Melalui peran ini, di bawah kepemimpinan Andi Tamsil, SCI turut memperkuat daya saing ekspor udang Indonesia dengan membantu pelaku usaha mengantisipasi berbagai isu global, mulai dari residu antibiotik dan ketertelusuran (traceability), hingga tantangan perubahan iklim dan penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
PELAKITA.ID – Di dunia perikanan budidaya Indonesia, nama Prof. Dr. Ir. H. Andi Tamsil, M.Si., IPM. dikenal sebagai akademisi yang konsisten mengabdikan hidupnya pada satu bidang yang sangat menentukan keberlanjutan sumber daya perairan: biologi reproduksi ikan atau udang.
Andi Tamsil lahir di Sidenreng Rappang (Sidrap), pada 12 November 1964. Dia menapaki karier panjang sebagai pendidik, peneliti, dan pemimpin akademik dengan dedikasi yang nyaris tak terputus.
Bagi pria yang juga ketua Shrimp Club Indonesia atau SCI ini, memahami bagaimana ikan (termasuk udang di dalamnya) bereproduksi bukan sekadar urusan laboratorium, melainkan fondasi penting bagi ketahanan pangan, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengembangan akuakultur berkelanjutan.
Pada pelaksanaan Lokakarya Nasional dan Peluncuran Tim Pelaksana Budidaya Udang Berkelanjutan di Banyuwangi, 10 dan 11 Desember 2025, Prof Andi Tamsil bercerita pengalaman dan misinya dalam mempromosikan budidaya udang untuk kedaulatan, keberlanjutan usaha dan jalan kesejahteraan bersama.
Menempuh Jalan Ilmu dengan Konsistensi
Fondasi keilmuan Prof. Andi Tamsil dibangun secara bertahap dan konsisten di tiga perguruan tinggi ternama. Pendidikan sarjana ia selesaikan di Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar pada akhir dekade 1980-an.
Ketertarikannya pada aspek biologis perikanan kemudian diperdalam melalui studi magister di Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin, yang diselesaikannya pada tahun 1992.
Puncak perjalanan akademiknya ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB), tempat ia meraih gelar doktor dalam Biologi Reproduksi. Rentang studi doktoralnya yang panjang (1994–2000) mencerminkan kedalaman riset yang ia tekuni, sekaligus mengukuhkan biologi reproduksi ikan sebagai bidang keahlian utamanya hingga kini.
Sebagai Guru Besar, Prof. Andi Tamsil mengampu berbagai mata kuliah strategis yang mempertemukan teori biologi dengan praktik akuakultur dan pengelolaan lingkungan perairan.
Mata kuliah seperti Biologi Reproduksi Ikan, Fisiologi Reproduksi Ikan, dan Teknologi serta Manajemen Pembenihan Ikan menjadi ruang bagi beliau untuk mentransfer pengetahuan inti kepada generasi muda perikanan.
Ia juga mengajar Rekayasa Akuakultur, Fisiologi Hewan Air, hingga AMDAL Perikanan, menunjukkan perspektifnya yang utuh—bahwa produksi perikanan harus berjalan seiring dengan pemahaman ekologis dan tanggung jawab lingkungan.
Di luar ruang kelas dan laboratorium, Prof. Andi Tamsil aktif mengambil peran kepemimpinan struktural di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2001–2005), posisi strategis dalam penguatan kelembagaan akademik perikanan di UMI.
Sebelumnya, ia juga dipercaya sebagai Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Kepala Pusat Studi Lingkungan Rekayasa Hidup (PSL), serta Kepala Laboratorium Rekayasa Biota dan Lingkungan Perairan. Saat ini, Prof. Andi Tamsil kembali mengemban amanah sebagai Asisten Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Program Pascasarjana UMI Makassar (2025–sekarang).

Ilmu untuk Keberlanjutan
Melalui pendidikan, penelitian, dan kepemimpinan akademik, Prof. Andi Tamsil menempatkan ilmu sebagai alat untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perairan Indonesia. Itulah mengapa dia tidak menampik ketika beberapa pelaku usaha budidaya udang nasional termasuk di daerah mendapuknya sebagai Ketua Shrimp Club Indonesia atau SCI.
Fokusnya pada biologi reproduksi ikan dan udang menjadi pengingat bahwa masa depan perikanan sangat ditentukan oleh pemahaman mendalam terhadap siklus kehidupan organisme air itu sendiri.
”SCI ini wahana untuk perbaikan tata kelola udang nasional, ada bagi pengalaman anggota, ada diskusi mengenai ide perbaikan dan praktik budidaya yang memberi manfaat bagi semua pelaku usaha. Termasuk pelaku skala tradisional,” ucapnya saat ditemui di Hotel Kokoon Banyuwangi.
Kehadirannya di Banyuwangi sebagai bentuk tanggung jawab SCI dalam membaca trend perkembangan budidaya udang termasuk isu konteporer seperti saat merebaknya kasus Cesium-137.
”Kasus ini membuat kita semua kalang kabut, tapi atas kerjasama, saling pengertian antarpelaku usaha dan mediasi bersama Pemerintah Pusat seperti Kemenko Pangan dan KKP membuat isu ini bisa ditangani,” kata dia.
”SCI bersama sejumlah pihak bahu membahu memberi penjelasan, motivasi berbudidaya udang agar tidak surut ketika ada masalah. Termasuk kami mengkampanyekan makan udang massal di Jakarta dan Makassar,” ucapnya.
Prof Tamsil menyebut memang ada beberapa kendala seperti kapasitas pelaku usaha, terbatasnya akses dalam dalam hal pengecekan baku mutu, pengecekan senyawa berbahaya seperti Cesium dan lain sebagainya. Tapi, mestinya itu tidak menjadi masalah ketika komunikasi dan salling pengertian antarpelaku usaha bisa terbangun,” kata dia.
”Yang juga tak kalah penting adalah pentingya kesiapsiagaan atas praktik budidaya udang hingga pada aspek pemasaran. Banyak hal yang kadang kala di luar espektasi atau tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” ucapnya.
Tentang Shrimp Club Indonesia (SCI)
SCI adalah wadah kolaborasi dan komunikasi para pelaku industri udang nasional yang bersifat independen dan non-pemerintah, dibentuk untuk mendorong tata kelola perudangan Indonesia yang berkelanjutan, berdaya saing, dan berbasis ilmu pengetahuan.
“Tujuan Utama Shrimp Club Indonesi adalah untuk menyatukan pemangku kepentingan perudangan
Meliputi petambak udang, perusahaan pakan dan benur, eksportir, akademisi, peneliti, praktisi, asosiasi, hingga pembuat kebijakan,” jelas Tamsil.
Selain itu, pihaknya juga mendorong praktik budidaya udang berkelanjutan. SCI aktif mengampanyekan pendekatan seperti Best Management Practices (BMP), Biosecurity, Climate-smart shrimp farming.
“Kami juga menggelar forum diskusi dan berbagi pengetahuan. SCI menjadi ruang bertukar pengalaman lapangan, inovasi teknologi, hasil riset, serta pembelajaran dari krisis (penyakit udang, isu residu, hingga tantangan pasar global),” tambahnya.
Dia juga menyebut termasuk di dalamnya advokasi kebijakan berbasis sains.
“Memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan perudangan selaras dengan realitas lapangan, tuntutan pasar global, dan prinsip keberlanjutan lingkungan,” jelasnya.
