Marquesas: Kepulauan Terpencil yang Menjaga Mitos Pasifik

  • Whatsapp
Sebuah dunia yang seolah tetap bertahan pada hari-hari pertama bumi: liar, terpencil, dan dipenuhi lanskap yang membuat para pelaut kuno—Cooks, Bougainville, Melville—percaya bahwa mereka menemukan surga.

PELAKITA.ID – Di tengah Samudra Pasifik yang luas, ribuan kilometer dari daratan mana pun, berdirilah gugusan pulau yang disebut Marquesas.

Sebuah dunia yang seolah tetap bertahan pada hari-hari pertama bumi: liar, terpencil, dan dipenuhi lanskap yang membuat para pelaut kuno—Cooks, Bougainville, Melville—percaya bahwa mereka menemukan surga.

Di sinilah, jauh dari hiruk pikuk peradaban, kisah pulau-pulau seperti Ua Huka, Nuku Hiva, dan Hiva Oa masih dituturkan dengan suara ombak dan gemuruh lembah.

Ua Huka: Pulau Kuda dan Burung Laut

Ua Huka, salah satu pulau kecil di Marquesas, terletak 1.300 km timur laut Tahiti dan 5.500 km dari pesisir California—hanya bongkahan batu di tengah Pasifik. Pulau ini adalah tempat di mana jumlah kuda melebihi jumlah penduduk, dan populasi mereka hanya berkurang ketika musim kering datang.

Di selatan Ua Huka, dua pulau kecil menjadi rumah bagi ribuan burung. Tanpa predator alami—kecuali manusia lokal yang hanya mengambil sedikit telur—koloni burung di sana berkembang damai. Seluruh pulau dihuni sekitar 600 jiwa, dan siapapun dari Shetland, Irlandia, atau Patagonia akan merasa akrab dengan kesederhanaan hidup di desa Vaipaee, pusat kehidupan pulau itu.

Kapal sebagai Nadi Kehidupan

Kehidupan di Marquesas bertumpu pada kedatangan kapal. Dari Tahiti, hanya beberapa kapal kargo yang menghubungkan pulau ini ke dunia luar. Di antaranya Red Taporosis, yang datang sekali setiap dua bulan. Namun peristiwa besar selalu adalah kedatangan Aranui, kapal kargo sekaligus kapal penumpang sepanjang 130 meter yang menjadi ikon kepulauan ini.

Aranui membawa segala hal: traktor, mobil, bahan makanan, televisi, hingga hewan ternak. Ia berlabuh di teluk-teluk terjal yang tak memiliki dermaga, menurunkan muatan melalui perahu kecil yang harus bekerja berjam-jam tanpa henti. Kedatangannya selalu disambut seluruh desa—sebuah pengingat bahwa mereka masih terhubung dengan dunia.

Nuku Hiva: Lembah Besar dan Jejak Tradisi

Di Nuku Hiva, pulau terbesar kedua di Polinesia Prancis, teluk-teluk dalam mengukir garis pantai seperti pangkalan alami. Teluk Taiohae, ibu kota Marquesas, adalah tempat para pelaut dunia singgah, dari kapal penelitian hingga yacht dari Panama.

Di tepi pantainya berdiri marae, situs sakral peninggalan leluhur yang dijaga patung tiki—figur dewa Polinesia yang pernah dimutilasi para misionaris Eropa lebih dari seabad lalu demi menghapus kepercayaan lokal. Kini, katedral megah Nuku Hiva berdiri tidak jauh dari sana, menjadi simbol percampuran budaya yang telah lama terjadi.

Dari teluk ini, perjalanan menuju daratan pedalaman penuh tantangan. Jalan cepat berubah menjadi tanah merah yang curam, mendaki hingga 1.200 meter. Pada musim hujan, akses menjadi hampir mustahil meski menggunakan truk 4×4 yang mahal dan dibeli melalui kredit panjang.

Hiva Oa: Pulau Seniman dan Pelayar

Sekitar 70 km dari Nuku Hiva, terdapat Hiva Oa, pulau yang beriklim lembap dengan suhu rata-rata 26°C. Pepohonan pakis dan hutan pinus membuat pulau ini terasa seperti tempat yang hilang dari peta. Namun yang membuatnya mendunia adalah kisah dua tokoh besar: Paul Gauguin dan Jacques Brel.

Gauguin, yang melarikan diri dari Tahiti karena dianggap terlalu “beradab,” menghabiskan sisa hidupnya di Hiva Oa. Rumahnya—Maison du Jouir, Rumah Kenikmatan—direkonstruksi sebagai museum. Tidak jauh dari sana, di sebuah bukit yang sunyi, Gauguin dan Brel disemayamkan. Banyak petualang muda dari Eropa yang datang ke pulau ini karena terinspirasi oleh karya, hidup, atau pemberontakan keduanya.

Bora-Bora, Maiao, dan Pencarian Surga yang Berubah

Beberapa ratus kilometer ke barat, Marquesas bertransformasi menjadi rangkaian pulau lain dalam imajinasi dunia: Bora-Bora. Pulau yang kini menjadi ikon wisata mewah ini tentu jauh berbeda dari gambaran para pengembara klasik seperti Stevenson atau Loti. Mereka mungkin akan terkejut melihat vila-vila dengan kolam renang pribadi di atas laut yang jernih—dan mungkin akan kembali mengembangkan layar, mencari pulau yang lebih “murni”.

Sementara itu, di pulau Maiao yang kecil dan tertutup, penduduk memilih hidup tanpa campur tangan industri pariwisata. Mereka bergantung pada hujan untuk air, menenun daun pandanus, memproduksi kopra, dan menolak keras ketamakan yang dulu hampir menghancurkan identitas mereka.

Pulau-Pulau Seperti Cerita yang Tak Pernah Usai

Ketika kapal berlayar dari Marquesas menuju rangkaian atol di Tuamotu, peta dunia seakan berubah. Tanah tinggi berganti pulau-pulau tipis setinggi ombak. Di Rangiroa, “Blue Lagoon” menjadi jantung kehidupan, tempat ikan, karang, dan manusia hidup berdampingan.

Setiap pulau adalah dunia tersendiri. Setiap lembah memiliki cerita. Dan bagi mereka yang tidak pernah berpindah antar-pulau, perjalanan tetap mungkin—dalam bentuk mimpi-mimpi yang diwariskan para pelaut dan penulis yang pernah singgah.

Di tengah luasnya samudra, Marquesas mengingatkan kita bahwa masih ada tempat yang hidup pada ritmenya sendiri; dunia yang tetap liar, penuh mitos, dan selalu siap memelihara imajinasi siapa pun yang berani mencarinya.