- Jejak kepemimpinannya membekas terutama di Wakatobi, wilayah yang ia pimpin selama dua periode sebagai bupati. Di tangan Hugua yang pernah malang melintang di Yayasan SINTESA Kendari, Wakatobi tidak hanya menjadi kabupaten; ia menjadi ikon internasional dalam konservasi laut, taman nasional bawah air, dan wisata bahari berkelanjutan.
- Pertemuan antara Hugua dan Ashar di Universitas Hasanuddin bukan sekadar reuni dua sahabat. Itu adalah simbol dari kesinambungan cita-cita: bahwa pembangunan daerah harus bertumpu pada kapasitas manusia dan keberlanjutan fungsional, bukan sekadar proyek.
PELAKITA.ID – Sebuah foto beredar di WAG Sahabat COMMIT – Yayasan yang didirikan oleh alumni Japan International Cooperation Agency. Dalam foto itu tampak Ashar Karateng bersama Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua — sosok yang dikenal publik sebagai pemimpin visioner dan ikon pembangunan Wakatobi dan pernah jadi anggota DPR RI.
Melalui WhatsApp Group Alumni Proyek JICA pada Jumat, 21 November 2025, Ashar menyampaikan bahwa ia mendapat ajakan bertemu Hugua di Hotel Unhas.
Hari itu, Hugua hadir sebagai pembicara dalam Forum Ekonomi Kawasan Timur Indonesia, sebuah panggung yang sangat sesuai bagi pemimpin yang selama dua dekade terakhir dikenal konsisten memperjuangkan pembangunan inklusif berbasis kemaritiman.
Ashar menyebut undangan itu sebagai kesempatan bertemu dengan “Bupatinya Ikan-ikan Hugua,” sebuah predikat penuh penghormatan yang merangkum ketokohan Hugua sebagai arsitek salah satu transformasi daerah paling berpengaruh di Indonesia.

Ketokohan Ir. Hugua: Arsitek Transformasi Wakatobi
Bagi Ashar, dan kita semua, nama Ir. Hugua telah lama hadir dalam percakapan pembangunan daerah di Indonesia.
Jejak kepemimpinannya membekas terutama di Wakatobi, wilayah yang ia pimpin selama dua periode sebagai bupati. Di tangan Hugua yang pernah malang melintang di Yayasan SINTESA Kendari, Wakatobi tidak hanya menjadi kabupaten; ia menjadi ikon internasional dalam konservasi laut, taman nasional bawah air, dan wisata bahari berkelanjutan.
Julukan “Bupati Wakatobi” dan “Bupati Ikan-ikan” bukan sekadar retorika. Itu adalah pengakuan atas kemampuan Hugua mengintegrasikan konservasi lingkungan, ekonomi masyarakat, dan tata kelola berbasis kolaborasi.
Ia memahami sejak awal bahwa masa depan Wakatobi tidak dapat dibangun hanya dengan beton dan aspal. Ia merintis pendekatan pembangunan yang menjadikan laut sebagai pusat ekonomi berkelanjutan, sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pariwisata, perikanan, dan pengelolaan kawasan yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan kearifan lokal.
Dalam berbagai inisiatif internasional — termasuk Coral Triangle Initiative — Hugua memosisikan Wakatobi sebagai laboratorium hidup pembangunan kelautan. Jejaknya masih terasa hingga kini: tata kelola kawasan, kapasitas aparatur, dan ekosistem sosial Wakatobi adalah hasil dari konsistensi visi yang ia bangun sejak lebih dari satu dekade lalu.
Kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Hugua tetap teguh membawa semangat keberpihakan pada masyarakat, lingkungan, dan kapasitas lokal. Ia adalah alumni Master Facilitator JICA, dan baginya, kemampuan fasilitasi adalah fondasi pembangunan yang sesungguhnya: mendengar, menghubungkan, dan memperkuat masyarakat agar mampu mengelola masa depannya sendiri.
Ashar dan Jaringan Fasilitator Pembangunan
Ashar Karateng hadir dalam tulisan ini sebagai bagian dari jejaring perjuangan yang lebih luas.
