Tanpa kerangka rasional seperti ini, program di Indonesia berisiko hanya menjadi “panggung politik” tanpa dampak signifikan terhadap perbaikan gizi. Dalam kajian pembangunan, fenomena ini bisa disebut sebagai “perangkap kebijakan populis”: sebuah intervensi jangka pendek yang populer secara politik, tetapi justru melemahkan ruang fiskal dan menghambat transformasi struktural.
PELAKITA.ID – Pemerintah Indonesia baru saja mengalokasikan anggaran fantastis sebesar Rp335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa per Agustus 2025, APBN mengalami defisit Rp321,6 triliun. DetikNews menulis: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai 31 Agustus 2025 mengalami defisit Rp 321,6 triliun. Realisasi itu setara dengan 1,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini sebuah ironi atau paradoks dalam kebijakan pembangunan kita?
Ironi dan Paradoks di Balik Anggaran
Ironinya, negara tampak rela mengeluarkan belanja sebesar hampir sama dengan defisit yang sedang dihadapi. Sementara itu, paradoks muncul ketika pemerintah berbicara tentang disiplin fiskal dan stabilitas ekonomi, tetapi pada saat bersamaan meluncurkan program belanja raksasa.
Ada kontradiksi antara tujuan yang dideklarasikan—kehati-hatian dan pengurangan defisit—dengan realitas belanja ekspansif yang sarat kepentingan politik.
Persoalan ini bukan semata hitungan fiskal, tetapi juga menyentuh berbagai aspek pembangunan:
Defisit yang terus membesar berarti pemerintah harus menambah utang atau memangkas program lain yang sama pentingnya. Mega-program baru bisa menggeser investasi di sektor vital seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, atau adaptasi perubahan iklim.
Contoh: Brasil pernah menjalankan program bantuan sosial berskala besar tanpa keseimbangan fiskal yang memadai, yang kemudian berkontribusi pada krisis ekonomi awal 2010-an.
Rasionalitas dari argumen ini adalah bahwa setiap rupiah yang dipinjam atau dialihkan memiliki konsekuensi jangka panjang: jika digunakan untuk konsumsi jangka pendek, maka ruang untuk investasi produktif yang menopang pertumbuhan akan semakin menyempit.
Populisme Politik vs. Rasionalitas Pembangunan.
Makan Bergizi Gratis terdengar pro-rakyat dan penuh niat baik. Namun, tanpa reformasi mendasar di bidang ketahanan pangan, pertanian, dan penargetan kemiskinan, program ini berpotensi lebih menjadi simbol politik ketimbang solusi nyata bagi gizi masyarakat.
India, sebagai contoh memiliki program makan di sekolah (Midday Meal Scheme) yang terbukti meningkatkan partisipasi siswa miskin. Namun, keberhasilan itu lahir karena integrasi dengan kebijakan pangan nasional dan sistem pertanian lokal.
Tanpa kerangka rasional seperti ini, program di Indonesia berisiko hanya menjadi “panggung politik” tanpa dampak signifikan terhadap perbaikan gizi.
Rp335 triliun bisa saja digunakan untuk mempercepat transisi energi, memperkuat irigasi, memberdayakan UMKM, atau meningkatkan layanan kesehatan universal. Semua itu memberikan manfaat struktural jangka panjang yang mungkin lebih besar dibandingkan sekadar penyediaan makanan gratis.
Coba tengok Vietnam, dengan sumber daya yang jauh lebih terbatas, berhasil menurunkan angka kemiskinan ekstrem melalui investasi di irigasi pertanian dan industrialisasi pedesaan, bukan program makan gratis.
Rasionalitasnya adalah bahwa alokasi sumber daya pada sektor yang memperkuat kapasitas produksi memberi “efek ganda” (multiplier effect) lebih luas bagi ekonomi dan kesejahteraan jangka panjang.
Ada yang perlu dipertanyakan. Di tengah semakin banyaknya insiden keracunan makanan graris, ada pertanyaan krusial: siapa yang sebenarnya mendapat manfaat? Jika program bias ke perkotaan atau dikuasai kontraktor, justru kelompok miskin bisa tetap terpinggirkan.
Contoh: Pada program subsidi pangan di beberapa negara Afrika, laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa kelompok menengah dan kaya justru lebih banyak menikmati manfaat karena akses distribusi lebih baik.
Rasionalitas dari argumen ini adalah bahwa tanpa mekanisme targeting yang ketat, program sosial berskala besar sering gagal mencapai kelompok yang paling membutuhkan, dan justru memperlebar ketimpangan.
Mengapa Indonesia Terlihat “Lucu” di Mata Dunia.
Langkah ini juga menimbulkan kesan yang tidak menguntungkan secara global. Di tengah upaya internasional untuk mendorong disiplin fiskal dan investasi hijau, Indonesia justru tampil dengan program raksasa yang membebani anggaran tanpa strategi pembiayaan yang jelas.
Hal ini menimbulkan ironi di mata dunia: negara yang ingin tampil sebagai kekuatan ekonomi baru justru mempertontonkan inkonsistensi antara ambisi dan kemampuan.
Rasionalitasnya sederhana: kredibilitas pembangunan tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya anggaran, tetapi oleh konsistensi antara janji, kapasitas fiskal, dan prioritas strategis.
Ambisi vs. Defisit. Belanja jor-joran di tengah defisit menandakan kebijakan yang tidak konsisten.
