Gen Alpha dan Pergeseran Otoritas Konsumsi

  • Whatsapp
Ilustrasi ChatGPT, Gen Alpha

Anak-Anak yang Mengubah Cara Dunia Berbelanja

Oleh: Muliadi Saleh

PELAKITA.ID – Di ruang-ruang keluarga modern, tumbuh sekelompok kecil manusia yang begitu akrab dengan layar. Jari mereka lincah menggeser tablet, mata mereka berbinar saat menonton video unboxing, dan tanpa kita sadari, suara serta preferensi mereka perlahan mengarahkan keputusan belanja rumah tangga.

Mereka adalah Gen Alpha—generasi yang lahir setelah 2010, generasi yang tidak pernah mengenal dunia tanpa internet, Wi-Fi, dan konten video pendek.

Fenomena ini menjadi sorotan dalam sebuah tulisan menarik di Vogue, yang menggambarkan bagaimana anak-anak—bahkan yang tingginya masih sebahu meja dapur—sedang mengubah lanskap pasar global. Tanpa strategi pemasaran canggih, mereka memengaruhi dunia hanya melalui komentar polos, selera visual, dan pilihan-pilihan kecil yang kemudian viral.

Di ruang keluarga masa kini, mudah kita temukan adegan yang mencerminkan perubahan itu: seorang anak menunjuk merek sepatu karena melihatnya dipakai kreator cilik, seorang ibu menyerah pada permintaan membeli minuman dengan warna “matching aesthetic,” atau seorang ayah terkejut ketika putrinya bertanya kapan bisa berbelanja di tempat yang “kids-approved on TikTok.”

Para antropolog menyebutnya pergeseran otoritas konsumsi. Jika dahulu orang tua memegang kendali penuh atas keputusan belanja, kini keputusan itu berubah menjadi proses negosiasi halus antara kebutuhan orang dewasa dan preferensi anak-anak yang terkoneksi dengan ekosistem digital global. TikTok, YouTube Kids, dan algoritma rekomendasi menjadi kurikulum gaya hidup generasi baru.

Ilustrasi penulis dan latar Gen Alpha

Gen Alpha, tanpa sadar, tumbuh sebagai co-author ekonomi keluarga.

Dalam perspektif perilaku digital, Gen Alpha adalah generasi paling visual dalam sejarah. Mereka belajar melalui ikon dan warna sebelum huruf, mengenal brand sebelum mampu mengeja, dan menyerap gaya hidup sebagai pengalaman estetik, bukan sekadar produk.

Algoritma menyusun dunia mereka: dari tren slime dan squishy, hingga boba, fashion miniatur, dan perangkat gaming. Setiap klik anak-anak ini dipelajari dan dikembalikan dalam bentuk iklan yang semakin personal.

Muncullah pasar baru—pasar identitas, tempat anak-anak tidak sekadar membeli barang, tetapi membeli narasi tentang siapa mereka dan siapa yang ingin mereka tampilkan di ruang digital.

Fenomena ini makin menarik ketika dilihat dari perspektif budaya Nusantara. Selama berabad-abad, pola konsumsi bersifat hierarkis: orang tua memutuskan, anak mengikuti. Kini, perubahan berlangsung perlahan namun pasti.

Anak-anak menjadi kompas kecil yang menandai mana yang dianggap trendi, mana yang tertinggal, dan mana yang layak diabadikan ke dalam konten.

Dalam banyak keluarga, pilihan restoran, destinasi liburan, bahkan keputusan membeli sepeda listrik sering kali dipengaruhi oleh apa yang anak-anak lihat di feed mereka. Perusahaan besar memahami pergeseran ini; mereka merancang produk dengan warna pastel, kemasan lucu, dan pengalaman yang memancing rasa ingin tahu Gen Alpha.

Gen Alpha bukan sekadar konsumen—mereka produsen permintaan.

Namun, di balik dinamika ini muncul pertanyaan besar: apakah anak-anak sedang mengembangkan kapasitas kritis, atau justru larut dalam budaya visual yang terlalu cepat? Apakah ekonomi keluarga kini menjadi panggung bagi brand yang berlomba merebut perhatian anak? Bagaimana peran orang dewasa memastikan bahwa partisipasi tidak berubah menjadi manipulasi?

Di titik inilah tanggung jawab pendidikan dan moral menjadi penting. Dunia digital seharusnya menjadi ruang belajar, bukan sekadar ruang belanja. Algoritma harus menjadi alat, bukan penentu arah hidup. Anak-anak harus tetap tumbuh sebagai manusia, bukan sekadar target pasar.

Apa pun tantangannya, satu hal tak terbantahkan: Gen Alpha sedang membentuk dunia baru—dunia di mana belanja adalah bagian dari bahasa kebudayaan. Generasi yang tumbuh dengan video unboxing sebagai dongeng sebelum tidur, rekomendasi sebagai kompas sosial, dan kreativitas sebagai mata uang global.

Jika Gen Z adalah generasi yang mengubah cara kita bekerja, maka Gen Alpha adalah generasi yang mengubah cara dunia berbelanja. Mereka kecil, tetapi jejak digital mereka panjang; suara mereka lembut, namun gaungnya sampai ke pusat riset pemasaran dunia.

Di antara tawa, swipe kecil, dan pilihan spontan mereka, tersimpan arah masa depan: masa depan yang ditentukan oleh anak-anak—dan oleh bagaimana kita mengarahkan mereka agar tumbuh sebagai manusia merdeka, bukan sekadar konsumen.

Gen Alpha membuka pasar baru.
Tugas kitalah memastikan mereka menemukan dunia yang aman untuk tumbuh—bukan hanya untuk membeli.