah keterbatasan infrastruktur, terutama listrik.
”Banyak petambak menghadapi kesulitan mengoperasikan aerator atau alat bantu lainnya. Alternatif yang kerap digunakan adalah elpiji, meski memiliki konsekuensi pada keawetan mesin. Penggunaan gas pada malam hari—khususnya pukul 23.00 hingga pagi—biasanya menghabiskan sekitar 4–5 liter, namun dinilai masih lebih terjangkau dibandingkan BBM,” jelasnya.
Saenong juga menyoroti pentingnya demonstrasi teknologi di lapangan. Menurutnya, petambak akan lebih mudah menerima inovasi jika mereka melihat langsung cara kerja alat dan dampak positifnya.
“Kalau dijelaskan saja sering lambat. Tapi kalau mereka melihat alat itu bekerja dan hasilnya lebih baik, tanpa diajak pun mereka akan ikut,” ujarnya.
Pendekatan berbasis ekosistem menjadi benang merah diskusi. Daya dukung tambak harus dihitung secara cermat, termasuk dengan memanfaatkan temuan-temuan ilmiah, seperti hasil penelitian Bahtiar di Wajo, yang menekankan pentingnya menyesuaikan kepadatan dan input produksi dengan kapasitas alami lingkungan.
Pembaca sekalian, webinar ini menegaskan bahwa masa depan udang windu Indonesia tidak terletak pada eksploitasi berlebihan, melainkan pada efisiensi, inovasi, dan keberlanjutan.
Dengan menekan HPP, meningkatkan SR, dan menjaga ekosistem mangrove sebagai penyangga utama pesisir, budidaya udang windu masih memiliki ruang besar untuk tumbuh—tanpa mengorbankan lingkungan.
Di tengah tekanan global dan krisis ekologis, pendekatan berbasis ekosistem bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Dari pesisir Sulawesi Selatan hingga pesisir Kalimantan, diskusi yang digelar ISPIKANI Sulawesi Selatan ini mengingatkan bahwa keberlanjutan dan ketahanan pangan hanya bisa berjalan beriringan jika ilmu pengetahuan bertemu dengan praktik lapangan.
Penulis Denun
