Transformasi Teori Pembangunan, dari Modernisasi hingga ‘Local Social Inclusion’

  • Whatsapp
Brazilian President Fernando Henrique Cardoso (Photo by Paulo Fridman/Sygma via Getty Images)

Melalui lembaga-lembaga global seperti IMF dan Bank Dunia, neoliberalisme mengedepankan konsep structural adjustment programs (SAPs) yang menekankan disiplin fiskal, liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi BUMN, dan penghapusan subsidi.

PELAKITA.ID – Perjalanan teori pembangunan sejak pertengahan abad ke-20 hingga hari ini adalah cermin dari dinamika politik, ekonomi, dan sosial global.

Ia tidak hanya berkaitan dengan konsep ilmiah, tetapi juga dengan pengalaman nyata negara-negara berkembang yang terus mencari jalan keluar dari jerat keterbelakangan, ketergantungan, dan krisis multidimensi.

Dari teori modernisasi hingga munculnya gagasan pembangunan inklusif lokal, setiap fase merepresentasikan koreksi atas fase sebelumnya.

Modernisasi: Optimisme Kemajuan Linear

Teori pembangunan pertama yang mendominasi wacana akademik dan kebijakan negara berkembang adalah teori modernisasi.

Berakar dari pengalaman Eropa dan Amerika Serikat, teori ini berasumsi bahwa pembangunan adalah proses linear yang harus dilewati semua bangsa: dari tradisional menuju modern, dari pertanian menuju industri, dari masyarakat feodal menuju kapitalisme.

Negara-negara berkembang didorong untuk meniru “jalan sukses” Barat, dengan industrialisasi sebagai motor utama.

Modernisasi menekankan investasi pada infrastruktur, pendidikan, dan industrialisasi substitusi impor. Namun, optimisme itu segera berhadapan dengan kenyataan: meski mengadopsi resep modernisasi, banyak negara justru terjebak dalam stagnasi, ketergantungan impor, dan utang luar negeri.

Teori Ketergantungan: Suara dari Selatan

Kegagalan modernisasi, terutama di Amerika Latin pada 1950–1960-an, melahirkan teori ketergantungan.

Para pemikir seperti Andre Gunder Frank, Fernando Henrique Cardoso, hingga Theotonio Dos Santos berargumen bahwa keterbelakangan bukanlah tahap awal menuju modernitas, melainkan hasil dari integrasi subordinat negara-negara Selatan ke dalam kapitalisme global.

Industrialiasi substitusi impor yang dilindungi tarif tinggi tidak menciptakan kemandirian. Sebaliknya, negara-negara Latin semakin bergantung pada impor teknologi, modal, dan pasar dari negara-negara Utara.

Genealogi teori ini terkait langsung dengan kekecewaan politik dan ekonomi: proteksi tidak membawa kemandirian, justru menciptakan ketergantungan lebih dalam.

Teori ketergantungan menjadi senjata intelektual bagi gerakan kiri di Amerika Latin. Revolusi Kuba (1959) dan pemerintahan Salvador Allende di Chile adalah contoh praktik nyata yang mencoba keluar dari struktur kapitalisme global.

Mereka menolak narasi modernisasi linear, menyerukan solidaritas Selatan, dan menolak mengikuti alur kerja negara-negara Utara.

Neoliberalisme: Modernisasi Berwajah Baru

Namun, pada 1980-an, muncul arus baru yang mengklaim “solusi” atas kegagalan modernisasi maupun ketergantungan: neoliberalisme.

Melalui lembaga-lembaga global seperti IMF dan Bank Dunia, neoliberalisme mengedepankan konsep structural adjustment programs (SAPs) yang menekankan disiplin fiskal, liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi BUMN, dan penghapusan subsidi.

Neoliberalisme berpijak pada keyakinan bahwa pasar adalah mekanisme paling efisien dan harus dibiarkan bekerja tanpa intervensi negara. Inilah yang dikenal sebagai Washington Consensus.

Sayangnya, realitas menunjukkan dampak buruk: krisis Asia 1997–1998 misalnya, membuat banyak negara Asia Tenggara tunduk pada resep IMF, menghapus subsidi, memprivatisasi BUMN, dan menderita lonjakan kemiskinan serta pengangguran massal.

Secara genealogis, neoliberalisme bisa dipahami sebagai strategi negara-negara pusat untuk membuka pasar baru di negara berkembang.

Konsep efisiensi pasar menjadi legitimasi untuk memperluas ekspansi kapital global. Sementara bagi negara pinggiran, neoliberalisme menjadi jebakan baru yang semakin memperkuat ketergantungan.

Pembangunan Berkelanjutan: Koreksi Ekologis dan Sosial

Di tengah kritik terhadap neoliberalisme, muncul gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial.

Pembangunan berkelanjutan lahir dari kesadaran bahwa eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam akan menghancurkan basis kehidupan itu sendiri.

Negara maju mendorong agenda ini, sebagian sebagai cara untuk menjaga sumber daya global (air, hutan, tanah, energi) tetap lestari, dan sebagian lagi sebagai strategi baru untuk mengatur arah pembangunan negara berkembang melalui standar lingkungan dan iklim global.

Meski lebih progresif dibanding neoliberalisme, teori pembangunan berkelanjutan kerap dikritik karena masih berangkat dari pendekatan top-down. Ia sering dipromosikan oleh lembaga internasional dengan standar global yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan lokal.

Local Social Inclusion: Membangun dari Bawah

Kritik terhadap pendekatan top-down inilah yang melahirkan teori local social inclusion. Teori ini menekankan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam proses pembangunan, bukan sekadar sebagai objek, tetapi sebagai subjek aktif.

Secara arkeologis, teori ini menyoroti bagaimana pembangunan seringkali mengabaikan suara kelompok marginal: masyarakat adat, nelayan kecil, perempuan, hingga kaum miskin kota.

Sementara secara genealogis, teori ini merupakan respons atas kegagalan neoliberalisme dan pembangunan berkelanjutan yang terlalu teknokratis.

Local social inclusion menempatkan keadilan sosial, inklusi politik, dan partisipasi masyarakat lokal sebagai pusat pembangunan.

Ia bukan hanya bicara soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga transformasi sosial yang memberi ruang bagi kelompok yang selama ini tersisih untuk ikut menentukan arah pembangunan.

Penutup: Dari Linearitas ke Inklusivitas

Transformasi teori pembangunan menunjukkan satu pola: setiap teori lahir sebagai koreksi terhadap keterbatasan teori sebelumnya.

Modernisasi optimis tetapi naif; ketergantungan kritis tetapi tersudut oleh hegemoni global; neoliberalisme hegemonik tetapi destruktif; pembangunan berkelanjutan membawa harapan ekologis namun cenderung teknokratis; hingga akhirnya muncul local social inclusion yang menekankan demokratisasi pembangunan dari bawah.

Pembangunan hari ini tidak lagi bisa dipahami hanya sebagai urusan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan sosial, ekologis, dan partisipasi.

Local social inclusion menutup lingkaran transformasi ini dengan pesan sederhana: pembangunan sejati adalah ketika masyarakat lokal menjadi pusatnya.


Penulis Denun

___
Sorowako, 29 September 2025