PELAKITA.ID – Bulukumba, 25 September 2025 – Pertanyaan sederhana kembali bergema dari ruang literasi Sekolah Anak Desa: masihkah dongeng hadir di sekolah?
Pertanyaan ini menjadi titik tolak perbincangan dalam program SuarAsaESA edisi kelima, yang disiarkan langsung melalui Instagram pukul 17.00–18.00 WITA.
Hadir sebagai narasumber, Mba Deta, pendongeng asal Bandung yang aktif sejak 2013, mengingatkan kembali akan fungsi dongeng sebagai bagian penting dari literasi. Dengan senyum hangat, ia menegaskan, “Dongeng itu bukan hanya untuk anak kecil, tetapi untuk semua usia.”
Sakkir, pendamping diskusi, menambahkan bahwa dongeng mampu menghidupkan imajinasi, menghadirkan pengalaman rasa, dan menjembatani pengetahuan yang sering kali sulit dijangkau melalui bacaan akademis. “Dongeng membuat orang masuk, merasakan, dan terhubung dengan pesan cerita,” ujarnya.

Lebih jauh, Mba Deta menekankan pentingnya menggali bahan cerita dari kearifan lokal. “Sebenarnya di daerah itu banyak sekali yang bisa kita angkat jadi cerita dongeng. Misalnya makanan lokal atau legenda. Tujuannya agar peserta dongeng bisa lebih dekat dengan cerita lokal,” jelasnya. Pandangan ini mengingatkan bahwa literasi tidak selalu harus bersumber dari buku-buku besar, melainkan juga dari pengalaman, tradisi, dan budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Acara ditutup dengan sebuah harapan sederhana: agar dongeng tetap mendapat ruang di sekolah. Bukan sekadar hiburan, tetapi bagian dari gerakan literasi—yang membangun daya imajinasi, mengasah kepekaan, dan menumbuhkan identitas budaya.
Pada akhirnya, dongeng adalah bentuk literasi paling awal yang dikenal manusia: sebuah kisah yang dituturkan, didengar, diingat, lalu diwariskan. Pertanyaannya kini, apakah sekolah masih mau membuka ruang bagi dongeng sebagai bagian dari pendidikan literasi yang lebih humanis?
