Etika tanah, menurut Leopold, menuntun kita untuk memperluas rasa peduli—bukan hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada tanah, air, tumbuhan, dan binatang. Alam bukan sekadar sumber daya; ia adalah bagian dari komunitas moral yang harus kita hormati.
PELAKITA.ID – Saudaraku…Bumi sesungguhnya tidak pernah berkhianat. Ia tidak menuntut apa-apa selain dirawat, dihargai, dan dijaga seperti rumah yang kita tempati bersama. Namun tangan-tangan manusialah yang justru kerap mengkhianati—menebang tanpa menanam, membangun tanpa merawat, dan menguasai tanpa menjaga. Sungai menangis pelan ketika alirannya disumbat.
Gunung kehilangan napas ketika hutannya dirampas. Laut menjerit diam-diam ketika tubuhnya ditimbun sampah dan limbah.
Dan ketika bumi tak lagi mampu menahan luka, ia mengembalikan segala yang kita timpakan dalam bentuk banjir besar, longsor, atau badai.
Bukan sebagai hukuman, bukan sebagai balas dendam—melainkan sebagai pengingat bagi kita yang terlalu lama lalai. Pengingat bahwa setiap tindakan yang kita abaikan hari ini akan memiliki konsekuensi pada hari esok.
Namun mari kita bicara dengan hati, bukan hanya dengan amarah.
Banjir bukan sekadar fenomena alam; ia adalah cermin jiwa kita sebagai bangsa. Cermin yang memantulkan betapa mudah kita merusak, betapa sulit kita merawat. Kita lebih senang menebang daripada menanam, lebih bersemangat membangun daripada menjaga, dan lebih sibuk menguasai daripada memelihara.
Di tengah renungan ini, kita layak menengok kembali pandangan Aldo Leopold, seorang penulis dan pemikir lingkungan dari abad ke-20. Dalam karyanya A Sand County Almanac (1949), ia menulis:
“The land ethic simply enlarges the boundaries of the community to include soils, waters, plants, and animals.”
Etika tanah, menurut Leopold, menuntun kita untuk memperluas rasa peduli—bukan hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada tanah, air, tumbuhan, dan binatang. Alam bukan sekadar sumber daya; ia adalah bagian dari komunitas moral yang harus kita hormati.
Saudaraku,
Indonesia adalah negeri yang diberi karunia luar biasa: hutan yang luas, sungai yang panjang, pegunungan yang megah, dan laut yang mendamaikan. Tetapi semua karunia itu bisa hilang jika kita terus mengabaikan tanda-tanda kerusakan yang sudah jelas ada di depan mata.
Inilah saatnya berhenti menjadi penonton kerusakan yang kita ciptakan sendiri.
Inilah saatnya menanam kembali harapan, merawat sungai, menjaga hutan, dan mengembalikan hubungan kita dengan alam sebagai hubungan yang saling menjaga, saling menguatkan.
Bumi tidak membutuhkan kita untuk bertahan hidup—tetapi kitalah yang membutuhkan bumi dalam setiap tarikan napas.
Maka mari kita jaga rumah besar ini dengan sepenuh hati.
Save bumi NKRI
Karena masa depan negeri ini bergantung pada pilihan kita hari ini.
Penulis
Dr. Andi Yusran Paris dan Dr. Adi Suryadi Culla