Ia adalah aktivis senior dari Sulawesi Selatan, pernah terlibat intens dalam gerakan mahasiswa, dan kini memimpin The COMMIT Foundation — organisasi yang beranggotakan alumni JICA dari berbagai provinsi di Indonesia.
The COMMIT Foundation merupakan wadah para fasilitator yang percaya bahwa pembangunan harus bertumpu pada kemampuan masyarakat. Ashar adalah nakhodanya, Hugua sebagai Ketua Dewan Pembina.
Di antara para pendirinya terdapat nama-nama seperti Mohd Nur Sangadji (Palu), Ruslan Situju (Kendari), Yohannes Ghewa (NTT), hingga Fary Francis (NTT), yang bersama Hugua menjadi penggerak utama pembentukan organisasi tersebut pada 2012 di Wangi-wangi.
Kekuatan Ashar dan jaringan COMMIT terletak pada dedikasi mereka mempertahankan roh fasilitasi masyarakat — sebuah pendekatan yang mulai jarang mendapat ruang di tengah maraknya pembangunan fisik. Namun peran mereka justru menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara infrastruktur dan kekuatan sosial.
Momen Inspiratif dari Unhas
Pertemuan antara Hugua dan Ashar di Universitas Hasanuddin bukan sekadar reuni dua sahabat. Itu adalah simbol dari kesinambungan cita-cita: bahwa pembangunan daerah harus bertumpu pada kapasitas manusia dan konservasi, bukan sekadar proyek.
Keduanya pernah merasakan bekerja sebagai pekerja LSM, Hugua di Sultra, Ashar di Sulsel. Keduanya pun pernah sama-sama pelatihan fasilitator di Jepang dan terhubung melalui proyek JICA di Indonesia.

Hugua pernah menegaskan pada pendirian COMMIT di tahun 2012: “Kita perlu memperbanyak fasilitator masyarakat di daerah kita. Mereka harus bisa mengkreasi proses pembangunan tanpa bergantung pada pihak luar.”
Kata-kata itu terbukti bukan slogan. Selama penulis hilir-mudik Makassar – Wakatobi antara 2012–2015, terasa jelas bagaimana Hugua sungguh-sungguh memperkuat aparatur daerah.
Pelatihan fasilitasi masyarakat, perencanaan berbasis komunitas, analisis isu, penyusunan rencana aksi, hingga evaluasi, menjadi rutinitas yang memperkuat kapasitas ASN Wakatobi.
Hasilnya nyata. Banyak pejabat Wakatobi hari ini adalah alumni pelatihan COMMIT — generasi yang dibentuk secara sistematis untuk memahami masyarakat, bukan sekadar administrasi.
Pertemuan Hugua dengan Ashar — dan sekaligus perjumpaan hangat Hugua dengan Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa — menghadirkan kembali semangat kerja kolaboratif ala Coral Triangle Initiative. Ini memberi sinyal kuat bahwa masa depan pembangunan Kawasan Timur Indonesia tak hanya terletak pada investasi dan infrastruktur, tetapi juga pada transformasi sosial dan keberdayaan masyarakat.
Penanda Harapan bagi Masa Depan
Di tengah arus pembangunan yang kerap menomorduakan kapasitas sosial, Hugua dan Ashar adalah pengecualian. Mereka tetap memelihara kompas moral pembangunan: bahwa masyarakat harus menjadi pusat.
Penulis meyakini, pertemuan dua sahabat perjuangan ini mengingatkan kita bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak lahir dari beton belaka, tetapi dari kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan masyarakat untuk merawat ruang hidupnya.
Informasi yang penulis dapat, Hugua sedang berikhtiar untuk membangun inisiatif penguatan kapasitas pemerintah daerah di Sultra dengan pendekatan system thinking. Untuk pembangunan daerah yang berkeadaban dan berbasis lokal.
Pembangunan daerah yang berkeadaban, sebuah diksi khas Hugua. Kuot ini membuktikan bahwa dia adalah pemimpin yang telah membuktikan bahwa transformasi sosial berbasis sumber daya lokal bukan hanya mungkin, tetapi bisa menjadi model pembangunan daerah yang inspiratif bagi seluruh Indonesia.
Sorowako, 21 November 2025
