Jejak Sunyi Seorang Guru di Jalan Panjang Pemberdayaan
Kami sering bertandem dalam berbagai pelatihan, di banyak daerah. Dari ruang kelas sederhana, balai desa, hingga forum-forum nasional. Beberapa kali saya diajak ke Jakarta, mengikuti berbagai kegiatan. Dari Kak Sufri, saya memperoleh bekal intelektual dan moral yang kelak mengantar saya terlibat dalam berbagai program nasional.
Oleh: Muliadi Saleh
PELAKITA.ID – Pagi ini kabar itu datang tanpa aba-aba. Seperti embun yang jatuh terlalu cepat dari daun yang masih ingin menahan malam. Dari Kanda Warno—sahabat kami—saya mendengar berita yang membuat dada sesak: Kak Sufri Laude telah berpulang.
Sejenak waktu seperti berhenti. Ingatan saya berjalan mundur, jauh ke akhir 1990-an hingga awal 2000-an, masa ketika dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia—termasuk di Makassar, Sulawesi Selatan—sedang bertumbuh pesat: penuh idealisme, gairah belajar, dan semangat perubahan.
Pada masa itu, LSM bukan sekadar lembaga. Ia adalah ruang belajar, arena perlawanan nilai, sekaligus madrasah etika. Salah satu poros pentingnya adalah LP3M—Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai, dan Masyarakat. Dan di sanalah nama Sufri Laude menjadi rujukan—alamat intelektual dan moral bagi banyak aktivis muda.
Kami memanggilnya Kak Sufri—panggilan yang melampaui soal usia. Ia adalah kakak dalam makna etis, sahabat seperjalanan, dan guru dalam arti yang paling dalam.

Dari beliaulah saya pertama kali mengenal dunia LSM secara utuh: bukan sebagai proyek, melainkan sebagai jalan pengabdian.
Di LP3M, saya belajar bahwa pendampingan masyarakat bukanlah intervensi, melainkan perjumpaan.
Saya mengenal Participatory Rural Appraisal (PRA), pelatihan partisipatif, teknik fasilitasi, hingga seni mendengar suara paling lirih dari warga. Kak Sufri mengajarkan bahwa masyarakat bukan objek pembangunan, melainkan subjek sejarahnya sendiri.
Cara berpikir saya dibentuk di sana. Cara bertindak saya ditempa dari sana. Bahkan keberanian untuk memimpin tumbuh dari kepercayaan yang beliau berikan.
Saya masih mengingat ketika Kak Sufri menunjuk saya sebagai Team Leader Program Pengembangan Kecamatan (PPK)—sebuah amanah besar bagi aktivis muda kala itu. Ia percaya, dan kepercayaan itu menjadi energi yang tak pernah habis.
Kami sering bertandem dalam berbagai pelatihan, di banyak daerah. Dari ruang kelas sederhana, balai desa, hingga forum-forum nasional. Beberapa kali saya diajak ke Jakarta, mengikuti berbagai kegiatan. Dari Kak Sufri, saya memperoleh bekal intelektual dan moral yang kelak mengantar saya terlibat dalam berbagai program nasional.
Puluhan tahun kemudian, takdir berkelakar dengan cara yang indah. Setelah lama bermukim di Jakarta, saya kembali ke Makassar.
Tanpa direncanakan, saya memilih rumah yang ternyata berada di kawasan yang sama dengan Kak Sufri. Seolah hidup ingin menutup lingkarannya dengan penuh makna.
Kami kembali berinteraksi—lebih sunyi, lebih spiritual. Hampir setiap hari bertemu di masjid kompleks. Jalan kaki ke masjid adalah kebiasaannya. Pikiran-pikirannya tetap tajam, daya kritisnya tak tumpul oleh usia. Idealisme LSM masih hidup di tubuhnya—bersih dari kepentingan, jernih dari pamrih.
Beberapa bulan terakhir saya jarang melihatnya—sekitar enam bulan. Namun di grup WhatsApp, ia masih aktif: memberi komentar, mengirim refleksi, merespons isu dengan kejernihan khasnya. Hingga pagi ini, kabar itu datang dan menutup semua kemungkinan pertemuan duniawi.
Dunia LSM berduka.
Kami kehilangan penjaga nilai, guru sunyi, teladan keikhlasan.
Seorang sufi pernah berkata:
“Manusia yang paling hidup adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesama.” (Makna ajaran Jalaluddin Rumi)
Kak Sufri telah hidup dengan cara itu. Manfaatnya menjalar dalam pikiran, metode, dan keberanian banyak aktivis yang pernah disentuhnya. Amal baiknya menjadi jalan panjang yang terus dilalui orang lain.
Selamat jalan, kakak, sahabat, dan guru sejati.
Kami kehilangan raga, tetapi jejakmu tinggal.
Dunia LSM berduka, namun sejarah mencatatmu dengan tinta yang tak mudah pudar.
Selamat jalan, Kak Sufri Laude.
Semoga langkah-langkahmu diterima sebagai ibadah,
dan ilmu yang kau tanam tumbuh menjadi pahala yang terus mengalir.
Editor Denun
