- Penetapan kawasan industri tersebut diatur dalam Permenko Nomor 6 Tahun 2025 yang juga mencakup tiga kawasan PSN di Sulawesi Selatan, yakni Bantaeng, Takalar, dan Luwu Timur.
- Untuk proyek strategis nasional (PSN), prosesnya dilakukan melalui mekanisme Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (RKKPR), yang diterbitkan langsung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang
- Perubahan struktur kepemilikan IHIP juga terjadi. Jika sebelumnya mayoritas saham dikuasai oleh penanam modal asing (PMA) dari Tiongkok, kini kepemilikan tersebut telah beralih, dengan porsi investor Tiongkok tinggal sekitar 5 persen.
PELAKITA.ID – Plt Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu Kabupaten Luwu Timur, Abdul Wahid Sangka menjadi narasumber pada Roundtable Discussion Prospek Kawasan Industri di Luwu Timur: Telaah Amdal dan Regulasi Teknis yang digelar oleh The Sawerigading Institute, di Graha Pena, 31 Oktober 2025.
Terkait proses perizinan, prosesnya sama di semua tingkatan — baik di DPMPTSP Kabupaten, Kota, Provinsi, maupun di tingkat pusat — hanya saja pelaksanaannya menyesuaikan dengan kewenangan masing-masing daerah.
“Setiap pelaku usaha yang ingin menjalankan kegiatan usaha wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan dasar. Ada tiga persyaratan dasar yang menjadi pintu awal perizinan, yakni kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), persetujuan lingkungan, serta persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi bangunan (SLF),” ungkapnya.
Dikatakan, KKPR menjadi pintu masuk utama. Setelah pelaku usaha memiliki KKPR, barulah mereka dapat melanjutkan ke persetujuan lingkungan, dan setelah itu ke tahap perizinan bangunan gedung.
“Terkait dengan diskusi yang sempat menyebutkan IHIP (Indonesia Huadi Industrial Park), saya ingin menegaskan bahwa pernyataan bahwa kabupaten atau kota tidak akan membangun jika tidak memiliki kawasan industri itu tidak sepenuhnya tepat. Hal itu bisa benar jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik. Namun, jika dikelola dengan baik dan sesuai aturan, kawasan industri justru bisa menjadi motor penggerak pembangunan daerah,” sebutnya.
Di mata Wahid, Kabupaten Luwu Timur belakangan ini menjadi cukup menarik perhatian. Sejak tahun 2022 hingga 2024, sudah ada sepuluh perusahaan yang mengajukan permohonan untuk mengembangkan kawasan industri melalui sistem OSS (Online Single Submission).
“Dari sepuluh perusahaan tersebut, hanya tiga yang dinyatakan memenuhi prosedur sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Agraria Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. Tiga kawasan industri tersebut adalah Malili Industrial Park (MIB), Indonesia Huali Industrial Park (IHIP), dan Luwu Timur Industrial Park (LTIP),” ungkapnya.
Sementara, lanjut Wahid, tujuh perusahaan lainnya menggunakan mekanisme KKPR otomatis dengan mengklik Pasal 181 dalam OSS.
Padahal, pasal tersebut hanya berlaku untuk kawasan tertentu seperti kawasan ekonomi khusus (KEK) atau kawasan industri yang telah ditetapkan.
Setelah dilakukan evaluasi oleh Kementerian Investasi/BKPM RI, KKPR yang diterbitkan secara otomatis untuk tujuh perusahaan itu dibatalkan, sehingga hanya tiga kawasan industri tadi yang dinyatakan berproses sesuai aturan.
KKPR Malili Industrial Park sendiri sebenarnya telah berakhir pada 6 Desember lalu, namun tetap menjadi bagian dari proses PKKPR.
Bagi lokasi yang belum terintegrasi dengan OSS dan RDTR, digunakan istilah Persetujuan Kegiatan Pemanfaatan Ruang, sedangkan jika sudah terkoneksi maka disebut Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKKPR).
