PELAKITA.ID – Penulis mengikuti kelas Politik Ekologi Pembangunan (selanjutnya disebut Ekologi Politik) berikut bahan bacaan untuk Mata Kuliah Ekologi Politik Pembangunan, Studi Pembangunan.
Banyak informasi atau poin menarik, di antaranya sebagai berikut sebagaimana disimpulkan penulis:
Ekologi politik lahir dari kegelisahan akademis sekaligus praksis tentang bagaimana persoalan lingkungan kerap dipahami secara sempit, teknis, dan terlepas dari dimensi kuasa.
Alih-alih melihat kerusakan lingkungan semata akibat faktor alamiah atau kegagalan teknologi, perspektif ini menyingkap jaringan relasi kuasa yang membentuk, melanggengkan, bahkan mengaburkan ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Lingkungan, dengan demikian, bukanlah ruang netral, melainkan arena konflik. Konflik ini melibatkan aktor negara, korporasi, masyarakat lokal, maupun organisasi internasional, dengan kepentingan dan logika yang berbeda.
Relasi kuasa menghasilkan pemenang dan pecundang: ada yang memperoleh keuntungan dari eksploitasi, ada pula yang menanggung beban ekologis dan sosial dari pembangunan. Ekologi politik hadir untuk menjawab pertanyaan mendasar: siapa yang berkuasa, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan?
Paradigma ini merupakan kritik atas dua arus besar pemikiran lingkungan sejak pertengahan abad ke-20: neo-Malthusianisme dan modernisasi ekologi.
Neo-Malthusianisme
Pandangan ini menekankan bahwa persoalan lingkungan berakar pada pertumbuhan populasi tak terkendali. Semakin banyak manusia, semakin besar tekanan terhadap lahan, air, dan hutan.
Solusi yang ditawarkan adalah pengendalian penduduk, keluarga berencana, atau migrasi. Namun, ekologi politik mengkritik paradigma ini karena cenderung menyalahkan kelompok miskin dan negara berkembang, sembari menutup mata terhadap konsumsi berlebihan negara maju yang justru menjadi penyumbang jejak ekologis terbesar.
Piers Blaikie (1985) menegaskan bahwa erosi tanah bukan sekadar masalah teknis, melainkan hasil dari struktur politik-ekonomi yang menentukan akses terhadap sumber daya.
Pandangan ini membalik logika neo-Malthusian dengan menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan tidak pernah netral.
Modernisasi Ekologi
Arus ini meyakini bahwa krisis lingkungan dapat diatasi melalui teknologi ramah lingkungan, inovasi pasar, dan tata kelola yang lebih efisien.
Narasi seperti green growth, energi terbarukan, atau perdagangan karbon muncul dari paradigma ini.
Meski optimistis, ekologi politik mengkritik pendekatan ini karena terlalu teknokratis dan mengabaikan dimensi politik.
Arturo Escobar (1996) menekankan bahwa pembangunan bukan sekadar proyek teknis, melainkan wacana hegemonik yang menghasilkan kebenaran tertentu dan membungkam suara lain, terutama komunitas lokal.
Dengan demikian, hutan, sungai, laut, dan tambang tidak dapat dipahami sebagai entitas statis. Semua diproduksi secara sosial melalui relasi kuasa. Nancy Peluso (1992) menunjukkan bagaimana klaim negara atas hutan justru menghasilkan konflik dan pemiskinan masyarakat lokal, bukan kesejahteraan.
Ekologi Politik sebagai Arena Interdisipliner
Ekologi politik tidak berdiri sendiri. Ia menggabungkan perangkat analisis dari berbagai disiplin:
• Antropologi politik, menyoroti praktik adat dalam pengelolaan sumber daya.
• Ekonomi politik, menjelaskan bagaimana kapitalisme global menciptakan relasi ketergantungan dalam perdagangan sumber daya.
