Dampak Banjir Sumatera terhadap Terumbu Karang: Analisis Ekologis dari Dr. Sadarun, Pakar Terumbu Karang UHO Kendari

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Terumbu karang, khususnya polip yang hidup di dasar perairan, membutuhkan salinitas tinggi. Penurunan salinitas secara tiba-tiba akibat limpahan air tawar akan menyebabkan polip karang tidak sempat beradaptasi, sehingga memicu kematian mendadak berskala luas.

PELAKITA.ID – Terumbu karang merupakan satu-satunya ekosistem di planet ini yang hampir seluruh penyusunnya adalah hewan. Ini membedakannya dari ekosistem lain seperti mangrove atau padang lamun, yang struktur utamanya berasal dari tumbuhan.

Perbedaan mendasar inilah yang menentukan tingkat kerentanan terumbu karang terhadap gangguan lingkungan, termasuk banjir besar yang melanda Sumatra.

Demikian pandangan Dr Sadarun, pakar ekolologi terumbu karang Universitas Haluoleo, Kendari saat ditanyakan apa dampak banjir dan longsor Sumatera ke perairan di sekitar pulau itu.

Karakteristik unik terumbu karang: Ekosistem hewan nan rentan

Menurut Sadarun, tidak seperti tumbuhan di mangrove atau lamun yang masih dapat memanfaatkan sedimen kaya nutrien sebagai bahan makanan melalui akarnya, terumbu karang tidak memiliki akar dan tidak dapat memanfaatkan sedimen dalam bentuk apa pun.

“Setiap partikel sedimen yang menutupi permukaan karang tidak hanya bersifat mengganggu, tetapi dapat menjadi agen pembunuh massal, terutama bila berlangsung dalam waktu singkat dan dalam jumlah besar,” ucapanya.

Dinyatakan, karang—baik dewasa maupun anakan (juvenile)—sangat sensitif terhadap sedimentasi karena polip karang harus mempertahankan permukaan tubuhnya tetap bersih untuk berfotosintesis dan bernapas.

Bagi Doktor lulusan IPB University ini, banjir besar di Sumatra membawa lumpur dan sedimen dalam volume sangat besar yang kemudian mengalir ke perairan pesisir.

“Sedimen yang menutupi permukaan karang akan mengakibatkan kematian luas dalam waktu singkat, sebanding dengan cakupan wilayah sedimentasi. Sedimen tidak hanya menutupi permukaan karang, tetapi juga memicu stres fisiologis pada polip karang,” sebutnya.

“Tak hanya itu tetapi menyebabkan karang mengeluarkan lendir (mucus) dalam jumlah besar serta meningkatkan kerentanan terhadap penyakit seperti black band disease, white plague, dan penyakit jaringan lainnya,” imbuhnya.

Proses ini, kata dia, berlangsung cepat dan dapat memicu keruntuhan total suatu ekosistem terumbu dalam hitungan hari hingga minggu.

Kekeruhan dan hilangnya cahaya matahari

Tingginya kekeruhan air laut akibat banjir juga menjadi ancaman mematikan. Terumbu karang hidup melalui hubungan mutualistis dengan zooxanthellae, mikroalga fotosintetik yang membutuhkan cahaya matahari yang cukup. Bila kolom air menjadi keruh, penetrasi cahaya menurun drastis.

Hal demikian, menurut Sadarun, konsekuensinya sangat jelas hilangnya sinar matahari berarti hilangnya proses fotosintesis, dan akhirnya hilangnya ekosistem terumbu karang itu sendiri.

Kekeruhan kronis pasca banjir juga dapat menghambat pemulihan alami (natural recovery), karena larva karang membutuhkan kondisi terang untuk menempel dan bertumbuh.

Masuknya air tawar, ancaman kedua yang kak kalah mematikan

Selain sedimen, banjir Sumatera membawa air tawar dalam volume besar ke perairan pesisir.

“Terumbu karang, khususnya polip yang hidup di dasar perairan, membutuhkan salinitas tinggi. Penurunan salinitas secara tiba-tiba akibat limpahan air tawar akan menyebabkan polip karang tidak sempat beradaptasi, sehingga memicu kematian mendadak berskala luas,” ucapnya.

Air tawar juga mengganggu keseimbangan osmotik polip, menyebabkan jaringan rusak, bleaching lokal, dan memperbesar peluang infeksi bakteri dan jamur patogen.

Dampak jangka panjang, hilangnya rekrutmen alami dan penyakit berulang

Bila banjir terjadi berulang, dampaknya akan berlipat:

  1. Rekrutmen alami anakan karang terganggu
    Anakan karang (recruit) tidak dapat bertahan dalam kondisi sedimentasi tinggi dan salinitas rendah. Ini akan menghentikan proses pemulihan alami ekosistem terumbu.

  2. Kualitas perairan terus memburuk
    Kondisi air keruh, kaya sedimen, dan fluktuatif salinitas meningkatkan intensitas penyakit karang.

