PELAKITA.ID – Di tengah meningkatnya tekanan lingkungan di wilayah pesisir Indonesia, kisah tentang tumbuhan lamun di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, menghadirkan narasi yang tidak biasa.
Lamun—tumbuhan laut tingkat tinggi yang memiliki akar, rimpang, dan daun sejati—umumnya dikenal tumbuh optimal di perairan jernih dengan cahaya yang melimpah. Namun penelitian yang dilakukan oleh Dafiuddin Salim, di bawah bimbingan Rohani Ambo Rappe, Supriadi, dan Nadiarti Nurdin Kadir, justru menunjukkan bahwa lamun di Tanah Bumbu mampu bertahan dan beradaptasi di perairan keruh yang secara ekologis menantang.
Lamun memegang peran penting dalam ekosistem pesisir. Ia menjadi habitat dan tempat pembesaran berbagai biota laut, menstabilkan sedimen, meredam energi gelombang, serta berkontribusi pada penyerapan karbon biru. Namun keberadaannya sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Faktor-faktor seperti kedalaman perairan, jenis dan ukuran substrat, kandungan bahan organik, suhu, ketersediaan cahaya dan nutrien, salinitas, hingga tingkat kekeruhan air sangat menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya.
Keunikan Lamun Tanah Bumbu
Berdasarkan studi pendahuluan, habitat lamun di Kabupaten Tanah Bumbu ditemukan di tiga tipe perairan: perairan laut, perairan selat, dan perairan tambak. Temuan ini tergolong unik, karena memperlihatkan kemampuan adaptasi lamun pada kondisi perairan dengan tingkat kekeruhan tinggi.
Keunikan lain yang sangat penting secara ilmiah adalah ditemukannya lamun dari genus Ruppia, khususnya Ruppia brevipedunculata—spesies yang di beberapa perairan Indonesia bahkan dianggap telah punah atau sangat langka.
Kondisi inilah yang mendorong penelitian lebih mendalam, guna mengisi kesenjangan pengetahuan tentang ekologi lamun di perairan Kalimantan Selatan, sekaligus memperkaya pemahaman nasional mengenai ketahanan ekosistem lamun di lingkungan ekstrem.
Pendekatan Penelitian yang Menyeluruh
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksploratif-deskriptif, dengan memadukan teknologi penginderaan jauh dan survei lapangan. Citra satelit dan drone dimanfaatkan untuk menganalisis luasan habitat lamun serta dampak konversi lahan di daerah aliran sungai (DAS) terhadap kondisi pesisir.
Survei lapangan dilakukan untuk mengamati langsung kondisi vegetasi lamun, serta mengambil sampel air, sedimen, dan jaringan lamun.
Analisis laboratorium selanjutnya digunakan untuk mengukur kualitas air dan sedimen, serta melakukan analisis genetik pada Ruppia brevipedunculata, yang dikonfirmasi sebagai spesies baru yang ditemukan di perairan ini.
Temuan Penting dari Tiga Tipe Perairan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat lamun di Tanah Bumbu menghadapi berbagai potensi ancaman, terutama faktor hidro-meteorologi serta peningkatan sedimentasi dan kekeruhan yang berkaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah DAS.
Secara spasial, lamun tersebar di:
-
Perairan laut seluas ± 47,29 hektare,
-
Perairan selat seluas ± 916,48 m²,
-
Perairan tambak seluas ± 28.488,5 m².
Di perairan laut ditemukan tiga jenis lamun utama, yaitu Halodule uninervis, Halophila ovalis, dan Syringodium isoetifolium. Vegetasi lamun di zona ini tergolong sensitif, dengan korelasi positif terhadap bahan organik dan pH, namun menunjukkan korelasi negatif terhadap kekeruhan dan konsentrasi nutrien yang berlebihan.
Di perairan selat, jenis Enhalus acoroides mendominasi. Vegetasi lamun di kawasan ini justru menunjukkan hubungan positif yang signifikan dengan nutrien—baik terlarut maupun dalam sedimen—serta dengan tingkat kecerahan dan tekstur lumpur.
Sementara itu, perairan tambak menghadirkan temuan paling menarik. Di zona intertidal tambak budidaya, tumbuhan akuatik bawah air teridentifikasi sebagai Ruppia brevipedunculata yang tumbuh secara monospesies. Vegetasi lamun di tambak merespons seluruh parameter lingkungan secara signifikan, dengan variasi respons antar musim.
Implikasi Ekologis dan Pengelolaan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kondisi habitat lamun di perairan laut Tanah Bumbu berada pada status relatif stabil namun mulai mengalami degradasi spesies. Sebaliknya, habitat lamun di perairan selat dan tambak masih tergolong stabil.
Temuan ini memberikan pesan penting: ekosistem lamun memiliki daya lenting ekologis, namun tetap membutuhkan pengelolaan yang bijak. Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu—yang memperhatikan hubungan hulu-hilir, penggunaan lahan DAS, dan praktik budidaya—menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan ekosistem lamun.
Lebih dari sekadar hasil akademik, penelitian ini menegaskan bahwa menjaga lamun berarti menjaga sumber penghidupan masyarakat pesisir, keseimbangan ekologi, dan kemaslahatan manusia dalam jangka panjang.
Tanah Bumbu, dengan segala keunikannya, kini menjadi laboratorium alam penting bagi masa depan pengelolaan ekosistem pesisir Indonesia.
Tentang Dafiuddin Salim
Dafiuddin Salim merupakan akademisi dan peneliti di Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan.
Ia merupakan alumni Ilmu Kelautan Unhas angkatan 1997 dan dikenal aktif dalam kajian ilmu kelautan dan pesisir, khususnya yang berkaitan dengan ekosistem lamun, mangrove, dan dinamika lingkungan perairan laut, estuaria, hingga perairan tambak. Keterlibatannya dalam dunia akademik tidak hanya terbatas pada pengajaran, tetapi juga pada penguatan basis riset kelautan di wilayah Kalimantan Selatan.
Dalam bidang penelitian, Dafiuddin Salim telah berkontribusi pada sejumlah publikasi ilmiah nasional dan internasional. Salah satu fokus penting risetnya adalah ekosistem lamun di perairan keruh, termasuk temuan dan kajian mendalam terhadap spesies Ruppia brevipedunculata di Kabupaten Tanah Bumbu.
Penelitian ini memiliki arti strategis karena memperkaya pemahaman tentang kemampuan adaptasi lamun di lingkungan ekstrem serta mengisi kesenjangan data ilmiah mengenai sebaran dan kondisi lamun di Indonesia bagian tengah dan timur.
Selain aktivitas riset, Dafiuddin Salim juga terlibat dalam berbagai kegiatan akademik dan kelembagaan, termasuk kerja sama antarperguruan tinggi dan pengembangan kapasitas institusi.
Kontribusinya mencerminkan peran akademisi yang tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga mendorong pengelolaan pesisir yang berbasis sains, berkelanjutan, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, karya-karyanya menjadi referensi penting bagi pengelolaan ekosistem pesisir Kalimantan Selatan ke depan.
Editor Denun
