Menulis sebagai Orkestrasi Ilmu, Keterampilan, dan Sikap

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: Istimewa)

Penulis: Muliadi Saleh, Esais Reflektif

PELAKITA.ID – Menjadi penulis bukan sekadar memilih kata lalu menaruhnya di atas kertas, atau mengetik cepat di hadapan layar yang bercahaya. Ia adalah profesi yang lahir dari perjumpaan panjang antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tiga pilar yang saling menopang, saling menguatkan, dan tak dapat berdiri sendiri.

Tak mungkin lahir tulisan tanpa ilmu dan wawasan. Kata-kata yang hidup selalu berakar pada pengetahuan, pada bacaan yang luas, pada perenungan yang dalam.

Seorang penulis sejatinya adalah pembelajar abadi. Ia membaca bukan untuk terlihat tahu, melainkan agar memahami dunia dengan lebih jernih.

Buku, jurnal, laporan riset, peristiwa sosial, hingga suara-suara sunyi di sudut kehidupan adalah bahan baku pengetahuan. Tanpa itu, tulisan hanya akan menjadi gema kosong, indah sesaat namun rapuh makna.

Namun pengetahuan saja tidak cukup. Tak mungkin tulisan tersaji tanpa keterampilan menulis dan merangkai kata. Ilmu yang melimpah dapat runtuh jika tak mampu diolah dengan bahasa yang jernih dan struktur yang kokoh. Keterampilan adalah jembatan antara gagasan dan pembaca.

Ia menuntut latihan, kesabaran, dan kejujuran untuk mengakui bahwa menulis adalah kerja teknis sekaligus artistik. Memilih diksi, menata alur, membangun paragraf, menjaga ritme kalimat. Semua itu adalah laku yang ditempa, bukan bakat yang turun tiba-tiba.

Di sinilah pemahaman bekerja. Penulis tidak sekadar menulis apa yang ia tahu, tetapi memahami untuk siapa dan untuk apa tulisan itu hadir. Ia membaca konteks, menangkap denyut zaman, dan menimbang dampak kata-katanya.

Pemahaman membuat tulisan tidak jatuh menjadi ceramah, tidak pula melayang tanpa pijakan. Ia menjadikan tulisan relevan, bernas, dan bertanggung jawab.

Lalu ada sikap—attitude—yang kerap luput dibicarakan, padahal justru menentukan panjang-pendek perjalanan seorang penulis. Sikap adalah kesediaan untuk konsisten, untuk hadir meski inspirasi sedang bersembunyi.

Menulis tak cukup hanya hobi yang datang dan pergi. Ia harus menjadi kebiasaan. Habit. Sebuah pilihan hidupyang setia, seperti napas yang tak menunggu suasana hati.

Konsistensi inilah yang memisahkan penulis dari sekadar pengagum kata-kata. Ada hari-hari ketika tulisan terasa kering, kalimat tersendat, dan pikiran berisik.

Di titik itu, sikap profesional diuji. Penulis sejati tetap duduk, tetap menulis, tetap menyempurnakan. Ia tahu bahwa kualitas lahir dari kuantitas yang dijalani dengan disiplin.

Profesi penulis juga menuntut kerendahan hati. Ia bersedia dikritik, disunting, bahkan ditolak. Ia memahami bahwa tulisannya bukan kebenaran mutlak, melainkan undangan dialog. Sikap ini menjaga penulis dari kesombongan intelektual dan membuatnya terus bertumbuh.

Pada akhirnya, profesi penulis adalah jalan panjang yang menuntut kesetiaan. Pengetahuan memberi isi, keterampilan memberi bentuk, dan sikap memberi arah.

Ketiganya berpadu dalam orkestrasi proses yang tak pernah benar-benar selesai. Sebab menulis, seperti hidup, adalah ikhtiar memahami—diri sendiri, sesama, dan dunia yang terus berubah.

Di sanalah penulis bekerja: merawat kata agar bermakna, menjaga kalimat agar jujur, dan menjadikan tulisan sebagai jejak pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk dihayati.