Perekonomian memang butuh stimulus, tetapi menurut ekonom senior Chatib Basri, ruang fiskal yang terbatas menuntut pemerintah untuk lebih selektif dan fokus pada program yang punya multiplier effect tinggi. Jika defisit sudah melebar, maka setiap alokasi anggaran harus benar-benar dihitung dari sisi keberlanjutan, bukan hanya manfaat jangka pendek.
Citra Populisme. Indonesia bisa dipersepsikan lebih mementingkan gestur populis jangka pendek ketimbang pembangunan jangka panjang yang strategis.
Di banyak negara berkembang, program populis sering dipakai untuk menjaga legitimasi politik, tetapi dampaknya bisa menjadi beban fiskal jangka panjang. Misalnya, Venezuela dan Argentina pernah menghadapi krisis ekonomi akibat terlalu banyak subsidi populis yang tidak dibarengi reformasi struktural.
Risiko Tata Kelola. Pengalaman menunjukkan bahwa program pangan skala besar rentan bocor, korup, dan tidak efisien.
Pengamat kebijakan publik, Yanuar Nugroho, pernah menekankan bahwa masalah terbesar Indonesia bukan pada kurangnya ide atau anggaran, melainkan lemahnya tata kelola dan pengawasan.
Gambaran yang muncul: negara berutang untuk memberi makan gratis sementara layanan dasar lain seperti kesehatan, pendidikan tinggi, dan infrastruktur produktif tetap kekurangan dana.
Contoh Perbandingan. India, misalnya, menjalankan program Midday Meal Scheme sejak 1995 yang memberi makan gratis bagi anak sekolah dasar.
Program ini relatif berhasil karena ditopang sistem monitoring yang ketat dan kerjasama lintas kementerian hingga pemerintah lokal. Namun, bahkan India pun masih menghadapi masalah kualitas gizi, distribusi, dan kebocoran anggaran. Jika Indonesia meniru tanpa memperbaiki sistem tata kelola, program ini berpotensi jadi bumerang.
Jalan Keluar: Dari Populisme ke Strategi
Apa yang bisa dilakukan agar program ini tidak menjadi jebakan populis?
Koherensi Kebijakan. Agar tidak sekadar menjadi proyek politik jangka pendek, program makan bergizi gratis harus diselaraskan dengan kapasitas fiskal negara serta strategi pembangunan jangka panjang seperti Sustainable Development Goals (SDGs) dan RPJPN 2045.
Dengan begitu, kebijakan ini diposisikan sebagai bagian dari agenda pembangunan manusia yang berkesinambungan, bukan sekadar pencitraan.
Uji Coba Terbatas. Alih-alih langsung meluncurkan program nasional bernilai ratusan triliun, pemerintah sebaiknya memulai dengan skala terbatas di daerah tertentu sebagai percontohan.
Evaluasi yang ketat dapat memberi gambaran efektivitas, efisiensi, serta potensi masalah yang muncul. Hanya jika terbukti berhasil, barulah program diperluas secara bertahap.
Reformulasi sebagai Investasi Gizi. Jika dirancang sebagai investasi, program ini dapat diintegrasikan dengan rantai pasok pangan lokal. Misalnya, bahan makanan berasal dari petani kecil, nelayan, atau koperasi desa, sehingga manfaat tidak hanya dirasakan siswa tetapi juga memperkuat ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan produsen lokal.
Rebalancing Fiskal. Sumber pembiayaan bisa didorong melalui realokasi dari subsidi yang tidak produktif, seperti subsidi energi fosil yang lebih banyak menguntungkan kelompok menengah ke atas.
Dengan langkah ini, alokasi untuk gizi akan lebih sahih secara politik dan ekonomi karena disokong oleh pergeseran prioritas fiskal, bukan penambahan utang.
Komunikasi Transparan. Selain soal desain, pemerintah perlu membangun kepercayaan publik melalui komunikasi yang jujur dan transparan: dari tujuan, mekanisme pembiayaan, hingga trade-off yang diambil. Narasi yang terbuka akan mengurangi persepsi bahwa kebijakan ini hanyalah janji populis menjelang siklus politik tertentu.
Populist Policy Trap
Dalam kajian pembangunan, fenomena ini bisa disebut sebagai “perangkap kebijakan populis”: sebuah intervensi jangka pendek yang populer secara politik, tetapi justru melemahkan ruang fiskal dan menghambat transformasi struktural.
Para ilmuwan telah lama mengingatkan. Ekonomi politik populisme (Laclau, Dornbusch & Edwards) menyoroti bagaimana kebijakan semacam ini lebih melayani legitimasi politik ketimbang kesejahteraan jangka panjang.
Kritik developmental state (Chalmers Johnson, Dani Rodrik) mengingatkan bahwa negara pembangunan sejati harus mengalokasikan sumber daya secara strategis, bukan simbolis.
Sementara Amartya Sen melalui pendekatan kapabilitas menegaskan bahwa gizi dan pendidikan sejati menuntut investasi sistemik, bukan sekadar makanan gratis.
Jadi pembaca sekalian, mestinya, seorang perencana dan pengambil kebijakan yang baik dicirikan oleh kemampuan memprediksi masa depan dengan pengalokasian sumber daya yang efektif, bukan karena dipaksa atau karena mau terlihat berbeda.
___
Penulis Kamaruddin Azis