“Untuk proyek strategis nasional (PSN), prosesnya dilakukan melalui mekanisme Rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (RKKPR), yang diterbitkan langsung oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” jelasnya.
Terkait IHIP, ujar Wahid, pemerintah daerah, DPMPTSP, dan PUPR turut dilibatkan dalam pembahasan di tingkat kementerian sebagai pihak yang memahami kondisi wilayah dan pertanahan.
IHIP awalnya mengajukan permohonan KKPR untuk area seluas lebih dari 900 hektare.
Pembangunan IHIP direncanakan dalam dua tahap. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak tahun 2023 dengan luas awal sekitar 30.000 hektare, yang kemudian setelah evaluasi pada 2024 ditetapkan menjadi 13.000 hektare.
Penetapan kawasan industri tersebut diatur dalam Permenko Nomor 6 Tahun 2025 yang juga mencakup tiga kawasan PSN di Sulawesi Selatan, yakni Bantaeng, Takalar, dan Luwu Timur.
Untuk tahap pertama, pembangunan difokuskan pada lahan seluas kurang lebih 1.900 hektare, terdiri atas 1.700 hektare daratan dan 200 hektare kawasan laut yang terintegrasi dengan pelabuhan.
Namun, sebagian lahan yang diajukan IHIP untuk KKPR darat ternyata tumpang tindih dengan lahan yang lebih dulu dimiliki Malili Industrial Park, seluas 394,5 hektare.
Karena itu, dari 900 hektare yang diajukan, hanya 568 hektare yang disetujui untuk IHIP.
Kini, dengan berakhirnya masa izin MIB dan adanya perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah dan IHIP, lahan 394,5 hektare tersebut telah diambil alih oleh IHIP melalui mekanisme sewa-menyewa.
Berdasarkan masterplan, sebagian besar area pembangunan utama IHIP justru berada di lahan ini.
Perubahan struktur kepemilikan IHIP juga terjadi. Jika sebelumnya mayoritas saham dikuasai oleh penanam modal asing (PMA) dari Tiongkok, kini kepemilikan tersebut telah beralih, dengan porsi investor Tiongkok tinggal sekitar 5 persen.
Berdasarkan rapat terakhir di Jakarta, proses penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) IHIP diharapkan selesai pada pertengahan atau akhir November.
Setelah AMDAL rampung, proyek akan melanjutkan ke tahapan pembangunan fisik sesuai persyaratan dasar yang berlaku. Dalam proses ini, kawasan industri wajib menyelesaikan minimal 50 persen prasarana utama dan penunjang sebelum memperoleh izin usaha kawasan industri.
Sebagai PSN, proyek ini mendapatkan perlakuan khusus dalam hal percepatan proses dan dukungan kebijakan. Pemerintah daerah diharapkan berperan aktif mendukung dari sisi regulasi maupun fasilitasi investasi.
Terkait isu lahan 394,5 hektare yang disewakan kepada IHIP dengan harga yang dianggap terlalu rendah, perlu dijelaskan bahwa penetapan nilai sewa dilakukan berdasarkan hasil penilaian tim appraisal independen yang ditunjuk pemerintah daerah. Proses penilaian ini transparan dan mengikuti aturan yang berlaku.
Perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah dan IHIP menetapkan bahwa lahan tersebut akan dimanfaatkan selama 50 tahun. Nilai sewa dievaluasi setiap lima tahun oleh lembaga appraisal independen, dan hasil penilaian menjadi dasar penetapan tarif sewa baru.
Pembayaran dilakukan di muka untuk periode lima tahun pertama, dan akan ditinjau kembali di tahun keenam.
Berdasarkan hasil appraisal terakhir, nilai sewa lahan seluas 394,5 hektare ditetapkan sebesar sekitar 4,4 miliar rupiah.
“Semua proses ini dilakukan sesuai prosedur dan berdasarkan hasil penilaian lembaga yang memiliki kewenangan resmi, tanpa intervensi maupun penetapan sepihak dari pemerintah daerah,” kunci Wahid.
Redaksi