• Teori postkolonial, menyingkap warisan kolonialisme dalam bentuk eksploitasi kontemporer.
Escobar (1995) mengingatkan bahwa pembangunan lebih banyak memproduksi pengetahuan yang melegitimasi praktik dominasi daripada perubahan material itu sendiri.
Dari sinilah ekologi politik berperan: membongkar kebijakan sekaligus membongkar pengetahuan yang menopangnya.
Salah satu kontribusi pentingnya adalah wacana ketidakadilan lingkungan. Kelompok miskin, masyarakat adat, dan komunitas pedesaan sering menjadi pihak yang paling terdampak, sementara keuntungan dinikmati oleh elite politik dan korporasi.
Industri tambang di Sulawesi, misalnya, memberi keuntungan bagi pemegang saham dan kas negara, tetapi masyarakat lokal menanggung polusi, hilangnya lahan, dan rusaknya ekosistem laut.
Perkembangan dan Ragam Orientasi Teoretis
Sejak 1970–1980-an, ekologi politik berkembang pesat.
Awalnya dipelopori oleh Blaikie, Bryant, dan Brookfield sebagai kritik terhadap ekologi manusia yang terlalu fungsionalis, kemudian meluas ke beragam orientasi:
•Ekologi feminis, menyoroti pengetahuan dan beban perempuan dalam krisis lingkungan.
• Ekologi urban, mengkaji ketidakadilan ekologis di kota.
• Ekologi post-strukturalis, menekankan peran wacana dan representasi.
Definisi ekologi politik pun beragam. Paulson & Gezon (2005) menekankan hubungan antara politik, ekonomi, dan faktor sosial.
Peet & Watts (1996) menyoroti dimensi kritis dengan mengungkap ketidakadilan. Forsyth (2003) memperkenalkan critical political ecology, yakni kritik terhadap narasi ilmiah dominan yang cenderung depolitisasi.
Blaikie & Brookfield (1987) menghubungkan degradasi lingkungan dengan konteks politik-ekonomi, sementara Robbins (2012) menegaskan sifat interdisipliner ekologi politik.
Bryant & Bailey (1997) merumuskan tiga asumsi penting: distribusi biaya-manfaat lingkungan tak pernah merata, memperkuat ketidaksetaraan sosial, dan selalu berimplikasi politik.
Perbedaan definisi ini mencerminkan perkembangan ekologi politik dari analisis struktural menuju kritik wacana, tanpa kehilangan fokus pada isu keadilan.
Relevansi Kontemporer
Krisis lingkungan global—perubahan iklim, deforestasi, hingga krisis pangan—menunjukkan relevansi ekologi politik. Misalnya, narasi tentang transisi energi sering dipandu oleh logika teknologi dan pasar. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: siapa yang menentukan agenda transisi ini?
Apakah masyarakat di wilayah tambang nikel ikut menentukan arah kebijakan, atau sekadar menanggung beban?
Ekologi politik membantu kita memahami bahwa setiap fakta ekologis selalu mengandung dimensi politik. Analisis lingkungan tidak hanya bicara teknis, tetapi juga harus menimbang keadilan. Siapa yang beruntung, siapa yang dirugikan, dan bagaimana distribusi kuasa bekerja?
Pembaca sekalian, eEkologi politik bukan sekadar kerangka akademis, melainkan proyek intelektual sekaligus politis. Ia hadir untuk mengembalikan dimensi kuasa ke dalam analisis lingkungan.
Dengan begitu, kita menyadari bahwa krisis ekologis tidak pernah netral, melainkan terkait erat dengan relasi sosial, ekonomi, dan politik.
Sebagaimana ditegaskan Escobar: “There cannot be a politics of nature without a politics of knowledge.”
Untuk memahami dan mengatasi krisis lingkungan, kita tidak hanya perlu mengkritik praktik eksploitasi, tetapi juga narasi dan pengetahuan yang melegitimasinya.
