Jusuf Kalla, Simbol Harapan di Tengah Bencana

  • Whatsapp
Ilustrasi Jysyf Kalla berbasis AI (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Pekan keempat bencana banjir bandang yang telah melanda Aceh dan Sumatra sekiranya telah menemui jalan yang benar dalam hal pola penanganan bencana.

Kita tidak terlambat tentunya, walaupun pada pekan pertama hingga pekan ketiga rasanya kita nyaris putus asa. Bukan hanya menyaksikan korban bencana banjir bandang yang berteriak tiada henti, memelas bantuan agar segera tiba di halaman rumah dan pengungsian mereka. Tetapi pula pada penanganan yang nyaris tanpa arah.

Kita disuguhi banyak bantuan dengan data data ratusan miliaran, mulai pangan, relawan silih berganti berdatangan, para influencer yang melaporkan dari lapangan tetapi rasa rasanya berbeda dengan kenyataan di lapangan.

Korban bencana malah tiada detik tanpa rintihan, termasuk korban tewas yang terus bertambah.

***

Ada kemajuan, iya. Pola penanganan bencana terlihat lebih rapi dibanding masa lalu. Namun di balik itu, terselip rasa gamang—apakah semua ini sungguh menjangkau mereka yang paling terdampak?

Pada pekan-pekan awal, situasi nyaris terasa di ambang putus asa. Bukan semata karena dahsyatnya banjir bandang yang tak henti meluluhlantakkan rumah dan harapan, tetapi juga karena arah penanganan yang terasa samar.

Bantuan memang berdatangan. Data bantuan mencatat angka ratusan miliar. Pangan dikirim, relawan silih berganti hadir, influencer melaporkan kondisi lapangan dari balik kamera. Namun realitas di lokasi bencana sering kali berkata lain.

Korban terus bertambah, bahkan nyawa melayang tanpa jeda, seolah waktu tidak memberi ruang untuk bernapas.

Ada jarak yang kian terasa antara laporan dan kenyataan. Antara narasi di media sosial dan kondisi di pengungsian.

Drama bencana menjadi viral, tetapi kebutuhan paling mendasar justru terhambat. Bantuan ditolak, atau tak kunjung tiba. Arah kebijakan tampak kabur.

Pernyataan pejabat dan komentar para wakil rakyat terdengar menenangkan, seakan semua dalam kendali. Namun di lapangan, pengibaran bendera putih menjadi simbol paling jujur dari keputusasaan.

Di balik statistik dan klaim keberhasilan, suara warga menggema lirih namun tajam: “Kirimi saja kami kain kafan.”

Kalimat itu bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan jeritan dari mereka yang merasa tak lagi dilihat. Bencana, sekali lagi, membuka tabir lama—bahwa di negeri ini, yang sering paling tertinggal bukan hanya infrastruktur, tetapi juga kepekaan dan keberpihakan.

Narasi ini bukan tentang menyalahkan semata, melainkan tentang mengingatkan: bahwa di setiap bencana, yang dibutuhkan bukan hanya kehadiran, tetapi ketepatan.

Bukan sekadar ramai, tetapi benar-benar sampai. Karena bagi korban, harapan tidak diukur dari viralnya bantuan, melainkan dari apakah pertolongan itu hadir tepat waktu—sebelum putus asa benar-benar menjadi akhir.

Pada penggambaran itu semua, kita jadi semakin sadar, harus ada yang hadir sebegai dirigen. Dan itu menuntun kita ke sosok Bapak Bangsa, Jusuf Kalla.

Artikel ini diinspirasi oleh tulisan Anno Orwels