  3. Kematian yang berulang dan luas
    Setiap peristiwa banjir besar akan membawa efek “reset” negatif yang menghancurkan koloni karang sebelum sempat pulih.

Ini membuat ekosistem terumbu karang pascabanjir berada dalam kondisi apa yang disebut sebagai chronic disturbance—tekanan lingkungan terus-menerus yang membuat berbagai spesies karang kehilangan kemampuan adaptifnya.

Terumbu karang sebagai korban 

Dr. Sadarun menekankan bahwa seluruh spesies karang di wilayah terdampak akan mengalami dampak serius. Namun, kerusakan paling berat akan terjadi pada tipe fringing reef, yakni terumbu karang yang tumbuh di wilayah pesisir, perairan dangkal, dan dekat daratan besar—wilayah yang langsung menerima limpahan banjir dan sedimen.

Jenis terumbu ini merupakan sistem yang paling produktif dan menjadi habitat penting bagi ribuan spesies ikan, krustasea, dan invertebrata laut.

“Kerusakannya akan berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya produktivitas perikanan lokal, hilangnya layanan ekosistem seperti perlindungan pesisir, serta menurunnya potensi pariwisata bahari,” jelasnya.

Pembaca sekalian, pandangan Dr. Sadarun menunjukkan bahwa banjir besar seperti yang terjadi di Sumatra bukan hanya bencana bagi masyarakat daratan, tetapi juga ancaman ekologis sangat serius bagi ekosistem laut, khususnya terumbu karang.

Sedimentasi, kekeruhan, masuknya air tawar, dan munculnya penyakit karang membentuk kombinasi sempurna dari faktor-faktor mematikan yang dapat menghancurkan terumbu karang dalam waktu sangat singkat.

Bila peristiwa seperti ini berulang, terumbu karang tidak akan memiliki kesempatan untuk pulih.

Untuk itu, diperlukan langkah-langkah mitigasi berbasis darat dan laut, mulai dari pengelolaan DAS, pengendalian erosi, rehabilitasi mangrove penahan sedimen, hingga pemantauan kondisi terumbu secara berkala.

Tentang Dr Baru Sadarun

Dr. Baru Sadarun, S.Pi., M.Si., adalah salah satu akademisi terkemuka Universitas Halu Oleo (UHO) kelahiran  Raha pada 23 Juli 1971, ia dikenal sebagai pakar kelautan yang menaruh perhatian besar pada konservasi lingkungan, rehabilitasi ekosistem pesisir, dan ilmu perikanan modern.

Sadarun di rataan terumbu karang

Sebagai Lektor Kepala di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) UHO, ia telah mendedikasikan lebih dari dua dekade kariernya untuk pendidikan, riset, dan advokasi lingkungan yang berbasis sains.

Perjalanan akademiknya ditempa melalui pendidikan kelautan terbaik di Indonesia—mulai dari Sarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan di Universitas Sam Ratulangi (1995), Magister Biologi Laut di Institut Pertanian Bogor (1999), hingga meraih gelar Doktor Teknologi Kelautan dari IPB pada tahun 2011.

Karier profesionalnya mencakup pengalaman strategis di Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Kepala Seksi Rehabilitasi Ekosistem Laut, instruktur selam di berbagai organisasi internasional, serta asesor kompetensi nasional untuk terumbu karang dan penyelaman ilmiah.

Di UHO, ia memimpin sejumlah pusat penelitian pesisir dan laut, serta menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kelautan yang telah terakreditasi unggul dan berstandar internasional.

Kontribusi ilmiah Dr. Baru Sadarun tercermin dalam puluhan publikasi nasional dan internasional yang ia hasilkan, mencakup riset terumbu karang, biologi laut, penyakit karang, metabolit spons, hingga kajian farmakologi kelautan.

Selain menulis berbagai buku identifikasi karang dan pedoman konservasi yang menjadi rujukan nasional, ia juga aktif membantu pemerintah dalam penyelesaian kasus-kasus kerusakan ekosistem laut, termasuk verifikasi kerusakan karang akibat kandasnya kapal di Banten, Jawa Barat, Flores Timur, hingga Raja Ampat pada 2025.

Keahliannya menjadikannya salah satu pakar yang dipercaya menangani isu lingkungan laut berskala nasional.

Rekam jejak pengabdiannya mendapat pengakuan luas, termasuk piagam Man and Biosphere dari UNESCO–PBB dan penghargaan Peneliti Muda Terbaik di bidang penyelamatan lingkungan dari LIPI.

Dengan pengalaman akademik, profesional, dan riset yang sangat kuat, Dr. Baru Sadarun tampil sebagai figur yang tidak hanya memahami dinamika kelautan modern, tetapi juga mampu memimpin transformasi perguruan tinggi menuju era sains, teknologi, dan ekonomi biru. Tak heran, namanya kini mengemuka sebagai salah satu kandidat potensial untuk menakhodai UHO pada periode mendatang.

Editor Denun