9 Pelajaran Penting dari Praktik Budi Daya Udang Dipaseno Lampung

  • Whatsapp
Kondisi Dipasena (dok: Istimewa)

Mangkraknya Dipasena bukanlah akibat satu kesalahan tunggal, melainkan akumulasi kegagalan struktural

PELAKITA,ID – Dipasena lahir dari sebuah ambisi besar. Di pesisir Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, pada pertengahan 1980-an, negara dan korporasi bertemu dalam satu gagasan: membangun kawasan tambak udang terpadu terbesar di dunia.

Proyek ini dikelola oleh PT Dipasena Citra Darmaja, bagian dari Salim Group, dan dirancang sebagai etalase keberhasilan pembangunan perikanan Orde Baru. Ribuan hektare tambak dibuka, kanal digali, jalan dan perumahan dibangun, dan puluhan ribu orang didatangkan untuk menggerakkan sebuah “kota udang” yang sepenuhnya berorientasi ekspor.

Pada awal 1990-an, Dipasena memasuki masa keemasannya. Udang windu diproduksi dalam skala besar dan dikirim ke pasar internasional. Sistem inti–plasma yang diterapkan membuat seluruh proses budidaya berjalan seragam.

Benur, pakan, obat, listrik, air, hingga pemasaran dikendalikan oleh perusahaan inti. Bagi banyak petambak plasma, masa-masa ini terasa seperti mimpi: panen melimpah, pendapatan meningkat, dan status sosial terangkat. Dipasena dikenal sebagai tambak emas, simbol kemajuan teknologi akuakultur Indonesia.

Namun di balik kemilau keberhasilan itu, tersimpan rapuhnya fondasi sistem. Ketergantungan petambak pada perusahaan inti nyaris total.

Skema utang berjalan sejak awal siklus budidaya, sementara transparansi produksi dan keuangan tidak sepenuhnya terbuka. Intensifikasi tambak dilakukan terus-menerus tanpa jeda pemulihan lingkungan. Tanah dan air bekerja di luar daya dukungnya, seolah alam tidak memiliki batas.

Titik balik terjadi ketika krisis moneter 1997–1998 melanda Indonesia. Nilai rupiah jatuh bebas, biaya produksi melonjak, dan utang petambak membengkak. Pada saat yang sama, penyakit udang seperti White Spot Syndrome Virus mulai menyerang.

Pola budidaya yang seragam dan padat justru mempercepat penyebaran penyakit. Panen yang sebelumnya melimpah berubah menjadi kegagalan berulang.

Banyak petambak mengalami apa yang mereka sebut sebagai siklus kutukan tambak: musim pertama berhasil, musim berikutnya menurun, hingga akhirnya kolaps total.

Memasuki era Reformasi, relasi inti–plasma yang sebelumnya tertutup mulai dipersoalkan secara terbuka.

Petambak mempertanyakan sistem harga, beban utang, dan pembagian risiko yang mereka anggap tidak adil.

Konflik muncul, protes terjadi, dan kepercayaan runtuh. Perusahaan inti perlahan menarik diri, meninggalkan infrastruktur yang dulu megah namun kini terbengkalai.

Sistem terintegrasi yang menjadi tulang punggung Dipasena runtuh satu per satu, menjadikan kawasan ini mangkrak secara fungsional.

Mangkraknya Dipasena bukanlah akibat satu kesalahan tunggal, melainkan akumulasi kegagalan struktural.

Model bisnis yang menempatkan petambak dalam posisi lemah, praktik budidaya yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan, tata kelola yang minim transparansi, serta ketergantungan pada satu komoditas membuat sistem ini rapuh sejak awal. Krisis ekonomi hanya mempercepat keruntuhan yang sesungguhnya sudah disiapkan oleh desainnya sendiri.

Meski demikian, Dipasena tidak sepenuhnya mati. Di antara kanal-kanal yang sunyi dan tambak-tambak yang rusak, sebagian petambak tetap bertahan.

Mereka mencoba bangkit secara mandiri, beradaptasi dengan teknologi baru, dan memperjuangkan hak-hak yang lama terabaikan. Dipasena pun berubah makna.  Ia tak lagi dipandang sebagai simbol kejayaan, melainkan sebagai pelajaran mahal tentang batas-batas eksploitasi dan pentingnya keadilan dalam pembangunan.

Sejarah Dipasena mengingatkan bahwa budidaya udang bukan sekadar soal produksi dan ekspor. Ia adalah pertemuan antara manusia, alam, dan kekuasaan.

Ketika teknologi berjalan tanpa etika, ketika skala besar meniadakan keadilan, dan ketika alam dipaksa bekerja tanpa henti, maka keruntuhan hanyalah soal waktu. Dipasena menjadi cermin, bukan untuk diratapi, melainkan untuk dipahami agar kesalahan serupa tidak terulang di masa depan.

9 Pelajaran

Kasus Dipasena memberi pelajaran pertama bahwa keberhasilan produksi tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan sistem.

Lonjakan panen dan ekspor pada fase awal menutupi fakta bahwa daya dukung lingkungan telah dilampaui. Intensifikasi tanpa jeda pemulihan, kepadatan tinggi, dan keseragaman budidaya menciptakan kerentanan ekologis yang sistemik.

Dari sini kita belajar bahwa produktivitas jangka pendek yang mengabaikan kesehatan tanah, air, dan organisme justru menyiapkan kegagalan jangka panjang.

Pelajaran kedua adalah bahwa penyakit bukan sekadar persoalan teknis, melainkan konsekuensi dari desain budidaya yang menekan alam bekerja di luar batasnya.

Pelajaran ketiga, monokultur dan keseragaman sistem mempercepat penyebaran risiko, sehingga ketika satu masalah muncul, seluruh kawasan ikut runtuh.

Pelajaran keempat menyangkut relasi kekuasaan dalam model inti–plasma. Ketergantungan total petambak pada perusahaan inti membuat mereka lemah secara posisi tawar dan rentan secara ekonomi. Skema utang, minimnya transparansi, dan pembagian risiko yang timpang menunjukkan bahwa pertumbuhan tanpa keadilan sosial tidak akan bertahan.

Pelajaran kelima adalah bahwa tata kelola yang tertutup mempercepat runtuhnya kepercayaan, dan ketika kepercayaan hilang, sistem sekuat apa pun akan rapuh. Pelajaran keenam, ketahanan usaha tidak boleh disandarkan pada satu aktor atau satu skema, karena ketika aktor utama mundur, seluruh ekosistem ikut lumpuh.

Pelajaran ketujuh datang dari krisis 1997–1998 yang menunjukkan bahwa ketergantungan pada faktor eksternal—nilai tukar, pasar ekspor, dan pasokan terpusat—membuat sistem mudah terguncang.

Pelajaran kedelapan, pembangunan skala besar tanpa mekanisme adaptasi lokal cenderung gagal menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan ekologis. D

an pelajaran kesembilan, yang paling mendasar, adalah bahwa pembangunan perikanan harus menempatkan manusia dan alam sebagai subjek, bukan sekadar alat produksi. Dipasena mengajarkan bahwa keberhasilan sejati bukan diukur dari luas tambak atau volume ekspor, melainkan dari kemampuan sebuah sistem untuk adil, adaptif, dan bertahan lintas generasi.

Sumber:

https://www.youtube.com/watch?v=xTUrzrU4DsI